Rasa’il Ikhwanus Shafa (2): Kitab yang Mengajak untuk tidak Memusuhi Apapun

in Studi Islam

Last updated on November 4th, 2017 08:47 am

Pada akhir abad kesembilan belas, sarjana baratlah yang pertama-tama mulai menaruh perhatian serius pada Ikhwan al-Safa’ dan Rasa’il mereka. Di antara kontributor yang terkemuka di Barat yang mempelajari Rasa’il adalah sarjana Jerman Fr. Dieterici. Selama sekitar tiga puluh tahun, dia menerbitkan teks dan studi tentang filsafat Islam dengan Ikhwan al-Safa’ sebagai subjek utama perhatiannya. Dan Dieterici yang menerjemahkan keseluruhan korpus Ikhwan al-Safa ke Jerman untuk pertama kalinya – hasil kerja kerasnya ini sampai sekarang merupakan terjemahan terlengkap Rasa’il dalam bahasa barat manapun.[1]

Adikarya Ikhwanus Shafa ini terdiri dari 52 risalah yang terbagi ke dalam empat bagian, dan ditulis dalam Bahasa Arab. Bagian Pertama, terdiri dari empat belas risalah matematis mengenai angka. Anggota persaudaraan ini menganggap angka sebagai media penting dalam mengkaji filsafat serta akar dari semua sains, sumber kebijaksanaan, kognisi, serta pembentuk makna. Bagian ini dibagi lagi menjadi sembilan kelompok yakni pendahuluan, bahasan tentang geometri, astronomi, musik, geografi, proporsi harmonik, seni-seni teoritis dan praktis, logika, dan moral dan etika.

Sedangkan Bagian Kedua, berisi 17 risalah. Tema yang ditekankan adalah menyangkut aspek fisik-materiil. Hampir seluruh risalah pada bagian ini menyinggung karya Aristoteles. Kajian epistemologi, psikologi, dan linguistik yang tidak terdapat dalam korpus Aristotelian, masuk di sini. Beberapa tema bahasan dalam risalah ini mencakup genealogi, mineralogi, botani, hidup-mati, senang-sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran.

Bagian ketiga terdapat sebanyak 10 risalah, bahasannya mengenai prinsip intelektual, hari kebangkitan, hakikat cinta, dan lainnya. Ini semua mencakup gagasan psikologis rasional, metafisika Phytagoreanisme dan kebangkitan alam.

Dan di bagian terakhir atau Bagian Keempat terdapat 11 risalah yang memberi penjelasan bagaimana cara mendekatkan diri dengan Tuhan, seperti pembahasan tentang ilmu-ilmu ketuhanan, yang meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah, soal magic dan azimat. Di samping itu, beberapa alineanya mengurai secara spesifik ajaran-ajaran Ikhwan, akidah dan pandangan hidup persaudaraan itu, serta tema-tema kerohanian lainnya.

Selain risalah-risalah yang jumlahnya 52 tersebut, terdapat sebuah risalah yang dianggap sebagai risalah yang memiliki kaitan erat dengan Rasa’il, namun tidak termasuk ke dalam Rasa’il, risalah ini disebut sebagai “Risalah Komprehensif” (al-Risalat al-Jami’a). Ada yang mengganggap bahwa al-Risalat al-Jami’a ini sebagai karya Majriti (sekitar tahun 1008).[2] Isi risalah ini merupakan sebuah summarium (Ikhtisar, Ringkasan) dan summa dari karya aslinya. Selanjutnya, Jami’ah pun diikhtisarkan dalam Risalat al-Jami’ah al-Jami’ah au al-Zubdah min Rasail Ikhwan al-Shafa (Kondensasi dari Risalah Komprehensif atau Krim dari Rasail Ikhwan al-Shafa), yang juga dinamai al-Risalat al-Jami’ah.

Dalam risalah-risalah yang ditulisnya, terlihat sekali Ikhwanus Shafa berusaha untuk mendamaikan berbagai tema-tema pemikiran yang dalam beberapa abad terakhir kerap dibenturkan antara satu dengan yang lainnya. Seperti tarekat dengan fiqh, filsafat dengan agama, atau rasio dengan hadist, seperti yang terjadi dengan kaum Mu’takzilah dengan para ahli hadist. Bahkan mereka mencoba mendamaikan filsafat Aristoteles dengan Plato yang kerap dibenturkan satu sama lain.[3] Dalam risalah-risalahnya tergambar bahwa mereka mencoba mencari jalan tengah antara keduanya, dan mengambil titik tumpu universal diantara semua perbedaan tema pemikiran tersebut. Maka tidak mengherankan bila naskah-naskah tulisan mereka dibaca oleh pemikir-pemikir besar seperti al Ghazali, Ibn Sina dan Ibn Arabi.[4]

