Rasa’il Ikhwanus Shafa (1): Sebuah Adikarya, Kitab Rujukan Paling Misterius

in Studi Islam

Last updated on November 1st, 2017 01:19 pm

Dalam khasanah pemikiran Islam, banyak sekali karya-karya agung dan berpengaruh yang lahir dari para pemikir-pemikir terkenal. Sebut saja kitab Ihya ‘Ulumuddin karya Al Ghazali, atau Mukadimah karya Ibnu Khaldun. Namun, disebutkan ada satu adikarya pemikir muslim yang sangat berpengaruh, tapi sampai hari ini tidak diketahui secara pasti siapa penulisnya. Karya ini dikenal dengan Rasa’il al-Ikhwan al-Shafa (risalah atau ensiklopedia Ikhwanus Shafa).

Konon Rasa’il al-Ikhwan al-Shafa ini merupakan kitab rujukan para pemikir dan gerakan-gerakan politik pada zamannya dan zaman-zaman setelahnya. Pengaruhnya tidak hanya sebatas pada pemikir Muslim tapi juga pemikir dari agama lainnya, seperti pada pemikir Kristen, Ikhwanus Shafa ikut mempengaruhi Yahya bin Adi (w. 363H/974 di Baghdad) terutama soal pandangan-pandangan humanisnya.[1] Di dunia Islam, karya Ikhwanus Shafa mempengaruhi sosok-sosok pemikir besar seperti Abu al-Hayyan at-Tauhidi, dan yang terpengaruh dalam dosis yang paling tinggi adalah al-Ghazali. Beberapa karya al-Ghazali, baik dalam Maqâshid, al-Munqidz, maupun Ihyâ’, menunjukkan adanya jejak-jejak Ikhwanus Shafa.

Sementara Ibnu Khaldun, belakangan ini bukan hanya dianggap terpengaruh, dia bahkan dituduh sebagai plagiat Ikhwanus Shafa, terutama dalam teori-teorinya tentang peradaban. Dalam bidang pergerakan, Ikhwanus Shafa juga mempengaruhi agama Druz dan gerakan Hasyasyin (Assasin) dan dianggap punya andil besar dalam membendung gerakan sayap ekstrem Syiah Ismailiyyah, kelompok Qaramitah. Karya mereka juga sangat berpengaruh di kalangan Syiah Ismailiyyah di Yaman, Mesir, dan lainnya.[2]

Rasa’il al-Ikhwan al-Shafa adalah karya yang ditulis oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya dengan Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci), sebuah perkumpulan filsuf dan sufi yang keberadaannya sangat rahasia. Para sejarawan dari masa ke masa, berusaha menyingkap tabir misteri yang melingkupi persaudaraan ini. Informasi awal mengenai keberadaan mereka diperoleh dari buku harian milik seorang cendekiawan, Abu Hayyan al-Tauhidi, yang hidup pada masa Ikhwanus Shafa berkiprah (1023).

Dalam bukunya, al-Tauhidi menyebutkan lima tokoh Ikhwanus Shafa. Mereka adalah Zaid ibnu Rifa’ah, Abu Sulaiman Muhammad ibnu Masyhar al-Bisti yang dikenal pula dengan nama al-Maqdisi, Abu al-Hasan Ali ibnu Harun al-Zanjani, Abu Ahmad al-Mihrajani, serta al-Awqi. Nama-nama itu diyakini sebagai anggota kunci Ikhwan al-Shafa sekaligus penulis Rasa’il.[3] Meski nama-nama yang diduga adalah penulis Rasa’il tersebut sangat terkenal pada masanya, namun itu hanya sebatas dugaan dan spekulasi. Tidak ada yang berani memastikan bahwa merekalah para penulisnya, ditambah tidak adanya bukti yang cukup kuat untuk memastikan hal tersebut.[4]

Lebih jauh, Philip K Hitti dalam History of the Arabs mengungkap beberapa sumber sejarah menyebut bahwa Ikhwanus Shafa adalah perkumpulan para pemikir yang menuangkan gagasan dan ide dalam ranah filsafat Islam. Kelompok ini memiliki banyak nama, antara lain Khulan al-Wafa’, Ahl al-Adl, dan Abna’ al-Hamd, dan mereka mendirikan cabang di Baghdad, ibu kota kekhalifahan Abbasiyah. “Ikhwanul Shafa membentuk bukan saja pertalian filosofis, melainkan juga religius politis.”[5]

Namun terlepas dari semua polemik tentang identitas Ikhwanul Shafa, masyarakat tidak bisa mengingkari besarnya kontribusi karya mereka dalam menghidupkan kembali nalar kritis intelektual Muslim di bidang filsafat dan agama yang pada saat itu mulai mengalami dekadensi. Kelompok ini menghimpun pemikiran dan doktrin filsafat dalam Rasa’il al-Ikhwan al-Shafa yang disusun seperti ikhtisar atau ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan. Karya monumental ini telah mempengaruhi ensiklopedi-ensiklopedi ilmu setelahnya serta dipelajari di berbagai negara.

