Ibnu Haitham: Bapak Optik Modern (1)

in Tokoh

Last updated on April 9th, 2019 08:47 am

Optik, adalah cabang ilmu fisika yang meneliti sifat dan perilaku cahaya serta hubungannya dengan materi. Dari ilmu inilah lahir kamera,
yang kemudian menjadi salah satu instrumen penting dalam sistem kehidupan modern yang kita nikmati sekarang.

Gambar Ilustrasi. Sumber:
mahtubfu.wordpress.com

Pernahkah kita membayangkan bila peradaban manusia tidak pernah mengenal poto, video dan citra satelit? Mungkin kita tidak akan mengenal peta bumi secara presisi, ilmu photografi, cinematography dan industri perfilman. Bayangkan betapa tawarnya dunia yang kita huni.

Semua sistem dan perangkat kehidupan yang disebut di atas, mulai dibangun ketika manusia pertama kali menemukan teknologi kamera. Layaknya mata manusia, kamera didesign untuk bisa menangkap benda yang bercahaya (atau diterangi cahaya) lalu merefleksikannya kembali secara sempurna.

Sebelum itu, selama ribuan tahun lamanya manusia mengira, bahwa fungsi penglihatan mereka terjadi disebabkan adanya pancaran cahaya yang keluar dari matanya. Hingga tiba satu masa, ketika seorang ilmuwan Muslim bernama Ibn al-Haitham merevisi pendapat ini secara radikal. Menurutnya, bukan mata yang memberikan cahaya tetapi benda yang memantulkan cahaya menuju mata hingga terjadi penglihatan.

Dari proposisi inilah lahir penelitian lebih jauh mengenai sifat dan prilaku cahaya dan interaksinya dengan materi. Penelitian ini akhirnya berkembang menjadi salah satu cabang dari ilmu fisika, yang kita kenal dengan Ilmu Optik. Ilmu inilah yang menjadi dasar teoritis lahirnya teknologi kamera, yang kemudian menjadi salah satu instrumen penting dalam sistem kehidupan modern yang kita nikmati sekarang.

Tulisan ini, adalah sedikit upaya untuk memaparkan kisah hidup Ibn Haitham, yang kini oleh masyarakat modern dijuluki sebagai “Bapak Optik Modern”.

Asal usul

Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad al-Hassan bin al-Haitham atau lebih dikenal dengan Ibnu Haitham. Masyarakat barat mengenalnya dengan nama “Alhacen”, yang kemudian menjadi “Alhazen”. Dia dilahirkan di Basrah, Irak, sekitar seribu tahun yang lalu, atau pada tahun 354 H/ 965 M. Ketika itu peradaban kaum Muslimin sedang mencapai masa keemasannya.[1]

Pada waktu itu areal kekuasaan kaum Muslimin merentang dari Andalusia hingga Asia Tengah. Meski di sepanjang areal itu kekuatan politik mereka terpecah belah, tapi tidak demikian dengan semangat zamannya. Di semua daerah tersebut, kaum Muslimin dan Muslimat dari semua strata dan kelas sosial berlomba-lomba melahap ilmu pengetahuan. Tak ayal bila kemudian di era ini, sejumlah terobosan penting terjadi baik di bidang ilmu pengetahuan, filsafat dan seni.[2]

Menariknya – sebagaimana sejarah membuktikan – salah satu ciri yang dapat dilihat pada para tokoh ilmuwan Islam ialah mereka tidak sekadar dapat menguasai ilmu-ilmu tersebut pada usia yang muda, tetapi dalam masa yang singkat dapat menguasai beberapa bidang ilmu secara bersamaan. Salah seorang dari tokoh tersebut ialah Ibnu Haitham. Walaupun dia lebih dikenal dalam bidang sains dan pengobatan, tetapi dia juga ahli dalam bidang agama, filsafat, dan astronomi.[3]

Tidak banyak yang diketahui tentang masa kecil dan proses pendidikannya. Tapi kuat dugaan bahwa dia adalah seorang pelajar yang cemerlang. Karena di usia cukup muda, dia sudah dipercaya menjadi salah satu pejabat penting dalam jajaran pemerintahan lokal di Basrah. Pada masa ini, Basrah masih menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan Islam. [4] Meksipun tidak sebesar dulu ketika masa keemasan Dinasti Abbasiyah. Di masa ini, Dinasti Abbasiyah sudah kehilangan pamornya sebagai kekuatan politik kaum Muslimin maupun sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan.

