“Mahmoud Ismail, seorang sejarawan Mesir menyebut bahwa karya Ibn Khaldun, sebagai jiplakan dari Kitab Rasa’il Ikhwan al-Shafa”
—Ο—
Muqaddimah karya Ibn Khaldun yang terkenal itu, sebenarnya hanyalah bagian kecil dari karya komprehensifnya berjudul Kitab al-‘Ibrar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wal al-‘Ajam wa al- Barbar (Buku Tentang Contoh-contoh dan Kumpulan Sejarah Asal Usul Bangsa Arab dan Berber). Secara keseluruhan Kitab al-‘Ibar terdiri dari tujuh jilid yang terbagi dalam 3 buku. Jilid pertama, ada di Buku Satu; jilid kedua hingga kelima, ada di Buku Dua; dan jilid keenam dan tujuh, ada di Buku Tiga.
“Buku Satu” (Kitab al-Awwal) dari 3 buku inilah yang dikenal sebagai Muqaddimah, yang terdiri dari satu buah pendahuluan dan enam bab. Buku Dua (Kitab al-Tsani) berisi sejarah sejarah dinasti-dinasti Arab sejak masa pra-Islam hingga masa Islam, dan juga mendiskusikan tentang orang-orang non-Arab dan dinasti-dinastinya seperi Persia, Suriah, Koptik, Israel, Nabasia, Yunani, Bizantium, dan Turki. Buku Tiga (Kitab al-Tsalits) berisi sejarah bangsa Berber dan memusatkan perhatian pada otoritas kerajaan dan dinasti-dinasti Maghribi. Adapun autobiografi penulis, atau informasi tentang Ibn Khadun sendiri terlampirkan di bagian akhir karya tersebut.[1]
Sayangnya, autobiografi tersebut lebih banyak menceritakan fakta-fakta eksternal yang dihadapi Ibn Khaldun dalam hidupnya ketimbang curahan pemikiran dan perasaannya tentang situasi yang dihadapinya. Ini sebabnya, tak jarang terjadi spekulasi tentang diri Ibn Khaldun. Syed Farid Alatas mengatakan bahwa autobigrafi tersebut tidak banyak menyajikan materi untuk menganalisis karakternya. Namun, dapat dikatakan bahwa karakternya mendukung adanya persekongkolan dan intrik yang menentukan atmosfir politik pada masanya, dan hal itu memungkinakan dia mempertahankan kedudukan politis dalam waktu lama dan memberikan wawasan ke dalam karyanya tentang Negara, hal-hal yang mungkin tidak dapat diperoleh dari buku-buku.[2]
Secara substansi Kitab al-‘Ibrar mengulas seputar sejarah dua kelompok Maghribi yang dominan, yaitu peradaban Arab dan Berber, mendiskusikan masyarakat (‘umran) dan peradaban (tamaddun), serta menjelaskan penyebab dan asal usul dinasti. Adapun Buku Satu atau Muqaddimah, merupakan bagian teroritis dari Kitab al-‘Ibar yang mengandung berbagai pengertian, konsep dan penjelasan atas asal-usul dan penyebab-penyebab peristiwa sejarah. Dengan kata lain, ‘Ibar adalah bagian deskriptif sejarah, sedang muqaddimah mendiskusikan sebab-sebab pokok dan makna batiniah sejarah.[3] Inilah sebabnya, gaung muqaddimah jauh lebih populer daripada Kitab al-‘Ibar itu sendiri.
Di dalam muqaddimah atau Buku Satu ini, Ibn Khaldun melakukan dekonstruksi terhadap metode lama yang digunakan para sejarawan dalam melaporkan informasi atau peristiwa sejarah – yang menurutnya amat tekun mencatat pelbagai kejadian bersejarah tetapi mencampur adukkan fakta dengan gosip dan laporan palsu. Setelah mendiskusikannya panjang lebar, beliau lalu merekonstruksi dan menawarkan metode penuturan sejarah yang lebih kritis dan lebih positif. Apa yang ditawarkan Ibn Khaldun dalam buku satu ini kelak tergambar secara operasional dalam buku selanjutnya.