Di berbagai belahan dunia, baik di Timur maupun di Barat, karya-karya Ikhwanus Shafa bertebaran. Disalin berulang-ulang secara bebas dan menjadi koleksi bersama, institusi, maupun pribadi para cendikiawan. Meskipun lahir di Basrah, Irak, namun pengaruh kelompok ini menyebar hingga ke Andalusia. Konon, al Majriti, yang wafat tahun 1008 Masehi, yang juga dianggap sebagai salah satu anggota Ikhwanus Shafa, yang membawa pengaruh pemikiran Ikhawanus Shafa ke Andalusia. Sehingga karya ini menjadi sedemikian terkenal dan diminati di sana.

Menurut The Institute of Ismaili Studies, manuskrip pertama Rasa’il dalam koleksi Institut mungkin berasal dari Syria dan disalin pada abad pertengahan sekitar abad ke-13; kemudian ada manuskrip lain dalam koleksi tersebut disalin antara abad keenam belas dan kesembilan belas di Persia dan India.

Manuskrip Rasa’il, tertanggal pertengahan abad ketiga belas, Syria. Sumber Gambar: The Institute of Ismaili Studies

Dari berbagai edisi dan terjemahan Rasa’il, risalah tentang debat antara manusia dan delegasi dari kerajaan hewan merupakan salah satu bagian yang begitu luas dicetak. Risalah ini pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani oleh penulis Kalonimos ben Kalonimos abad ke-14, dan dicetak berkali-kali.

Salah satu halaman dari Rasa’il Ikhwan al-Shafa yang disalin oleh al-Hasan ibn al-Nu’man al-Isma’ili, tertanggal 1546, menunjukkan berbagai bidang yang mengelilingi Bumi, sebagaimana dipahami pada saat itu. Sumber Gambar: https://ismailimail.wordpress.com/2016/12/19/the-ikhwan-al-safa-was-an-intellectual-catalyst-in-the-development-of-the-history-of-ideas/, diakses 28 Oktober 2017

Pada paruh kedua abad kesembilan belas, surat ini diterjemahkan ke bahasa Hindustan dan Prancis. Adapun teks lengkap Rasa’il dalam bahasa Arab, pertama kali diterbitkan dalam edisi empat jilid antara tahun 1887-1889. Edisi Arab lainnya diterbitkan pada paruh pertama abad ke-20, dan yang paling terkenal adalah edisi Kairo yang dicetak pada tahun 1928.[6] (AL)

Bersambung ke:

Rasa’il Ikhwanus Shafa (2): Kitab yang Mengajak untuk tidak Memusuhi Apapun

Catatan Kaki :

[1] George Zaidan pun berpendapat, “Filsafat dalam maknanya yang hakiki tidak dikenal masyarakat Andalusia kecuali setelah sampai pada mereka Rasail” melalui intelektual Yahudi seperti al-Majrithi dan al-Kirmani. Penyair besar Arab, Abdullah al-Ma’arri juga tampak terpengaruh Ikhwanus Shafa karena ia pernah mengikuti pengajian Ikhwanus Shafa cabang Bagdad. http://islamlib.com/kajian/filsafat/pencerahan-berjamaah-ikhwan-al-shafa/3/, diakses 28 Oktober 2017

[2] Ibid

[3] https://en.wikipedia.org/wiki/Brethren_of_Purity#cite_note-26, diakses 28 Oktober 2017

[4] Sebuah penjelasan yang tertulis dalam risalah itu mengungkapkan, persaudaraan ini solid dan memiliki banyak anggota. Keberadaan mereka tersebar di sejumlah negara Islam. Para ikhwan berasal dari beragam profesi, mulai dari kalangan kerajaan, wazir, gubernur, sastrawan, pedagang, bangsawan, ulama, ahli hukum, dan lainnya. Namun, sebagian sejarawan meragukan klaim itu, salah satunya, yakni al-Qifthi (1249). Menurut dia, apa yang tercantum dalam Rasa’il masih bisa mengundang perdebatan. Sebab, ujar dia, tidak ditemukan identitas para penulis risalah tersebut. Tak heran jika tetap beredar banyak spekulasi. Sebagian kalangan menganggap, Rasa’il adalah karya keturunan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ada juga yang berpendapat, penulisnya merupakan para filsuf Mu’tazilah periode pertama. Lihat, http://ftp.unpad.ac.id/koran/republika/2010-08-31/republika_2010-08-31_020.pdf, diakses 28 Oktober 2017

[5] Ibid

[6] Lihat, http://iis.ac.uk/library/manuscript-tradition-printed-text-transmission-rasa-il-ikhwan-al-safa-east-and-west#, diakses 28 Oktober 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*