Terhitung sejak era Khalifah Mutawwakil yang berkuasa pada 847-861 M, Dinasti Abbasiyah mulai memasuki masa kejumudan. Mereka mulai melarang membaca buku-buku karya pemikir Yunani karena dianggap produk non-Muslim. Baitul Hikmah, yang mulanya menjadi lembaga riset terkemuka di dunia, tinggallah kenangan.[5] Sebelumnya, ketika era Al-Ma’mum (833-842 M), hingga Al Watsiq (842-847M), di tempat inilah semua buku-buku dari segala penjuru dunia diterjemahkan dan dikaji. Seperti kitab kedokteran karya Hippocrates dan Galen;  buku matematika karya Archimedes;  geometri karya Euclid; dan yang tak kalah penting adalah karya-karya Plato and Aristoteles.  Dari proses yang konstruktif inilah lahir era keemasan Islam.[6] Tapi kemudian, Dinasti Abbasiyah menutup semua era gemilang ini dengan pelarangan terhadap filsafat dan pemikiran kritis lainnya.

Sejak itu, Dinasti Abbasiyah disibukkan oleh perpecahan internal yang menyajikan sejumlah drama politik memilukan. Wibawanya hancur ke titik nadir. Situasi ini digenapi dengan lahirnya pemberontakan kaum budak tahun 255 H. Mereka dikenal juga sebagai kelompok Zanj. Pemberontakan yang mereka lakukan berlangsung selama 14 tahun di Basrah dan sekitarnya. Karena pemberontakan ini, pemerintah Abbasiyah kehilangan konsentrasi mengelola wilayah yang sedemikian luas. Meski pada akhirnya pemberontakan berhasil dipadamkan, tapi disintegrasi politik sudah terjadi.[7]

Pada rentang waktu antara tahun 934-1048 masehi, lahirlah sebuah Dinasti Buyid (Buwaihid, Bowayhid, Buyahid, atau Buyyids) di Iran. Dinasti ini adalah salah satu kekuatan politik yang berhasil memisahkan diri dari Dinasti Abbasiyah, ketika cengkraman mereka pada sejumlah wilayah Islam melemah. Dinasti Buyid beribu kota di Shiraz (Iran), dan menguasai hampir seluruh wilayah Iran sekarang, hingga ke sebagian wilayah Irak. Salah satunya adalah Basrah. Di tempat inilah Ibn Haitham pertama kali terlacak oleh tinta sejarah.[8]

Meski memiliki jabatan yang cukup tinggi di pemerintahan Basrah, Ibnu Haitham tetap tak menemukan akses ke samudera ilmu yang lebih luas. Minimnya literatur dan keluasaan waktu yang dirasakannya kala itu, membuat dahaga intelektualnya tak kunjung terpenuhi. Hingga satu ketika, dia mendapat undangan khusus dari Khalifah Al-Hakim, penguasa Dinasti Fatimiyah di Mesir. Dalam undangan tersebut Ibnu Haitham diminta untuk melakukan riset terhadap aliran sungai Nil. Ketika itu, air Sungai Nil sering meluap yang menyebabkan banjir dan gagal panen. Al-Hakim meminta agar Ibnu Haitham membuat rekayasa ilmiah untuk mengatasi masalah tersebut.[9] Tanpa banyak pertimbangan, Ibnu Haitham langsung menanggalkan jabatannya, lalu berangkat ke Mesir. (AL)

Bersambung…

Catatan kaki:


[1] Lihat, Discover the World of 11th Century Scientist Ibn Al-Haytham, http://www.ibnalhaytham.com/discover/who-was-ibn-al-haytham/, diakses 7 April 2019

[2] Ibid

[3] Lihat, Ibnu Haitham: Ilmuwan Muslim Berpengaruh di Dunias, https://islamindonesia.id/siapa-dia/ibnu-haitham-ilmuwan-muslim-berpengaruh-di-dunia.htm, diakses 7 April 2019

[4] Lihat, Discover the World of 11th Century Scientist Ibn Al-Haytham, Op Cit

[5] Uraian lebih jauh mengenai sejarah perkembangan Baitul Hikmah, redaksi ganaislamika.com pernah menerbitkan artikel berjudul, “Bayt Al-Hikmah: Lembaga Riset Pertama Islam”. Untuk membaca, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/bayt-al-hikmah-lembaga-riset-pertama-islam/

[6] Lihat, Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, hal. 71

[7] Uraian lebih jauh mengenai sejarah Pemberontakan Zanj, redaksi ganaislamika.com pernah menerbitkan serial kajian berjudul, “Pemberontakan Zanj”. Untuk membaca, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/pemberontakan-zanj-titik-balik-sejarah-yang-terlupakan-1/

[8] Lihat, Ibn al-Haytham, https://www.britannica.com/biography/Ibn-al-Haytham, diakses 4 April 2019

[9] Konon, undangan ini dikirim karena sebelumnya Ibnu Haitham pernah dengan sesumbar mengatakan bahwa “Jika saya diberi kesempatan, saya akan menerapkan solusi untuk mengatur banjir Sungai Nil”. Klaim ini di dengar oleh Khalifah Al-Hakim. Untuk itulah dia diminta datang ke Mesir membuktikan kata-katanya. Lihat, Lihat, Discover the World of 11th Century Scientist Ibn Al-Haytham, Op Cit


                    

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*