Mozaik Peradaban Islam

Pemberontakan Zanj (1)

in Sejarah

Last updated on September 21st, 2018 09:17 am

Dalam sejarah Islam yang sudah berlangsung selama lebih dari 14 abad, telah terjadi serangkaian titik balik yang berhasil membelokkan dan mengubah arah sejarah. Salah satu titik balik tersebut, adalah pemberontakan Zanj, yang terjadi pada 869-883 M di jantung wilayah kekhalifahan Dinasti Abbasiyah.”

—Ο—

Ilustrasi perbudakan kulit hitang yang terjadi pada masa Abbasiyah. Sumber gambar: http://solarey.net

Dinasti Abbasiyah merupakan imperium yang paling masyhur dalam sejarah Islam. Para sejarawan, baik dari timur maupun barat, mengakui bahwa di era Abbasiyah lah masa keemasan Islam mencapai titik tertingginya. Bila dijumlah keseluruhan eksistensinya, Dinasti tersebut berusia sekitar 500 tahun (750-1258). Tapi sejatinya, masa keemasan yang dianggap sebagai puncak kejayaan Dinasti Abbasiyah tak lebih dari tujuh dasawarsa. Atau terhitung sejak masa Khalifah Harun Al Rasyid (766-809) hingga Al Ma’mun (813-833). Selebihnya, Dinasti tersebut dipenuhi sejumlah perang saudara, kudeta, perpecahan, disintegrasi wilayah, dan pemberontakan.

Salah satu pemberontakan yang paling besar dan mengerikan terjadi pada sekitar tahun 255 H/ 869 M dan berlangsung selama 14 tahun, atau hingga tahun 883 M. Pemberontakan ini dipimpin oleh sosok bernama Ali bin Muhammad, yang berhasil memobilisasi gerakan perlawanan kaum budak dari Afrika yang dikenal sebagai kelompok Zanj. Pemberontakan ini pertama kali pecah di sekitar wilayah Basrah, Irak Selatan, dan kemudian menyebar dengan cepat ke sejumlah wilayah di jantung kekuasaan Dinasti Abbasiyah.

 

Peta wilayah kekhalifahan Abbasiyah selama berlangsungnya pemberontakan Zanj, dari tahun 869-883 M. Sumber gambar: wikipedia.org

Terkait jumlah korban yang jatuh dalam pemberontakan ini, sejarawan tidak memiliki kesepakatan mengenai angkanya. Tapi bila diperkirakan, jumlah korban meninggal akibat dari pemberontakan ini berkisar antara 500.000 hingga 2.500.000 manusia. Beberapa sejarawan Muslim, seperti al-Tabari dan al-Mas’udi, menganggap pemberontakan Zanj sebagai salah satu “pemberontakan paling ganas dan brutal” dari sejumlah gangguan yang melanda pemerintah pusat Abbasiyah.[1] Sementara sarjana modern memaknai serangkaian peristiwa yang terjadi pada masa tersebut sebagai salah satu yang paling berdarah dan paling merusak dalam catatan sejarah Asia Barat.

David Whines, penerjemah karya al-Tabari mengatakan bahwa, pemberontakan Zanj merupakan ujian terberat bagi khalifah al-Muhtadi yang pertama kali di bai’at pada tahun 255 H, atau bertepatan dengan pecahnya pemberontakan pertama. Pemberontakan tersebut menjadi bagian yang memperpanjang krisis internal Dinasti Abbasiyah, tidak hanya di bidang politik – yang secara natural pasti berpangaruh – tapi juga di bidang ekonomi dan sosial. Sebuah krisis yang mengakibatkan Abbasiyah tidak lagi bisa benar-benar pulih.[2]

Setelah pemberontakan Zanj, Dinasti Abbasiyah terus mengalami dekadensi dan kehilangan pengaruhnya, hingga akhirnya benar-benar sirna dari muka bumi oleh invasi bangsa Mongol pada tahun 1258 M.

