Ibn Khaldun (4); Sebab-sebab Terjadinya Kesalahan Informasi Sejarah

in Tokoh

Last updated on April 3rd, 2018 05:25 am

Seorang sejarawan harus mengetahui sifat kejadian-kejadian, kondisi-kondisi dan persyaratan-persyaratan yang menyertainya, serta harus bisa membedakan esensi dengan aksiden dari suatu fenomena. 

—Ο—

 

Muqaddimah atau Buku Satu (Kitab al-Awwal), dimulai dengan satu paragraph yang menjelaskan skema besar pandangan Ibn Khaldun tentang sejarah. Menurutnya, sejarah sebenarnya merupakan informasi tentang organisasi sosial manusia yang hal tersebut identik dengan peradaban dunia. Sejarah memiliki sifat yang dipengaruhi oleh sejumlah kondisi, seperti kebiadaban dan keramahan, perasaan kelompok, dan perbedaan cara satu kelompok manusia dalam mencapai superioritasnya dari yang lain. Pada titik ini, sejarah berkaitan erat dengan otoritas kekuasaan, raja-raja dan dinasti penguasa, serta dengan berbagai tingkat jabatan aparatur yang ada di dalamnya. Dan pada tahap yang lebih jauh, semua ini berhubungan dengan berbagai jenis pekerjaan masyarakat dan tata cara kehidupan; dengan sains dan sejumlah karya yang mereka hasilkan; serta semua institusi yang dilahirkan oleh sifat peradaban tersebut.[1]

Andai saja semua informasi terkait hal-hal di atas dapat dicatat dengan benar, maka realitas peristiwa sejarah akan muncul apa adanya. Dan siapapun tentu akan bisa mereguk manfaatnya. Sayangnya, sejumlah informasi tersebut kerap kali dikitari oleh kepalsuan dan ketidaklengkapan. Menurut Ibn Khaldun, terdapat setidaknya tujuh hal yang menyebabkan itu terjadi, yaitu:[2]

Pertama, adalah keberpihakan terhadap pendapat dan aliran tertentu (al-syi’at li al-ara’ wa al-mazhahib). Keberpihakan di sini bermakna bahwa informasi sejarah tidak diperlakukan secara kritis dan tidak diperiksa kebenaran/kekeliruannya. Jika seorang sarjana membiarkan dirinya didikte oleh pendapat atau sekte tertentu, ia hanya akan menerima informasi yang sejalan dengan pihak yang dibelanya, sehingga ia ikut menyetujui dan menyebarluaskan kekeliruannya.[3]

Sumber kesalahan kedua adalah keterpercayaan terhadap penyebar informasi itu (al-tsiqah bi al-naqilin).[4] Menurut Syed Farid Alatas, topik ini dibahas di dalam ranah “kritik perawi”, yang lahir dari kebutuhan untuk menilai keterpercayaan dan keakuratan perawi dalam meriwayatkan hadis Rasul Saw.[5] Menurut Ibn Khaldun, kritik perawi memiliki nilai yang terbatas, dan seharusnya hanya digunakan setelah kita menilai apakah informasi tersebut mungkin atau mustahil. Apabila ada sebagian tertentu dari informasi sejarah yang tidak dapat diterima akal, tidak ada gunanya menggunakan pendekatan kritik-perawi sejak awal. Absurditas yang melekat pada makna yang membuat informasi semacam itu tidak dapat diterima akal merupakan alasan yang sudah memadai untuk menganggap bahwa informasi itu mencurigakan. Menilai kebenaran atas fakta sejarah tidak dapat semata-mata bersandar pada karakter, kejujuran, kebersihan hati, dan keakuratan dari sang pembawa informasi. Pertama, penting untuk menilai apakah kejadian yang dilaporkan itu memang mungkin atau mustahil terjadi. Ibn Khaldun bahkan menganggap langkah ini bahkan lebih penting daripada kritik perawi.

Ketiga, adalah kurangnya kesadaran tentang tujuan suatu kejadian. Banyak perawi yang tidak menyadari pentingnya kejadian yang mereka laporkan. Mereka hanya menduga-duga atau membayangkan maksud informasi itu. Akibatnya adalah penyebaran kebohongan.[6]

Keempat, terkait dengan anggapan yang tak berdasar terhadap kebenaran suatu peristiwa. Ini sering terjadi dan terutama akibat ketergantungan pada perawi.[7]

Kelima, pengabaian kesesuaian antara keadaan dan konteks kejadian yang sebenarnya. Keadaan-keadaan suatu kejadian dipengaruhi oleh ambiguitas dan distorsi. Seorang perawi melaporkan keadaan sebagaiman ia melihatnya, tetapi tidak mampu menempatkan kejadian itu dalam konteks yang tepat karena kurangnya pengetahuan akan kompleksitas situasinya.[8]

Keenam adalah pamrih. Banyak sejarawan ingin mendapatkan perhatian/keuntungan dari penguasa dan pejabat, sehingga informasi yang disampaikannya tidak dapat dipercaya.[9]

Ketujuh – dan ini yang terpenting dari semuanya – yang menyebabkan ketidakjujuran dalam penulisan sejarah adalah pengabaian atas kondisi masyarakat.[10] Setiap kejadian (atau fenomena), apakah itu peristiwa utama (yang terjadi dalam hubungannya dengan kejadian lain yang bersifat sekunder) atau peristiwa ikutan (sebagai akibat dari sebuah aksi) harus memiliki suatu sifat tertentu, baik dalam esensinya maupun dalam kondisi-kondisi aksidental yang melekat padanya. Jika seorang pengkaji mengenali sifat kejadian-kejadian itu serta keadaan-keadaan dan prasyarat-prasyarat yang menyertainya di dunia wujud, hal itu akan membantunya untuk membedakan kebenaran dengan kepalsuan dalam menyelidiki informasi historis secara kritis. Ini lebih efektif dalam investigasi kritis daripada aspek lain manapun yang mungkin terkait dengannya.

