Mozaik Peradaban Islam

Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq (3): Tokoh Besar Quraish

in Tokoh

Last updated on April 19th, 2020 02:03 pm

An-Nawawi berkata, “Dia (Abu Bakar) adalah salah satu pemimpin Quraish pada masa Jahiliyah, salah satu penasihat mereka, yang dicintai di antara mereka, dan yang paling bijaksana dalam urusan mereka.”

Foto ilustrasi: Lukisan karya Leon Belly. Sumber: amazon.com

Berita tentang kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA pada masa kecil, remaja, dan dewasa pada masa sebelum Islam begitu terbatas, sehingga ada beberapa dari fase kehidupannya yang digambarkan berdasarkan perkiraan saja.

Mengenai hal ini sejarawan Muhammad Husain Haekal menulis:

“Sumber-sumber yang sampai kepada kita mengenai masa kecil Abu Bakar tidak banyak membantu untuk mengenal pribadinya dalam situasi kehidupan saat itu. Cerita sekitar masa anak-anak dan remajanya tidak juga memuaskan.

“Apa yang diceritakan tentang kedua orangtuanya tidak lebih daripada sekedar menyebut nama saja. Setelah Abu Bakar menjadi tokoh Muslim yang penting, barulah nama ayahnya disebut-sebut.

“Ada pengaruh Abu Bakar dalam kehidupan ayahnya, namun pengaruh ayahnya dalam kehidupan Abu Bakar tidak ada. Tetapi yang menjadi perhatian kalangan sejarawan waktu itu justru yang menyangkut kabilahnya serta kedudukannya di tengah-tengah masyarakat Quraisy.”[1]

Meski demikian, dari serpihan-serpihan informasi yang tersebar dalam riwayat-riwayat para sahabat dan juga penggambaran dari beberapa sejarawan, penulis akan tetap mencoba menuturkannya kepada para pembaca.

Sewaktu kecil Abu Bakar hidup seperti umumnya anak-anak di Makkah. Beranjak ke usia remaja, dia menjadi pedagang pakaian dan sukses di bidang tersebut. Dalam usia yang masih begitu muda itu, dia kemudian menikahi Qutailah binti Abdul Uzza. Dari pernikahan ini, dia memperoleh dua orang anak, yaitu Abdullah dan Asma. Setelahnya Abu Bakar menikah kembali dengan Umm Rauman binti Amir bin Uwaimir, darinya lahir Abdurrahman dan Aisyah.[2]

Menginjak usia dewasa, Abu Bakar memiliki posisi yang tinggi di antara Kaum Quraish. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Asakir:

Maruf bin Kharrabudh berkata, “Abu Bakar Ash-Shiddiq RA adalah satu dari sepuluh orang Quraisy yang mempersatukan keunggulan/otoritas (Kaum Quraisy) pada masa Jahiliyah dan Islam. Dia memiliki tanggung jawab untuk penyelesaian masalah uang darah (diyat) dan piutang. Itu karena Quraisy tidak memiliki raja yang kepadanya semua urusan dapat dirujuk. Sebaliknya di setiap kabilah ada area tanggung jawab umum yang diserahkan kepada pemimpinnya….”[3]

An-Nawawi berkata, “Dia (Abu Bakar) adalah salah satu pemimpin Quraish pada masa Jahiliyah, salah satu penasihat mereka, yang dicintai di antara mereka, dan yang paling bijaksana dalam urusan mereka.”[4]

Hal lainnya adalah mengenai silsilah. Silsilah memainkan peranan penting dalam tradisi budaya orang-orang Arab. Silsilah adalah struktur dasar masyarakat Arab yang kemudian untuk memberikan gambaran tentang suatu kabilah, kisah-kisah atau peristiwa tertentu di masa lalu disusun sedemikian rupa untuk mencapai suatu citra yang diinginkan.

Dengan demikian, bagi orang-orang Arab pada periode sekitar 600 M, silsilah adalah jantung dari pengetahuan tradisional mereka. Setiap orang ingin memastikan bahwa kabilahnya adalah kabilah terhormat, dan kehormatan ini dikaitkan dengan nama-nama tokoh besar di masa lalu. Mempertahankan kehormatan kabilah adalah tindakan yang begitu diapresiasi di antara orang-orang Arab pada waktu itu.

Berkenaan dengan Abu Bakar, dia adalah seorang ahli silsilah. Dengan keahliannya ini, sangat dimungkinkan bahwa Abu Bakar memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai politik internal di berbagai kabilah. Persoalan silsilah adalah sesuatu yang rumit, karena masing-masing kelompok seringkali membuat klaim yang saling bertentangan tentang leluhur mereka.[5]

Tentang hal ini, sejarawan Ibnu Hisyam berkata:

“Abu Bakar adalah laki-laki yang akrab di kalangan masyarakatnya, disukai karena dia serba mudah. Dia dari keluarga Quraisy yang paling dekat dan paling banyak mengetahui seluk-beluk kabilah-kabilah itu, yang baik dan yang jahat.

“Dia seorang pedagang dengan perangai yang sudah cukup terkenal. Jika ada suatu masalah, pemuka-pemuka masyarakat sering datang menemuinya, mungkin karena pengetahuannya, karena perdagangannya, atau mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak.”[6]

Adapun Jalal ad-Din as-Suyuti menggambarkan kehidupan awal Abu Bakar dengan:

“Kehidupan awalnya adalah di Makkah, yang hanya dia tinggalkan jika sedang berdagang, dan dia memiliki kekayaan besar di antara masyarakatnya, marwah yang sempurna, dan kemurahan hati, dan kesopan-santunan di antara mereka.”[7] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Muhammad Husain Haekal, Abu Bakar As-Siddiq: Sebuah Biografi, diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia oleh Ali Audah (Litera Antar Nusa: Jakarta, 2003, Cet. Ketiga), hlm 1.

[2] Ibid., hlm 3.

[3] Jalal ad-Din as-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The History of the Khalifahs who took the right way oleh Abdassamad Clarke (Ta-Ha Publishers Ltd: Turki, 1995), hlm 6-7.

[4] Ibid., hlm 6.

[5] W. Montgomery Watt dan M. V. McDonald dalam pengantar kitab terjemahan karya al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 6, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh W. Montgomery Watt dan M. V. McDonald (State University of New York Press: New York, 1988), hlm xxvi.

[6] Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., hlm 4.

[7] Jalal ad-Din as-Suyuti, Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*