“Ibnu Bathuthah tiba di Madinah. Dia menyentuh dengan hormat sisa batang pohon kurma di mana Nabi biasa berdiri di sampingnya ketika berkhotbah. Ibnu Bathuthah memberikan pujian dan mengucap salam kepada sang pemimpin manusia dari awal sampai akhir, pemberi syafaat bagi orang-orang berdosa, Nabi Mekkah, Muhammad.”
–O–
Ibnu Bathuthah tinggal di Damaskus hanya selama 24 hari, dan dia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar dan bertemu dengan para guru dan hakim yang terkenal. Ross E. Dunn menggambarkan, “dia tidak dapat mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar karena dia tidak sepenuhnya terbebas dari urusan-urusan kehidupan. Untuk satu hal, seluruh masa tinggalnya di Damaskus terjadi ketika bulan Ramadhan, yaitu ketika umat Islam diwajibkan untuk berpuasa di siang hari, sebuah kewajiban berat yang mengganggu rutinitas normal kehidupan sehari-hari.”[1]
“Dia juga mengakui bahwa dia terserang demam pada saat waktu terbaik dia tinggal di sana, yaitu pada saat dia tinggal di rumah salah satu gurunya, yang kemudian membantunya untuk dirawat dokter. Di luar semua itu, dia menemukan waktu…. Untuk menikah lagi.”[2] Walaupun demikian, di Damaskus dia mendapatkan titel tambahan yang di kemudian hari hal tersebut membantunya untuk mendapatkan pekerjaan di India.”[3]
Ibnu Bathuthah tentu saja di dalam bukunya bercerita mengenai orang-orang suci, hakim, atau pejabat tinggi yang dia temui. Namun dia tidak banyak menceritakan tentang kehidupan pernikahannya. Diketahui di Damaskus dia menikah lagi, tapi bercerai tak lama kemudian. Dari pernikahan ini bahkan dia mendapatkan seorang anak laki-laki. Ibnu Bathuthah mengetahui dia memiliki anak ketika dia sudah melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Dia mengirim uang untuk pemeliharaan anak tersebut. Namun sayangnya anaknya meninggal di usianya yang ke 10 tahun, dan mereka tidak pernah sempat bertemu.[4]
Menuju Madinah
Dari Damaskus Ibnu Bathuthah akan melanjutkan perjalanannya ke Madinah, yang kemudian akan dilanjutkan ke Mekkah untuk berhaji. Dari Damaskus, rombongan orang-orang yang akan berangkat haji diperkirakan mencapai ribuan orang. Setiap orang bertanggung jawab masing-masing atas hewan kendaraan, persediaan makanan, dan uang untuk kebutuhannya selama perjalanan. Karena Ibnu Bathuthah masih miskin dan pengangguran, tentu saja dia menyambut baik apapun bantuan yang diberikan kepadanya. Guru ilmu hukumnya memberikan bantuan, “menyewa unta untukku dan memberiku perlengkapan perjalanan, dan lain-lain, dan uang tambahan. Berkata kepadaku, ‘ini akan berguna untuk sesuatu yang penting yang mungkin engkau perlukan,’ semoga Allah membalasnya,” kata Ibnu Bathuthah. Maka, berangkatlah Ibnu Bathuthah untuk berhaji.
Jarak dari Damaskus ke Madinah sekitar 1320 km, dan para peziarah biasanya mencapai Madinah dalam waktu 45-60 hari. Meski para peziarah dilindungi oleh pemerintah Mamluk, namun bahaya selama di perjalanan tetaplah ada.
Menurut Ross E Dunn, dalam setiap perjalanan haji selalu ditemukan peziarah yang tewas di dalam perjalanan. Mereka tewas karena cuaca, kehausan, banjir bandang, epidemik, dan bahkan diserang oleh perampok lokal yang tidak ragu untuk menyerang meskipun tahu bahwa para peziarah tersebut pergi dalam rangka ibadah suci. Pada tahun 1361, seratus orang peziarah Suriah tewas karena udara dingin yang ekstrem; dan pada tahun 1430, 3000 peziarah Mesir tewas karena kepanasan dan kehausan.[5]
Ibnu Bathuthah tiba dengan selamat di Madinah tanpa rintangan yang berarti. Madinah adalah kota Nabi.[6] Sedikit catatan sejarah, Nabi Muhammad beserta rombongan kecil pengikutnya hijrah ke Mekkah pada tahun 622 M untuk menghindari kekerasan yang dilakukan terhadap orang-orang Islam selama di Mekkah. Perjalanan tersebut sekaligus ditandai sebagai awal tahun Hijriyah, kalender Islam. Pada tahun 632 M, Nabi Muhammad wafat di Madinah, masjid Nabawi dan makam Nabi yang ada di sebelahnya setiap musim haji selalu menjadi tujuan ziarah yang ramai dikunjungi selain Ka’bah di Mekkah.[7]
Sampai di Madinah, Ibnu Bathuthah berkisah, “kami memasuki kota suci dan tiba di masjid yang termasyhur, berhenti di gerbang perdamaian dan memberikan salam; Kemudian kami berdoa di “taman” yang termasyhur antara makam Nabi dan mimbar yang mulia, dan dengan penuh hormat menyentuh fragmen yang tersisa dari batang pohon kurma di mana Nabi berdiri ketika sedang berkhotbah. Memberikan pujian dan mengucap salam kepada sang pemimpin manusia dari awal sampai akhir, pemberi syafaat bagi orang-orang berdosa, Nabi Mekkah, Muhammad….”[8]
Artikel terkait:
“Dalam perjalanan ini, kami tinggal di Madinah hanya empat hari. Kami biasa bermalam di masjid yang termasyhur, di mana orang-orang, setelah membentuk lingkaran di halaman dan menyalakan lilin dalam jumlah besar, akan melewatkan waktu baik dalam membaca Alquran yang tersedia di hadapan mereka, atau membaca doa-doa, atau mengunjungi makam suci.”[9] (PH)
Bersambung ke:
Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (6): Kehidupan Penduduk Mekah
Sebelumnya:
Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (4): Bertemu dengan Ibnu Taimiyah di Damaskus
Catatan Kaki:
[1] Ross E. Dunn, The Adventures of Ibn Battuta, A Muslim Traveler of the 14th Century, California: University of California Press, 1986, hlm 61-62, dalam Nick Bartel, “The Travels of Ibn Battuta, The Hajj – from Medina to Mecca: 1326”, dari laman https://orias.berkeley.edu/resources-teachers/travels-ibn-battuta/journey/hajj-medina-mecca-1326, diakses 24 Januari 2018.
[2] Ibid.
[3] Nick Bartel, Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ross E. Dunn, Ibid., hlm 67, dalam Nick Bartel, Ibid.
[6] Nick Bartel, Ibid.
[7] Lebih lengkap tentang perjalanan kenabian, lihat Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001).
[8] Ibn Battuta, Travels In Asia And Africa 1325-1354, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, Broadway House, Carter Lane; 1929), diterjemahkan dari bahasa Arab ke Inggris oleh H.A.R Gibb, hlm 74.
[9] Ibid.