Syed Farid Alatas lebih suka menyebut metode kritis Ibn Khaldun ini sebagai diskusi. Dan memang demikianlah adanya. Pemaparan Ibn Khaldun sangat kental dengan permainan logika, realistis, dan investigatif. Beliau mendemostrasikan bagaimana mengkonstruksi suatu peristiwa secara komprehensif – sehingga dapat muncul dari peristiwa tersebut aspek material, hingga makna-makna batiniahnya.
Secara keseluruhan, taknik penuturan sejarah yang dilakukan Ibn Khaldun dalam karya ini merupakan satu hal yang sama sekali baru, dan belum pernah dilakukan oleh ilmuwan sebelumnya. Memang pernah muncul kritik sangat serius terhadap Kitab al-‘Ibar yang menyatakan bahwa karya ini merupakan plagiasi atau jiplakan dari Kitab Rasa’il karya Ikhwan al-Shafa.[4]
Artikel terkait:
Rasa’il Ikhwanus Shafa (1): Sebuah dikarya, Kitab Rujukan Paling Misterius
Kritik ini dilontarkan oleh Mahmoud Ismail, seorang sejarawan Mesir dalam karyanya berjudul Nihayat Usturat: Nazzariyat Ibn Khaldun min Rasa’il Ikhwan al-Shafa (akhir sebuah mitos; teori Ibn Khaldun merupakan jiplakan Rasa’il Ihkwan al-Shafa). Tapi hal ini bisa dibantah. Mengingat kesamaan-kesamaan yang dimaksud sebagai plagiasi tersebut, lebih bersifat tematik, seperti soal kebutuhan manusia akan masyarakat, asal-usul desa dan kota, dampak lingkungan fisik terhadap pembentukan karakter, dan klasifikasi ilmu. Tema-tema ini tidak hanya di bahas oleh Rasa’il, tapi juga oleh al-Farabi. Tapi bedanya, Ibn Khaldun menilik tema-tema tersebut dari perspektif sosiologi, sedang al-Farabi dan Rasa’il dari perspektif filosofis murni. Di sinilah letak otentisitas karya Ibn Khaldun.
Terkait kritik serius yang dilontarkan Mahmoud Ismail kepada Ibn Khaldun tersebut, Syed Farid Alatas mengutip Khalid Chaouch, menilai munculnya publikasi fitnah semacam itu merupakan barometer adanya krisis intelektual Arab. Lebih jauh Chaouch menambahkan, sungguh aneh bahwa Ismail yang pernah memuji Ibn Khaldun sebagai penemu materialisme historis ratusan tahun sebelum Marx dan Eagels, membuat tuduhan berbahaya seperti itu.[5]
Bersambung…
Ibn Khaldun (4); Sebab-sebab Terjadinya Kesalahan Informasi Sejarah
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Ibn_Khaldun#cite_ref-28, diakses 30 Maret 2018
[2] Lihat, Syed Farid Alatas, dalam “Ibn Khaldun; Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi”, Bandung, Mizan, 2013, hal. 38
[3] Ibid, hal.
[4] Rasa’il al-Ikhwan al-Shafa (risalah atau ensiklopedia Ikhwanus Shafa) adalah karya yang ditulis oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya dengan Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci), sebuah perkumpulan filsuf dan sufi yang keberadaannya sangat rahasia. Para sejarawan dari masa ke masa, berusaha menyingkap tabir misteri yang melingkupi persaudaraan ini. Informasi awal mengenai keberadaan mereka diperoleh dari buku harian milik seorang cendekiawan, Abu Hayyan al-Tauhidi, yang hidup pada masa Ikhwanus Shafa berkiprah (1023). Lihat, https://ganaislamika.com/ikhwanus-shafa-1-sebuah-adikarya-kitab-rujukan-paling-misterius/
[5] Lihat, Syed Farid Alatas, Op Cit, hal. 37