Ibnu Al Haitham (2): Kontribusi Dalam Pemahaman Sifat Cahaya Dan Eksplorasi Karya Multidisiplinernya

in Tokoh

“Dijuluki sebagai “Ptolemeus Kedua” oleh Abu Hasan Bayhaqi, dan “Fisikawan” oleh John Peckham. Ibnu Al-Haitham merupakan pembuka jalan bagi ilmu pengetahuan modern dan tentang optik.”

Gambar ilustrasi. Sumber: metafor.id

Dijuluki sebagai “Ptolemeus Kedua” oleh Abu Hasan Bayhaqi, dan “Fisikawan” oleh John Peckham. Ibnu Al-Haitham merupakan pembuka jalan bagi ilmu pengetahuan modern dan tentang optik.[1]

Secara otodidak Ibnu Al-Haitham mempelajari bidang ilmu sains, falak, matematika, kedokteran, juga filsafat, dan menjadi mahir dalam bidang tersebut. Konon disebutkan bahwa Ibnu Al-Haitham telah menulis tak kurang dari 200 judul buku. Dia orang pertama yang melakukan penyelidikan dan menemukan pelbagai data penting mengenai cahaya.

Pemikiran Ibnu Al-Haitham yang paling populer memang berkaitan dengan penemuannya di bidang optik, ketika ia berada di dalam penjara. Meski ilmu optik sudah ada sejak zaman Yunani, tetapi Ibnu Al-Haitham melakukan telaah kritisi terhadap karya pemikir Yunani, seperti teori Euclid dan Ptolemy.

Teori dari pemikir Yunani menyatakan bahwa manusia melihat benda melalui pancaran cahaya yang keluar dari matanya. Namun, Ibnu Al-Haitham mengoreksi bahwa bukan mata yang memberikan cahaya, melainkan benda yang memantulkan cahaya pada mata. Di mana teori ini dipakai dan dipelajari sebagai ilmu pendidikan sekolah hingga sekarang.[2]

Beberapa buku mengenai cahaya yang ditulis Ibnu Al-Haitham telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, seperti Light dan On Twilight Phenomena. Kajian yang dibahas mengenai senja, lingkaran cahaya di sekitar bulan-matahari, juga bayang-bayang dan gerhana. Dalam kajian ini pun, ia telah berhasil melakukan penyelidikan hasil kedudukan cahaya, seperti bias dan pembalikan cahaya.

Ibnu Al-Haitham pun melakukan eksperimen terhadap kaca yang dibakar, dari hasil penelitian itu ditemukanlah teori lensa pembesar. Percobaannya digunakan oleh para ilmuwan di Italia untuk menciptakan kaca pembesar pertama di dunia.

Ia pun menemukan prinsip padu udara, 500 tahun sebelum seorang ilmuwan bernama Trricella mengetahui hal tersebut. Sebelum Isaac Newton menemukan wujud tarikan gravitasi, justru Ibnu Al-Haitham telah meneliti hal tersebut lebih dahulu.

Salah satu karya tersohor Ibnu Al-Haitham adalah Kitab Al-Manaazir (كتاب المناظر ), atau De Aspectibus, dikenal juga dengan judul Book of Optics (1011 – 1021 M). Terdiri atas tujuh jilid, yang uniknya karya tersebut dihasilkan ketika ia dipenjara selama 10 tahun. Karya itu telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, dan menjadi rujukan bagi generasi ilmuwan setelahnya.

Pemikiran Ibnu Al-Haitham banyak mempengaruhi para ilmuwan dan cendekiawan di barat masa pencerahan, antara lain Roger Bacon, René Descarters, Christian Huygens, Johannes Kepler, dan banyak lainnya.

Bahkan George Sarton (1931:721) menyatakan bahwa Ibnu Al-Haitham adalah ahli fisika muslim dan sarjana bidang optik terbesar sepanjang masa: “The greatest Moslem physicist and one of the greatest studens of optics of all times.” Pernyataan tersebut juga diamini oleh banyak ahli sains.[3]

Selain ilmu sains, Ibnu Al-Haitham banyak menulis ulasan tentang filsafat. Pendapat dan pandangannya terhadap ilmu filsafat menarik untuk disorot.

Menurutnya, falsafah tidak bisa dipisahkan dari sains, matematika, atau ketuhanan. Bidang ilmu tersebut harus dipelajari sejak dini. Diyakininya, seiring bertambahnya usia, kekuatan fisik atau psikis pun akan mengalami penurunan.

Ia memberikan pembuktian itu dengan mendalami ilmu pengetahuan di masa mudanya. Melahirkan banyak buku dan karya. Dalam bidang optik, bukunya seperti: Risalah Fi Al-Ain Wa Al-Abshar, Risalah Fi Al-Maraya Al Muhriqah Bi Al-Quthu.[4]

Dalam bidang astronomi, seperti buku: Kitab Fi Hai’ati Al-Alam, Risalah Fi Asy-Syafaq. Bahkan keterampilannya dalam bidang matematika menghasilkan karya di antaranya: Ilal Al-Hisab Al-Hindi, Tarbi’ Ad-Da’irah.[5]

Begitu banyak hasil karya yang ia tulis, bahkan konon mencapai 200 buku lebih. Namun, disayangkan hanya sedikit yang tersisa. Bahkan Kitab Al-Manadhir, tidak diketahui di mana rimbanya. Kebanyakan buku hasil karyanya merupakan hasil terjemahan dari Bahasa Latin.

Meski begitu, apresiasi atas karya Ibnu Al-Haitham tetap mengalir hingga sekarang. Di tahun 2015, UNESCO meluncurkan program kampanye sains bidang cahaya, dengan nama “1001 Inventions and The World of Ibn Al-Haitham.” Bahkan nama Ibnu Al-Haitham diabadikan untuk sebuah kawah di bulan, “The Crater Al-Hazen”, dan nama asteroid 59239 Alhazen.[6]

Semua itu demi mengenang Ibnu Al-Haitham sebagai sosok ilmuwan yang memberikan banyak kontribusi bagi dunia sains, sebagai sosok “Bapak Optik.”

Selesai

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Muslim Heritage, Ibn al-Haytham, dari laman https://muslimheritage.com/people/scholars/ibn-al-haytham-abu-ali-al-hasan/, diakses 20 Mei 2023

[2] Hasanul Rizqa, Mengenal Ibnu al-Haitham, Sang Ilmuwan Modern Pertama, dari laman https://islamdigest.republika.co.id/berita/q8z4nf458/mengenal-ibnu-alhaytham-sang-ilmuwan-modern-pertama, diakses 16 Mei 2023

[3] Muhammad Abduh, Peradaban Sains dalam Islam (Palembang: IAIN Raden Fatah, 2003), hlm 23.

[4] Syarach Meirizka, Sang Jenius Optik “The True Scientist” Ibnu Al-Haytham (email version) (Scientia Experia Publisher, 2011).

[5] Muhammad Gharib Gaudah, Masturi Irham (penerjemah), Muhyiddin Mas Rida Yasir Maqosid (penyunting), 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam (Pustaka Al-Kautsar, Cetakan 1, Jakarta, 2012) hlm. 164-169.

[6] Nurul Azizah, Biografi Ibnu Haitham: Kisah Bapak Ilmu Optik & Penemu Apa?”, dari laman https://tirto.id/grG5, diakses pada 16 Mei 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*