Rasa’il Ikhwanus Shafa (3): Visi Politik

in Studi Islam

Namun di luar keterbukaan mereka di bidang agama, tendensi politik pergerakan mereka tetap menjadi lahan perdebatan. Yang tidak dapat disangkal adalah kenyataan bahwa mereka hidup dalam lingkungan Syiah, meskipun tidak berafiliasi pada sekte manapun. Ditambah lagi, pada masa itu, benturan politik antara penguasa Abbasiah dan kelompok Syiah kerap terjadi dan sudah berlangsung sejak berdirinya dinasti Abbasiah pada abad ke 2 Hijriah.

Latar belakang sejarah dan politik pada masa lahirnya Ikhwanus Shafa ini juga yang kemudian membawa dugaan bahwa mereka adalah kelompok Syiah Ismailiyah. Beberapa ilmuwan modern berpendapat bahwa asal tulisan-tulisan ini tidak lain adalah kelompok Ismailiyah. Ian Richard Netton menulis dalam “Muslim Neoplatonis” (London, 1982, hal 80) bahwa: “Konsep Ikhwan tentang tafsir kedua Quran dan tradisi Islam diwarnai dengan esoterisme Ismailiyah.”[1]  Di kalangan kelompok Ismailiyah Suriah, referensi awal adanya keterkaitan antara Rasa’il dengan kelompok Ismailiyah tersebut terdapat dalam “Kitab Fusul wa’l Akhbar” yang ditulis oleh Nurudin bin Ahmad (nomor 233/849). Karya penting lainnya, “al-Usul wa’l-Ahakam” yang ditulis oleh Abul Ma’ali Hatim bin Imran bin Zuhra (wafat 498/1104), menulis bahwa, “wacana ini dan wacana lain yang bersamanya di kolaborasi dan disusun dalam risalah yang panjang, lima puluh dua jumlahnya, di berbagai bidang pembelajaran.” Kalimat ini menyiratkan bahwa risalah-risalah tersebut merupakan hasil usaha bersama. Bahkan sebagian kalangan dari kelompok Ismailiyah sendiri beranggapan bahwa Rasa’il ditulis oleh salah satu “Imam yang tersembunyi”.[2]

Terlepas dari itu, menurut Novriantoni Kahar, mereka punya visi politik tertentu dan utopia tentang masyarakat yang hendak mereka bangun. Jelas terlihat, aktivitas Ikhwanus Shafa bertujuan menyiapkan manusia (i’dâdul insân) untuk menjadi manusia bermartabat (insân fâdhil). Persiapan itu misalnya dilakukan dalam bentuk pertemuan-pertemuan mereka yang berisi analisis persoalan yang mereka hadapi dan upaya mencari jawabnya. Lalu, penentuan struktur mental dan sosial dari negara utama (al-madînah al-fâdhilah) yang mereka cita-citakan.[3]

Tidak hanya itu, dalam risalah-risalahnya, Ikhwanus Shafa juga kerap melancarkan kritik tajam pada penguasa masa itu, meski penyampaiannya sangat ilmiah dan objektif. Seperti mereka mengidentifikasi empat persoalan besar yang sedang merongrong fondasi sosial kekuasaan Baghdad abad ke-4 H atau 10 M. Keempat soal tersebut adalah (1) buruknya etos kerja, (2) kelirunya visi memerintah, (3) lemahnya etika, dan (4) bertumpuknya kebodohan. Dan pangkal dari semua persoalan ini adalah soal kepemimpinan yang lemah. Karena itu, Ikhwanus Shafa menggagas kriteria pemimpin yang baik. Dimana, menurut mereka, keberadaan pemimpin memang mutlak dibutuhkan untuk keteraturan. Tapi orang yang menempati posisi ini haruslah orang-orang yang mempunyai sifat-sifat yang mendekati kualitas kenabian (insan kamil): rasional, matang, pencinta ilmu, jujur, adil, berdedikasi, dan asketis. Siasat yang mereka jalankan hendaklah bertujuan untuk kebaikan semua mahkluk dan memperlakukan semua makhluk dengan beradab.[4]

Adapun untuk tataran individu-individu, manusia sempurna itu menurut mereka, secara eksplisit disebutkan seperti sosok yang “…berilmu dan punya intuisi, bernasab Parsi, beragama Arab, bermazhab Hanafi, berestetika Irak, beretos Ibrani, berhaluan Nasrani, beritual Syami, berpengetahuan Yunani, berintuisi India, dan berperilaku sufi.”[5]