Ikhwanus Shafa dan Politik

Salah satu isu penting saat ini, adalah terkait dengan sifat kerahasiaan kelompok Ikhwanus Shafa. Tingginya tingkat kerahasiaan kelompok ini menguatkan dugaan para ahli bahwa di dunia Islam pada abad pertengahan pernah terjadi satu masa dimana kebebasan berpikir dan berekspesi diancam dan dibatasi sedemikian rupa oleh penguasa. Di sisi lain, kuat dugaan bahwa penulis-penulis Rasail tentu bukan orang-orang sebarangan, bisa dipastikan bahwa mereka adalah para ningrat intelektual pada masanya, yang bukan tidak mungkin akibat tekanan politik harus menyembunyikan diri demi kemaslahatan yang lebih besar.

Dengan semakin luasnya pengaruh dan peminat ide-ide alternatif yang ditawarkan oleh Ikhwanus Shafa, maka tidak sedikit yang menduga bahwa Ikhwanus Shafa pada prinsipnya memang merupakan sebuah gerakan politik – atau setidaknya tersudut pada posisi yang memang seperti itu.  Thaha Husein misalnya menyebutkan, secara politis propaganda-propaganda mereka bertujuan untuk melakukan perombakan atau kudeta wacana di tingkat masyarakat untuk memperkuat basis perebutan kekuasaan. Namun pendapat seperti ini tidak begitu penting, karena semua mengakui bahwa Rasâ’il merupakan sebuah karya ensiklopedis yang berisi pandangan filsosofis yang kaya, disertai argumen rasional yang benderang dan meliputi banyak disiplin ilmu.[5]

Ditengah dominasi wacana otoritarif yang dimiliki penguasa, Rasa’il Ikhwanus Shafa menjadi alternatif yang menggiurkan. Mereka menyerukan semangat keterbukaan terhadap setiap pengetahuan, mazhab, agama, dan umat lain. Dalam Rasâil, Ikhwanus Shafa misalnya menganjurkan para pengikut dan simpatisannya “…untuk tidak memusuhi ilmu atau memboikot buku jenis apapun, juga tidak dogmatis dalam bermazhab, karena gagasan dan mazhab mereka melingkupi semua mazhab dan pengetahuan manapun.” Semangat keterbukaan itu ditunjang pula oleh penghargaan mereka yang tinggi terhadap akal. Bagi mereka, posisi akal pada manusia sama dengan imam atau pemimpin suatu komunitas untuk menentukan keputusan akhir.[6] (AL)

Bersambung ke:

Rasa’il Ikhwanus Shafa (3): Visi Politik

Sebelumnya:

Rasa’il Ikhwanus Shafa (1): Sebuah Adikarya, Kitab Rujukan Paling Misterius

Catatan Kaki:

[1] Lihat, http://iis.ac.uk/library/manuscript-tradition-printed-text-transmission-rasa-il-ikhwan-al-safa-east-and-west#, diakses 28 Oktober 2017

[2] Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Encyclopedia_of_the_Brethren_of_Purity, diakses 28 Oktober 2017

[3] Edisi 14 (EB-2: 187a; 14th Ed., 1930) Encyclopædia Britannica menggambarkan percampuran Neoplatonisme dan Aristotelianisme tersebut dengan cara ini: “Materi dari pekerjaan itu terutama berasal dari Aristoteles, namun mereka dipahami oleh roh Platonis, yang menempatkan sebagai ikatan segala sesuatu sebagai jiwa universal dunia dengan jiwa sebagian atau fragmennya”.

[4] Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Encyclopedia_of_the_Brethren_of_Purity#cite_ref-ency-dispersal_6-0, diakses 28 Oktober 2017

[5] Lihat, http://islamlib.com/kajian/filsafat/pencerahan-berjamaah-ikhwan-al-shafa/3/, diakses 28 Oktober 2017

[6] Arthur Sa’adev menyatakan bahwa akal mereka (Ikhwanus Shafa) bersifat terbuka dan kritis. Itu bisa terlihat dari pesan mereka terhadap para pengikutnya: “Berupayalah saudaraku untuk menyingkap kebenaran yang dianut oleh setiap agama dan mazhab. Janganlah terpaku dengan apa yang kau anut saja dari agama dan mazhabmu. Carilah yang lebih baik. Bila kau terjumpa yang lebih baik itu, jangan pula berhenti dengan yang mutunya lebih rendah. Engkau harus mengambil dan berpindah kepada yang lebih baik. Jangan pula terlalu menyibukkan diri dengan keburukan mazhab orang lain. Tapi periksalah: apakah engkau punya mazhab yang tidak bercela?” lihat, Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*