Mozaik Peradaban Islam

Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq (4): Arab Sebelum Islam (2)

in Tokoh

Last updated on April 21st, 2020 12:24 pm

Nabi bersabda, “Aku selalu berpindah-pindah dari tulang sulbi orang-orang (laki-laki) yang suci dan ke dalam rahim-rahim wanita yang suci pula.”

Foto ilustrasi: Valeed Shafiq/Twitter

Pada seri awal artikel ini kita telah membahas, bahwa Makkah beserta Jazirah Arab telah terjerumus ke dalam kemusyrikan akibat Amr bin Luhay yang membawa berhala Hubal dari Syam ke Kabah dan mengajak penduduk Makkah untuk menyembahnya.

Dan bukan hanya orang-orang Arab saja, orang Yahudi dan Nasrani pun di sekitar wilayah tersebut juga sama-sama telah menyembah berhala, meskipun dalam bentuk yang lain. Mereka semua telah meninggalkan agama yang diajarkan oleh Ibrahim AS.

Namun, meskipun mayoritas telah menyembah berhala, ternyata masih ada segelintir orang yang tetap teguh menganut agama Ibrahim. Setiap tahun demi tahun dan setiap generasi demi generasi, selalu bermunculan orang-orang yang menyerukan agama Ibrahim.

Sebagian dari mereka muncul beratus-ratus tahun sebelum masa Rasulullah SAW dan sebagian lagi muncul menjelang kelahiran dan penunjukkannya sebagai Rasul Allah. Di antara tokoh-tokoh angkatan pertama tersebutlah nama Suwaid bin Amir al-Mushthalqi yang secara terang-terangan menyatakan keyakinannya terhadap Hari Kebangkitan dan Hari Pembalasan.

Selain itu ada juga Amir bin Dharib al-Udwani yang berkata kepada kaumnya, “Tak satupun aku melihat yang menciptakan dirinya sendiri, begitu pun tak ada benda kecuali yang diciptakan, dan tak ada yang datang kecuali dia akan pergi….”

Lalu ada juga Ibnu Taghlid bin Durrah yang tak mau menyembah patung dan hanya menyerukan penyembahan kepada Allah. Selanjutnya masih banyak tokoh lainnya seperti Mutalammis bin Umaiyah al-Kinani, Zuhair bin Abi Sulma, dan banyak lagi lainnya. Di antara mereka ada yang dikenal dan juga yang tidak dikenal karena lebih suka menyepi.

Menjelang kelahiran Nabi, muncul pula tokoh-tokoh lainnya yang masih mengikuti agama Ibrahim, di antara mereka adalah Abu Qais bin Anas, yang mengasingkan diri dari orang-orang Quraisy dengan berhala-berhala mereka.

Di rumahnya dia mendirikan sebuah tempat khusus untuk beribadah yang tidak boleh dimasuki orang kotor dan orang yang sedang dalam kondisi janabah (berhadats besar). Dia juga pernah berkata, “Aku hanya menyembah Tuhan Ibrahim.”

Abu Qais dikaruniai usia yang panjang sampai Muhammad diangkat menjadi Nabi, dan dia sempat masuk Islam sebelum wafatnya.[1]

Tokoh lainnya adalah kakek Nabi sendiri, Syaibah bin Hasyim, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abdul Muthalib. Meskipun telah diriwayatkan bahwa Abdul Muthalib terpengaruh oleh lingkungan jahiliyah hingga batas-batas tertentu, namun secara prinsip dia mampu menjaga dirinya dari pengaruh buruk.

Walaupun telah hidup delapan puluh tahun di tengah kaum yang terbiasa dengan pemujaan berhala, minum khamar, riba, dan pembunuhan, tapi dia tidak pernah meminum khamar. Sepanjang hidupnya dia mencegah kaumnya melakukan pembunuhan, minum khamar, dan berbuat jahat.

Selain itu dia juga melarang mereka mengawini orang yang haram dikawini, melarang orang melakukan tawaf sekeliling Kabah tanpa busana, dan dia memegang teguh sumpah dan janji sampai akhir hayatnya.

Dia juga pernah mengatakan, “Orang zalim dihukum di dunia ini sendiri. Namun, bila kebetulan dia mati sebelum dihukum sebagaimana mestinya, dia akan mendapatkan hukuman atas perbuatannya di Hari Pengadilan.”[2]

Abdul Muthalib juga menganggap bahwa Allah adalah realitas tertinggi, dan dia, tidak diragukan lagi, lebih dekat kepada agama Ibrahim ketimbang terhadap kepercayaan Kaum Quraisy, Khuzaah, dan Hawazin, serta suku-suku Arab lain pada masanya yang menyembah berhala.[3]

Selain itu, beberapa hadis dari Nabi juga mengindikasikan bahwa leluhur Nabi seluruhnya adalah orang-orang suci yang mengikuti ajaran Ibrahim:

“Aku selalu berpindah-pindah dari tulang sulbi orang-orang (laki-laki) yang suci dan ke dalam rahim-rahim wanita yang suci pula.”[4]

“Aku Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizaar. Tidaklah terpisah manusia menjadi dua kelompok (nasab) kecuali aku berada di antara yang terbaik dari keduanya. Maka aku lahir dari ayah-ibu yang tidak terkena ajaran jahiliyah dan aku terlahir dari pernikahan (yang sah). Tidaklah aku dilahirkan dari orang jahat sejak Adam sampai berakhir pada ayah dan ibuku. Maka aku adalah pemilik nasab yang terbaik di antara kalian dan sebaik-baik nasab (dari pihak) ayah.”[5]

Tokoh lainnya lagi selain yang telah disebutkan di atas adalah Qus bin Saidah al-Iyyadi, Zaid bin Amr bin Nufail, dan Waraqah bin Naufal. Kepada ketiga orang pemuja Tauhid inilah seri selanjutnya dari artikel ini akan difokuskan, sebab, sebelum memeluk Islam, Abu Bakar Ash-Shiddiq RA belajar kepada mereka. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 21-23.

[2] Sirah al-Halabi (Vol I, hlm 4), dikutip oleh Ja’far Subhani, ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 76.

[3] Martin Lings, Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, (Serambi, 2010), hal 23.

[4] Hadis ini diriwayatkan dalam kitab Al-Sirah Al-Halabiyyah juz 1, hal. 35 dan 70; Tafsir Al-Alusi juz 7, hal. 195 dalam menafsirkan QS 6: 74; Tafsir Al-Bahr Al-Muhith juz 7, hal. 45 dalam menafsirkan QS 26: 219; dalam Tafsir Al-Razi juz 13, hal. 39 dalam menafsirkan QS 6: 74 dan di juz 24, hal. 174 dalam menafsirkan QS 26: 219.

[5] Lihat Al-Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah. Imam Hakim juga meriwayatkan hadis di atas dari Anas bin Malik. Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya juz 2, hal. 404 dan Imam Ath-Thobari dalam tafsirnya juz 11, hal. 76.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*