Ibnu-Al Haitham (1): Perjalanan Hidup Dari Kurungan Ke Cahaya

in Tokoh

Last updated on May 24th, 2023 07:07 am

“Demi menyelamatkan diri, Ibnu Al-Haitham pun berpura-pura hilang ingatan. Itu ia lakukan demi keselamatan jiwanya dari hukuman mati.”

Gambar Ilustrasi. Sumber: islampos.com

Dunia Islam telah melahirkan banyak ilmuwan dalam berbagai bidang yang menjadi pelopor dalam sejarah, di mana Ibnu Al-Haitham adalah salah satunya. Di dunia barat ia dikenal dengan nama Al-Hazen, Avennathan, dan Avenetan.

Tak dipungkiri lagi bahwa Ibnu Al-Haitham memang seorang ilmuwan jenius di masa kejayaan Islam (the Islamic Golden Age). Tak hanya mengkaji ilmu mengenai cahaya dan penglihatan, ia pun seorang ahli di bidang sains, matematika, geometri, ilmu falak, ilmu pengobatan juga filsafat.

Namun, kontribusinya terhadap perkembangan ilmu optik modern, yang lebih mencolok dan dikenal oleh dunia. Ia memberikan inspirasi pada ahli sains barat seperti Kepler, dan Roger Bacon dalam menciptakan teleskop dan mikroskop.

Masa di Basrah

Namanya adalah Abu ‘Ali al-Hasan bin al-Hasan bin al-Haytam al-Basri al-Misri, atau pada masa sekarang dikenal sebagai Ibnu Al-Haitham.[1] Ia lahir di Basrah (kini Irak) pada tahun 354 H atau 965 Masehi, dari keluarga arab-persia pada masa Dinasti Buwaihi.

Dibesarkan di Basrah dan Baghdad, yang pada saat itu merupakan kota pusat ilmu pengetahuan Abbasiyah. Beliau memulai pendidikan awal di Basrah, kemudian diangkat menjadi pegawai pemerintah di kota kelahirannya tersebut.

Bekerja di pemerintahan yang merupakan impian bagi sebagian orang di kala itu, rupanya berbanding terbalik dengan apa yang ada di dalam batin Ibnu Al-Haitham. Dia tidak memiliki passion, menjadi seorang pejabat.

Mengutip uraian dari sejarawan al-Qifti (1172 – 1248), Ibnu Al-Haitham sempat menduduki jabatan hakim di pemerintahan. Namun, karena minat dan bakatnya sebagai ilmuwan, ia memutuskan untuk mengundurkan diri.

Sebetulnya rezim pemerintahan pada saat itu—Dinasti Buwayhid—menolak permintaan pengunduran diri Ibnu Al-Haitham. Namun, dengan alasan ‘sakit’ akhirnya permohonan Ibnu Al-Haitham disetujui.[2]

Usai dengan pengabdiannya di dunia pemerintahan, Ibnu Al-Haitham merantau ke Ahwaz dan Baghdad. Selama dalam perantauannya ia aktif dalam dunia tulis-menulis dalam bidang agama, matematika, filsafat, dan lain-lainnya. Ia melahirkan beberapa karya tulis yang luar biasa. Pemikirannya yang cemerlang membuat ia dikenal oleh masyarakat sebagai cendekiawan sains.

Ke Mesir

Hal ini juga yang membuat Khalifah Al-Hakim bin Amirillah dari Dinasti Fathimiyah, mengundang Ibnu Al-Haitham ke Mesir. Maka hijrahlah Ibnu Al-Haitham ke Mesir, guna menerapkan ilmu yang ia kuasai untuk mengatasi banjir Sungai Nil yang melanda setiap tahunnya.

Selama di Mesir, Ibnu Al-Haitham melakukan beberapa penyelidikan tentang Sungai Nil, guna menyelesaikan proyek pembangunan bendungan (dam). Ia pun menyalin buku-buku ilmu matematika dan falak, agar bisa mendapatkan uang cadangan untuk perjalanan ke Universitas Al-Azhar.

Akan tetapi, Ibnu Al-Haitham belum bisa mewujudkan harapan pemerintah Mesir pada saat itu, karena kurangnya peralatan dan teknologi yang memadai. Ada juga yang mengatakan, Ibnu Al-Haitham merasa bahwa pembangunan dam akan memberikan dampak pengrusakan yang lebih besar.[3]

Ia mengundurkan diri dalam proyek tersebut, tetapi hal itu justru memicu penolakan keras dari Khalifah Al-Hakim. Konon, sang pemimpin Mesir tersebut memiliki perangai yang sangat persuasif, dan akan menghukum mati siapa pun yang tidak bisa memenuhi titahnya.

Jelas ketidaksanggupan Ibnu Al-Haitham dalam pembangunan dam tersebut membuat Khalifah Al-Hakim sangat murka. Demi menyelamatkan diri, Ibnu Al-Haitham pun berpura-pura hilang ingatan. Itu ia lakukan demi keselamatan jiwanya dari hukuman mati. Namun, tetap Khalifah Al-Hakim mengurung Ibnu Al-Haitham.

Ada yang mengatakan bahwa Ibnu Al-Haitham dipenjara, ada juga yang mengatakan ia berada dalam tahanan rumah, dan semua hartanya ditahan oleh Khalifah Al-Hakim.

Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai hal tersebut, tetapi di dalam tahanan itulah, ia mendapatkan inspirasi ketika berada di kamar gelap. Albeit Almuzlim atau metode kamar gelap, yang menjadi awal ditemukannya ilmu optik modern.

Pada tahun 1021 Masehi, Ibnu Al-Haitham dibebaskan dari penjara, setelah wafatnya Khalifah Al-Hakim. Bebas dari penjara, ia tetap tinggal di Mesir, kembali aktif dalam kegiatan akademis dan mengabdikan diri di Universitas Al-Azhar. Bahkan ia pun pergi ke Andalusia (Spanyol), yang merupakan kiblat ilmu pengetahuan Eropa pada masa itu. Tujuannya untuk meneruskan penelitian dalam bidang optik.

Selain itu Ibnu Al-Haitham pun menerjemahkan buku-buku matematika dan falak dalam Bahasa Latin ke Bahasa Arab. Menjelang tahun terakhir wafatnya, beliau kembali ke Kaherah (Mesir). Ibnu Al-Haitham wafat di Kaherah pada tahun 1039 Masehi, di usianya yang ke-74. (TR)

Bersambung ….

Catatan kaki:


[1] P. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel dan W.P. Heinrichs (ed),  Encyclopaedia of Islam, Second Edition, diambil dari laman https://referenceworks.brillonline.com/search?s.f.s2_parent=s.f.book.encyclopaedia-of-islam-2&search-go=&s.q=haytham, diakses 20 Mei 2023

[2] Hasanul Rizqa, Mengenal Ibnu al-Haitham, Sang Ilmuwan Modern Pertama, dari laman https://islamdigest.republika.co.id/berita/q8z4nf458/mengenal-ibnu-alhaytham-sang-ilmuwan-modern-pertama, diakses 16 Mei 2023

[3] 1001 Invention, [FILM] 1001 Invention and the World of Ibn Al Haytham (English Version), dari laman https://www.youtube.com/watch?v=MmPTTFff44k&list=PLnohonkwbv7JsjQDS2E0sRbvjXvk3lrv0&index=1&t=761s, diakses pada 20 Mei 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*