Ibrahim bin Adham (12): “Abou Ben Adhem”, Ibrahim di Eropa

in Tasawuf

Leigh Hunt, seorang penyair kenamaan Inggris abad ke-19, menuliskan sebuah puisi yang menjadi populer, bahkan hingga sekarang. Puisi tersebut berjudul “Abou Ben Adhem”, yang diambil dari nama Ibrahim bin Adham.

Foto: Lukisan wajah Leigh Hunt karya Benjamin Robert Haydon. Sumber: National Portrait Gallery, London

Demikianlah, pada seri sebelumnya kami telah menyampaikan kisah Ibrahim bin Adham dalam versi hikayat Melayu Indonesia. N. Hanif menjelaskan, kisah Ibrahim bukan hanya menyebar sampai ke India dan Indonesia saja, tapi juga ke ke Turki, di mana Darwish Hasan al-Rumi menuliskannya.

Tentunya tidak mengherankan jika kisah Ibrahim bin Adham bisa menjadi populer di India, Indonesia, dan Turki, mengingat ketiga negara tersebut memiliki akar keagamaan dan mazhab yang sama, yaitu Islam dan Sufisme.[1]

Namun yang cukup mengherankan adalah, ternyata kisah Ibrahim juga bisa menjadi populer di Inggris dan Eropa. Adalah Leigh Hunt (1784–1859) yang memperkenalkan Ibrahim ke benua tersebut. Leigh Hunt adalah seorang penyair yang produktif, penulis esai, jurnalis, dan juga tokoh sentral gerakan Romantis di Inggris pada abad ke-19.[2]

Di antara sekian banyak puisi yang ditulis oleh Leigh Hunt, puisi yang berjudul Abou Ben Adhem lah yang menjadi favoritnya.[3] Ya, Abou Ben Adhem tiada lain adalah peng-Inggris-an dari Ibrahim bin Adham.[4] Puisi ini pertama kali diterbitkan di dalam sebuah buku karya S. C. Hall yang berjudul Book of Gems pada tahun 1838 di Inggris.[5]

Meskipun puisi Abou Ben Adhem usianya sudah cukup lama, namun di Inggris sendiri ia adalah salah satu dari sedikit puisi Leigh Hunt yang masih sering dibaca hingga saat ini.[6] Berikut ini adalah isi dari pusisi tersebut:

Abou Ben Adhem

Oleh Leigh Hunt

Abou Ben Adhem (semoga bangsanya bertambah banyak!)

Terbangun suatu malam dari mimpi mendalam yang damai,

Dan melihat, pada sinar bulan di kamarnya,

Menjadikannya berharga, dan seperti bunga lili yang bermekaran,

Satu malaikat menulis di buku emas: —

Kedamaian yang luar biasa telah membuat Ben Adhem berani,

Dan kepada yang hadir di ruangan itu dia berkata,

“Apa yang engkau tulis?” – Sosok itu mengangkat kepalanya,

Dan dengan tampilan yang terbuat dari semua keselarasan yang manis,

Menjawab, “Nama-nama orang yang mencintai Tuhan.”

“Dan apakah salah satunya aku?” kata Abou. “Tidak, tidak begitu,”

Malaikat menjawab. Abou berbicara lebih pelan,

Namun dengan tetap riang; dan berkata, “Aku meminta kepadamu, tambahkan lagi,

Tuliskanlah namaku sebagai orang yang mencintai sesama manusia.”

Sang Malaikat menulis, dan menghilang. Malam berikutnya

Ia datang lagi dengan cahaya megah yang menggugah,

Dan menunjukkan nama-nama yang diberkahi oleh cinta Tuhan,

Dan lihatlah! Nama Ben Adhem berada di atas semuanya.[7]

Manuskrip puisi Abou Ben Adhem. Foto: Koleksi milik Library of Congress US

Demikianlah puisi dari Leigh Hunt tentang Ibrahim bin Adham. Jika pembaca sempat membaca legenda pertemuan Ibrahim dengan malaikat Jibril yang ditulis oleh Farid al-Din Attar dalam Tadhkirat al-Auliya, yang mana pernah penulis tampilkan pada artikel seri sebelumnya, maka Anda dapat melihat dengan jelas di sana, bahwa ada kemiripan isi puisi ini dengan legenda tersebut. Dan mengingat usia Tadhkirat al-Auliya jauh lebih tua, besar kemungkinannya bahwa Leigh Hunt terinspirasi dari sana.[8]

Tidak berhenti sampai di sana, Abou Ben Adhem kemudian menyebrang lebih jauh lagi ke benua Amerika. Shriners International, sebuah organisasi Freemasonry yang berbasis di Amerika Serikat mendirikan Masjid Keramat Abou Ben Adhem (Abou Ben Adhem Shrine Mosque) di Springfield, Missouri, pada tahun 1923.

Meskipun tempat tersebut memakai nama “masjid”, namun ia sebenarnya tidak ada hubungannya dengan tempat ibadah agama Islam. Secara arsitektural bangunan tersebut memang bergaya moorish yang identik dengan arsitektur Muslim di Spanyol, namun penggunaannya sekarang di antaranya adalah untuk acara perjamuan makan, pesta dansa, konser musik, auditorium, dan bar.[9]

Masjid Keramat Abou Ben Adhem. Foto: AbeEzekowitz/Wikimedia

Pengelola Masjid Keramat Abou Ben Adhem mengaku bahwa nama tempat ini memang terinspirasi oleh puisi Leigh Hunt, tanpa menyebut sama sekali asal muasalnya yang pertama, yaitu Ibrahim bin Adham, raja di Balkh yang menjadi sufi. (PH)

Seri artikel Ibrahim bin Adham selesai.

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] N. Hanif, Biographical Encyclopaedia of Sufis (South Asia), (Sarup & Sons: New Delhi, 2000), hlm 154.

[2] Poetry Foundation, “Leigh Hunt”, dari laman https://www.poetryfoundation.org/poets/leigh-hunt, diakses 22 Februari 2021.

[3] Ibid.

[4] “Abou Ben Adhem Summary & Analysis”, dari laman https://www.litcharts.com/poetry/leigh-hunt/abou-ben-adhem, diakses 22 Februari 2021.

[5] Poetry Foundation, “Leigh Hunt”, Loc.Cit.

[6] “Abou Ben Adhem Summary & Analysis”, Loc.Cit.

[7] “Abou Ben Adhem”, dari laman https://www.poetryfoundation.org/poems/44433/abou-ben-adhem, diakses 22 Februari 2021.

[8] Lihat Farid al-Din Attar, Muslim Saints and Mystics (Tadhkirat al-Auliya’), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh  A. J. Arberry, (Omphaloskepsis: Iowa, 2000), hlm 86.

[9] “Shrine Mosque”, dari laman https://www.abashrine.com/shrine-mosque.html, diakses 22 Februari 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*