Menurut Syed Farid Alatas, semua yang disampaikan Ibn Khaldun ini menunjukkan akar tradisi filsafat pada masanya. Ia menukik pada esensi-esensi dan aksiden-aksiden dari suatu fenomena. Mengetahui sesuatu berarti mengetahui esensinya, dan mampu membedakan esensi dengan aksidennya. Bila diaplikasikan dalam sejarah, hal ini bermakna bahwa seorang sejarawan harus mengetahui sifat kejadian-kejadian serta kondisi-kondisi dan persyaratan-persyaratan yang menyertainya, untuk memisahkan kebenaran dari kepalsuan.[11] Sebagaimana dikatakan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah:

Kita harus mengidentifikasi kondisi-kondisi yang melekat pada esensi peradaban sebagaimana sifat alaminya; mana hal-hal yang aksidental (pada peradaban) dan tidak dapat dipastikan; dan mana hal-hal yang tidak melekat padanya. Jika kita melakukannya, kita akan memiliki metode normatif untuk membedakan yang benar dari yang salah, dan kebenaran dari kepalsuan dalam informasi sejarah dengan menggunakan demonstrasi logika yang tidak menyisakan keraguan. Dengan demikian, setiap kali kita mendengar kondisi tertentu yang terjadi dalam peradaban, kita akan tau apa yang bisa terima dan apa yang kita tolak sebagai kepalsuan. Kita harus memiliki patokan jelas yang membantu para sejarawan untuk menemukan jalan kebenaran dan perbaikan dalam pelaporan mereka.” (AL)

Bersambung…

Ibn Khaldun (5): Otentisitas Karya (1)

Sebelumnya:

Ibn Khaldun (3)

Catatan kaki:

[1] IT SHOULD be known that history, in matter of fact, is information about human social organization, which itself is identical with world civilization. It deals with such conditions affecting the nature of civilization as, for instance, savagery and sociability, group feelings, and the different ways by which one group of human beings achieves superiority over another It deals with royal authority and the dynasties that result (in this manner) and with the various ranks that exist within them. (It further deals) with the different kinds of gainful occupations and ways of making a living, with the sciences and crafts that human beings pursue as part of their activities and efforts, and with all the other institutions that originate in civilization through its very nature. Lihat, Abd Ar Rahman bin Muhammed ibn Khaldun, The Muqaddimah, Translated by Franz Rosenthal

[2] Lihat, Ibid. Lihat juga Syed Farid Alatas, “Ibn Khaldun; Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi”, Bandung, Mizan, 2013. Hal. 63-65

[3] Untruth naturally afflicts historical information. There are various reasonsthat make this unavoidable. One of them is partisanship for opinions and schools. Ifthe soul is impartial in receiving information, it devotes to that information the shareof critical investigation the information deserves, and its truth or untruth thusbecomes clear. However, if the soul is infected with partisanship for a particularopinion or sect, it accepts without a moment’s hesitation the information that isagreeable to it. Prejudice and partisanship obscure the critical faculty and precludecritical investigation. The result is that falsehoods are accepted and transmitted. Lihat, Ibid

[4] Another reason making untruth unavoidable in historical information isreliance upon transmitters. Investigation of this subject belongs to (the theologicaldiscipline of) personality criticism. Lihat, Ibid

[5] Lihat Syed Farid Alatas, Op Cit. Hal. 63

[6] Another reason is unawareness of the purpose of an event. Many atransmitter does not know the real significance of his observations or of the thingshe has learned about orally. He transmits the information, attributing to it thesignificance he assumes or imagines it to have. The result is falsehood. Lihat, Ibid

[7] Another reason is unfounded assumption as to the truth of a thing. This isfrequent. It results mostly from reliance upon transmitters. Lihat, Abd Ar Rahman bin Muhammed ibn Khaldun, Op Cit

[8] Another reason is ignorance of how conditions conform with reality.Conditions are affected by ambiguities and artificial distortions. The informantreports the conditions as he saw them but on account of artificial distortions hehimself has no true picture of them. Lihat, Ibid

[9] Another reason is the fact that people as a rule approach great and high ranking persons with praise and encomiums. They embellish conditions and spreadthe fame (of great men). The information made public in such cases is not truthful.Human souls long for praise, and people pay great attention to this world and thepositions and wealth it offers. As a rule, they feel no desire for virtue and have nospecial interest in virtuous people. Lihat, Ibid

[10] Another reason making untruth unavoidable – and this one is more powerfulthan all the reasons previously mentioned is ignorance of the nature of the variousconditions arising in civilization. Every event (or phenomenon), whether (it comesinto being in connection with some) essence or (as the result of an) action, mustinevitably possess a nature peculiar to its essence as well as to the accidentalconditions that may attach themselves to it. If the student knows the nature of eventsand the circumstances and requirements in the world of existence, it will help him todistinguish truth from untruth in investigating the historical information critically.This is more effective in critical investigation than any other aspect that may bebrought up in connection with it. Lihat, Ibid

[11] Lihat Syed Farid Alatas, Op Cit. Hal. 67

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*