Mozaik Peradaban Islam

Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq (5): Murid Tiga Manusia Suci (1)

in Tokoh

Last updated on April 26th, 2020 02:12 pm

Zaid bin Amr bin Nufail berkata, “Hai Kaum Quraisy! Demi Dzat yang nyawaku berada dalam tangan-Nya, tak seorang pun di antara kalian yang masih mengikuti agama Ibrahim dan Ismail sepeninggal mereka. Dan sungguh, aku sedang menunggu-nunggu kedatangan seorang Nabi keturunan Ismail.”

Foto ilustrasi: Lukisan karya Aracil German. Sumber: paintingsgallery.pro

Abu Bakar muda, waktu itu masih dipanggil dengan sebutan Atiq, meskipun hidup di sekitar lingkungan Jahiliyah, seringkali merasakan kejanggalan ketika melintas di depan Kabah. Ketika melihat orang-orang berputar-putar di sekitar berhala-berhala mereka, dia tertegun dan merenung.

Di dalam hatinya dia berkata, bagaimana mungkin manusia yang dapat mendengar dan berpikir, tetapi dapat tersungkur dan sujud kepada deretan batu-batu yang tak dapat mendengar dan melihat, apalagi mengetahui yang benar.

Meski demikian, Atiq tidak pernah mengungkapkannya kepada siapa pun. Dan walaupun tanpa pemberitahuan kepada siapa pun, dia menghindarkan diri dari berhala-berhala itu dan menghabiskan hari-harinya jauh dari adat istiadat jahiliyah. Dia hampir tidak pernah menemui seseorang hanya sekadar untuk menghabiskan waktu.[1]

Adapun Aisyah binti Abu Bakar RA, sebagaimana telah disahihkan oleh Ibnu Asakir, berkenaan dengan sikap Abu Bakar di atas, meriwayatkan:

“Demi Allah, Abu Bakar tidak pernah berbicara puisi (maksudnya dia tidak pernah ‘menyusun’ puisi apa pun yang pada waktu itu sedang menjadi tren di kalangan masyarakat jahiliyah-pen) baik pada (masa) Jahiliyah atau pun dalam (masa) Islam, dan dia dan Utsman berhenti minum anggur pada (masa) Jahiliyah.”[2]

Adapun ketika sudah datang masa Islam, suatu waktu Abu Bakar pernah ditanya tentang masa lalunya. Sebagaimana dikutip oleh Ibnu Asakir, Abul-Aliyyah ar-Riyahi meriwayatkan:

Ditanyakan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq dalam sebuah perkumpulan dengan para sahabat Rasulullah SAW, “Apakah engkau minum anggur di masa Jahiliyah?”

Dia berkata, “Aku mencari perlindungan kepada Allah (dari meminumnya).”

Seseorang bertanya, “Mengapa?”

Dia menjawab, “Aku mencoba melindungi kehormatanku dan menjaga martabatku, karena siapa pun yang meminum anggur akan kehilangan kehormatan dan martabatnya.”[3]

Namun, meski Abu Bakar tidak melakukan adat istiadat Jahiliyah, dia tidak menunjukkan kebencian apapun terhadap Kaum Quraisy. Dia tidak pernah mencela perbuatan-perbuatan mereka. Dia menutup rapat perbuatan dan keyakinannya, karena bagaimanapun dia adalah pemimpin kabilahnya sendiri, Bani Taim bin Murrah bin Kaab, yang harus dia lindungi.

Di pundak Abu Bakar waktu itu terpikul tugas yang paling penting dan utama, dia adalah pengumpul diyat (uang tebusan) Kaum Quraisy. Terbayang olehnya, bencana-bencana yang mungkin akan ditemuinya jika dia mengungkapkan keyakinannya.[4]

Adapun sebagai pelarian dari kegelisahan hatinya, Abu Bakar seringkali secara diam-diam menemui tiga manusia suci pada masa itu: Qus bin Saidah al-Iyyadi, Zaid bin Amr bin Nufail, dan Waraqah bin Naufal. Mereka adalah penganut agama Ibrahim yang telah meninggalkan keramaian dunia dan hidup menyepi.

Dari Zaid bin Amr bin Nufail dia mendapatkan sebuah pertanyaan, “Manakah yang benar, apakah Tuhan yang satu, atau tuhan yang beribu-ribu? Apakah dapat dikatakan agama jika urusan terpecah semena-mena?”

Pertanyaan itu bertahan lama, hinggap di dalam pikirannya, dan karenanya Abu Bakar menderita. Dia begitu ingin mencari tahu kebenaran.

Suatu waktu Zaid bin Amr bin Nufail suaranya meninggi, di antara tiga manusia suci ini dia yang suaranya paling keras, menyerukan agama Ibrahim. Akibatnya orang-orang Quraisy merasa terganggu, sehingga mereka menghasut salah seorang kerabatnya, yaitu Khattab bin Nufail, untuk menutup pintu rumahnya dan membiarkannya terpencil.

Dalam kesempatan lain, Zaid bin Amr bin Nufail yang sudah tua bersandar pada dinding Kabah, dan dia menyeru, “Hai Kaum Quraisy! Demi Dzat yang nyawaku berada dalam tangan-Nya, tak seorang pun di antara kalian yang masih mengikuti agama Ibrahim dan Ismail sepeninggal mereka.

“Dan sungguh, aku sedang menunggu-nunggu kedatangan seorang Nabi keturunan Ismail, yang aku rasa, aku tak akan sempat bertemu dengannya.”

Kemudian tampak olehnya Amir bin Rabiah, maka dipanggilnya dia seraya berkata, “Hai Amir bin Rabiah, jika umurmu panjang sampaikanlah salamku kepadanya!”

Zaid bin Amr bin Nufail kemudian menyeruak ke dalam barisan orang-orang yang sedang mengelilingi Kabah, kemudian menyeru dengan suara yang lantang, “Ya Rabbi! Aku terima kebenaran itu sebagai kebenaran. Aku beribadah dan memperhambakan diri hanya kepada-Mu. Aku berlindung kepada Dzat yang menjadi tempat berlindung Nabi Ibrahim.

“Dan kuserahkan diriku kepada Dzat tempat bumi menyerahkan dirinya, yakni bumi yang dihamparkan-Nya dengan membawa bebatuan yang tak terkira jumlahnya, yang kemudian dijadikan-Nya gunung-gunung untuk mengukuhkan kedudukannya.

“Dan kuserahkan diriku kepada Dzat tempat awan menyerahkan dirinya, yakni awan hitam yang membawa air, yang sejuk dan tawar rasanya.”

Melihatnya, Abu Bakar berkata di dalam hati, “Demi Tuhan Ibrahim, inilah sebenarnya yang hak! Tetapi bagaimana caranya? Serta bilakah masanya kita akan beroleh keyakinan terhadap-Nya?”

Sementara, Zaid sendiri, bukanlah seorang nabi, maka dia pun senantiasa berada di dalam pencariannya, berkata, “Ya Allah, sekiranya aku mengetahui cara yang lebih Engkau sukai dalam beribadah kepada-Mu, tentulah aku akan melakukannya. Tetapi bagaimana? Aku tidak mengetahuinya….” [5] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 24-26.

[2] Jalal ad-Din as-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The History of the Khalifahs who took the right way oleh Abdassamad Clarke (Ta-Ha Publishers Ltd: Turki, 1995), hlm 6-7.

[3] Ibid.

[4] Khalid Muhammad Khalid, Loc.Cit.

[5] Ibid., hlm 29-30.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*