Adapun untuk tataran sosial dan negara, mereka mengajukan konsep negara utama yang juga dipengaruhi The Republic Plato dan pandangan idealistis al-Farabi. Bagi Ikhwanus Shafa, karakteistik negara utama yang mereka canangkan “hendaklah berdasarkan rasa takut kepada Tuhan agar fondasinya tidak goyah. Juga diperkuat bangunan-bangunannya oleh kesatuan kata dan sanubari. Sementara soko gurunya haruslah berupa integritas dan dedikasi. Dan semua akan menjadi lengkap tercapai dalam nikmat yang berkeabadian.”[6]

Untuk mencapai semua ini, maka bidang pendidikan menjadi salah satu hal penting bagi perkumpulan ini. Bagi mereka, pendidikan memegang peran kunci dalam mempersiapkan konstruksi negara utama itu.[7] Fuad Ma’sum memerinci poin-poin yang dianggap penting oleh Ikhwanus Shafa untuk mencapai negara utama, antara lain :[8]

  1. Kebajikan utama ada pada pengetahuan. Dengan itulah manusia berkembang, maju dan bahagia.
  2. Pendidikan yang benar akan menguatkan sendi-sendi bermasyarakat. Pendidikanlah yang menyiapkan warga negara yang baik dan pemimpin yang adil.
  3. Negara adalah institusi pengajaran. Bila negara menjalankan perannya dengan baik dalam mendidik warga, maka akan mudah saja menuntaskan segala masalah.
  4. Pemegang kekuasaan negara hendaklah kelompok elit yang punya kualitas keilmuan dan budi pekerti yang baik.
  5. Perlunya spesialisasi dan pendidikan profesi bagi mereka yang akan memegang jabatan di negara.
  6. Sebagaimana Plato mengkritik kondisi rezim politik di masanya sebagai kendala utama perubahan, Ikhwanus Shafa pun menganggap rezim politik yang korup sebagai pangkal masalah.
  7. Perlunya menghilangkan ketidakadilan kelas. Setiap warga negara yang berprestasi dan berdedikasi berhak untuk sampai ke eselon tertinggi kepemimpinan negara

Terkait dengan “tendensi politik Ikhwanus Shafa” yang banyak dipermasalahkan oleh para peneliti, menarik paragraph penutup Novriantoni Kahar dalam tulisannya tentang Ikhwan Al-Shafa,  “Pendek kata, Ikhwanus Shafa memancang tujuan terjauh dari konsep negara utamanya untuk mempersiapkan masyarakat manusia secara mental, pemikiran, kelakuan, untuk mencapai kebahagiaan. Tidak ada tujuan yang lebih tinggi daripada kebahagiaan. Dan kebahagiaan spiritual, bagi mereka melebihi kebahagiaan material. Ini sesuai dengan pemeringkatan jiwa-jiwa manusia ala Ikhwanus Shafa. Dan semua gagasan tentang negara utama itu mereka lontarkan setelah melakukan analisis terhadap persoalan sosial politik yang berlangsung di masanya, dan referensi masa-masa sebelumnya. Kalau itu yang dimaksud dengan tendensi politik Ikhwanus Shafa, bukankah tidak mengapa juga?”[9]. (AL)

Selesai.

Sebelumnya:

Rasa’il Ikhwanus Shafa (2): Kitab yang Mengajak untuk tidak Memusuhi Apapun

Catatan Kaki :

[1] Lihat, Novriantoni Kahar, Pencerahan Bersama Ikhwan Al-Shafa, https://en.wikipedia.org/wiki/Brethren_of_Purity, diakses 28 Oktober 2017

[2] Teori ini diceritakan dalam ringkasan biografi filsuf dan dokter biografi al-Qifti, “Chronicle of the Learned” (Ahkbār al-Hukamā atau Tabaqāt-al-Hukamā). Lihat, Ibid

[3] Lihat, http://islamlib.com/kajian/filsafat/pencerahan-berjamaah-ikhwan-al-shafa/3/, diakses 28 Oktober 2017

[4] Ibid

[5]Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Brethren_of_Purity#cite_note-27, diakses 28 Oktober 2017. Lihat juga Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines: Conceptions of Nature and Methods Used for Its Study by the Ikhwān Al-Ṣafāʼ, Al-Bīrūnī, and Ibn Sīnā, Edition: revised, Published by SUNY Press, 1993, Hal. 31–33

[6] Lihat, Novriantoni Kahar, Op Cit

[7] Terkait ulasan singkat tentang Negara Utama Al Farabi dapat merujuk ke https://ganaislamika.com/filsafat-politik-al-farabi/

[8] Lihat, Novriantoni Kahar, Op Cit

[9] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*