Setting Sejarah

Setting sejarah yang melatari lahir dan berkobarnya pemberontakan Zanj, terbentuk sejak terjadinya sejumlah perubahan besar dalam divisi sosial-politik kekhalifahan Abbasiyah pada beberapa dekade sebelumnya, baik di level elit maupun masyarakat. Sejumlah perubahan tersebut melahirkan krisis di kedua level yang kemudian saling mempengaruhi satu sama lain. Hingga pada satu titik, keseluruhan krisis tersebut bersintesa menjadi situasi anarki, yang memporak porandakan semua lini kehidupan politik, sosial dan ekonomi di jantung kekuasaan Abbasiyah.

Di level elit, perubahan besar terjadi ketika khalifah kedelapan Dinasti Abbasiyah, bernama Al-Mu’tashim, yang naik tahta pada tahun 218 H/833 M, mulai menyewa budak-budak dari Turki untuk dijadikan sebagai elit khusus di kemiliteran.[3] Pada mulanya, Al-Mu’tashim – yang juga memiliki darah Turki dari ibunya – terkesan dengan keterampilan berperang orang-orang Turki tersebut ketika membantunya melawan Bizantium dan juga dalam menghadapi pemberontak di masa kekhalifahan saudara tirinya, Al Ma’mum.

Kesan positif Al-Mu’tashim tersebut berlanjut ketika berkuasa. Dia menyingkirkan pasukan-pasukan inti Abbasiyah dan mendudukan orang-orang Turki ini sebagai pasukan utama dalam masa pemerintahannya. Lambat laun, kebutuhan akan persionil pasukan makin tinggi, dan orang-orang Turki yang datangpun kian banyak. Hingga satu ketika, jumlah pasukan Turki yang datang semakin membengkak dan mulai mengganggu kehidupan masyarakat di Baghdad. Bahkan tak jarang, keributan kerap terjadi antara penduduk setempat dengan pasukan Turki tersebut.[4]

Melihat segregasi sosial makin sulit terkendali, akhirnya pada tahun 221 H/836 M, Al-Mu’tashim memutuskan untuk memindahkan pemukiman orang-orang Turki tersebut ke kawasan baru, yaitu ke kota Samarra.[5] Dan disebabkan pasukan utamanya pindah ke Samarra, maka praktis sang khalifah pun memindahkan Ibu Kota kekhalifahan Abbasiyah ke kota tersebut. (AL)

 

Bersambung…

Pemberontakan Zanj (2): Anarki di Samarra

Catatan kaki:

[1] Lihat, Furlonge, Nigel D, Revisiting the Zanj and Re-Visioning Revolt: Complexities of the Zanj Conflict (868-883 AD), https://www.questia.com/magazine/1G1-76402507/revisiting-the-zanj-and-re-visioning-revolt-complexities, diakses 19 September 2018

[2] Lihat, The History of al-Tabari Volume XXXVI, The Revolt of the Zanj, Translated by David Waines, State University of New York Press, 1992, hal. xv

[3] Orang-orang Turki yang dimaksud berasal dari berbagai wilayah di Asia tengah. Secara geneologis, mereka berasal dari Transkaukasia, atau sekarang mencakup Armenia, Azarbaijan dan Goergia. Pada awalnya mereka dibeli layaknya budak. Lalu kemudian dipergunakan untuk kepentingan militer. Mereka dilatih dan diajari sejumlah keterampilan militer, hingga mereka menjadi pasukan elit. Kelas sejarah mengenal mereka dengan banyak nama, seperti Ghulam/Ghilman, Raqiq/ariqqa, dan yang paling terkenal adalah Mamluk atau mamalik. Lihat, Matthew S. Gordon, The Breaking of a Thousand Swords; History of The Turkish Military of Samarra (A.H. 200-275/815-889 C.E), State University of New York Press, 2001, hal. 1

[4] Ibid

[5] Saat ini kota tersebut terletak di arah timur sungai Dajlah dan berjarak sekitar 124 Km dari kota Baghdad. Kota Samarra berbatasan dengan Kurkuk di bagian timur, dibagian utara dengan Nainawa, di bagian barat dengan provinsi al-Anbar dan dibagian selatan berbatasan dengan Baghdad.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*