Mozaik Peradaban Islam

Al-Jahiz (1): Sastrawan Terbesar dari Dunia Arab

in Tokoh

Last updated on May 29th, 2021 12:31 pm

Al-Jahiz berangkat dari latar belakang kehidupan yang sederhana dan kemudian dia bangkit menjadi bintang besar dunia sastra pada masanya. Karya-karyanya yang terselamatkan masih banyak dibaca secara luas sampai sekarang.

Ilustrasi wajah al-Jahiz. Foto: 1001 Inventions

Artikel ini akan mengulas tentang kehidupan dan karya-karya dari penulis pada zaman keemasan Islam, dia adalah al-Jahiz. Al-Jahiz berangkat dari latar belakang kehidupan yang sederhana dan kemudian dia bangkit menjadi bintang besar dunia sastra pada masanya.

Oleh banyak sarjana, dia dianggap sebagai penulis prosa Arab terbaik yang pernah hidup. Penulis yang brilian ini telah menulis lebih dari 200 buku, kebanyakan adalah tentang fiksi. Karya-karyanya yang terselamatkan masih banyak dibaca secara luas sampai sekarang.

Sastra Arab pada Zaman Keemasan Islam

Pembahasan atau diskusi tentang Zaman Keemasan Islam biasanya selalu dimulai dan diakhiri dengan tema tentang sains. Hal ini sesungguhnya dapat dimaklumi, sebab selama periode tersebut dunia sains memang sedang mengalami banyak kemajuan yang signifikan.

Namun penting juga bagi kita untuk tidak melupakan tentang kemajuan dan pentingnya dunia kesusastraan yang juga berkembang pada masa itu, terutama pada abad setelah Baghdad didirikan oleh Khalifah al-Mansur pada tahun 762.

Banjir aktivitas intelektual yang terjadi di Baghdad dan kota-kota lain dari kekhalifahan Muslim Abbasiyah pada abad ke-9 menandai puncak perkembangan sastra dan sains sepanjang 500 tahun Zaman Keemasan Islam. Bahasa Arab dalam bentuk tertulis masih merupakan inovasi yang relatif baru pada saat itu.

Alfabet Arab yang spesifik dan dapat dikenali pertama kali muncul baru pada paruh pertama abad ke-4. Sebelumnya, sastra Arab hanya mengandalkan transmisi lisan — paling jelas dapat terlihat dalam tradisi pembacaan puisi/syair. Namun hal itu mulai berubah dengan bangkitnya Islam pada awal abad ke-7.

Agama yang dibawa Nabi Muhammad saw, yang hidup pada tahun 570-632, mengakar di pusat-pusat kota Arab bagian barat. Islam bukan lahir di tengah gurun di Arab — seperti yang dipikirkan oleh sebagian orang, namun cukup banyak juga yang berpikir seperti ini — yang mana banyak orang percaya bahwa bentuk paling murni dari tradisi puisi lisan bahasa Arab dapat ditemukan.

Seiring dengan berkembang pesatnya pemerintahan Islam di bawah para penerus ajaran Nabi Muhammad saw, maka secara alamiah mereka memerlukan teknik pencatatan tertulis dan komunikasi yang lebih mumpuni — untuk kepentingan bisnis, pemerintahan, dan untuk setiap jenis kebutuhan hukum, dari akta properti hingga catatan pajak.

Dan dampak yang paling nyata dan langsung dari kebutuhan ini adalah bergesernya tradisi lisan murni ke arah kesusastraan Arab.[1]

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan, orang yang pertama kali mencetuskan ilmu nahu (tata bahasa Arab) adalah Abu Aswad ad-Duali dari Bani Kinanah atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dia memberikan tanda-tanda baca berupa syakl (tanda vokal, seperti fathah, kasrah, dan damah), serta titik dalam penulisan Alquran.

Tidak berhenti sampai di sana kekhalifahan Islam generasi selanjutnya juga mulai meresmikan penggunaan bahasa Arab lewat politik dan korespondensi. Mata uang pun menggunakan bahasa dan aksara Arab.[2]

Adalah Khalifah Abdul Malik dari Dinasti Umayyah (berkuasa 685-705) yang mempelopori pembuatan koin sekaligus mata uang dengan aksara bahasa Arab di dalamnya.

Waktu itu dia berpikir bagaimana mungkin Kekhalifahan Umayyah yang sedang berkembang tidak memiliki mata uangnya sendiri – bahwa urusan negara, dan perdagangan sehari-hari, mesti dilakukan dengan menggunakan koin Bizantium, atau salinannya, yang menampilkan simbol-simbol Kristen dan gambar para pemimpin asing.

Maka pada waktu itu dibuatlah koin pertama di dalam dunia Islam yang terkenal dengan sebutan Dinar 77 H (angka 77 di sini menandai 77 tahun kalender Hijriyah dalam Islam).[3]

Pada generasi dinasti Islam selanjutnya, Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, yang menguasai sebagian besar Timur Tengah dan dunia Muslim yang lebih luas dari tahun 750 dan seterusnya, sangat menyadari bahwa kesusastraan adalah salah satu tanda dari kerajaan yang besar dan berbudaya dan oleh karena itu penting untuk dikembangkan.

Sementara sebagian besar sastra dan budaya Arab pada saat itu masih bertumpu pada proyek-proyek penyalinan Alquran yang relatif baru dan pada agama Islam itu sendiri, rakyat non-Muslim Dinasti Abbasiyah banyak yang memiliki latar belakang dari budaya seni dan sastra yang jauh lebih tua — dan lebih mapan.

Tak pelak, orang-orang Arab dan bahasa Arab pun meminjam banyak kekuatan linguistik dari bahasa lama ini, antara lain dari Aram, Persia, dan bahasa-bahasa dari wilayah lainnya.

Selama paruh kedua abad ke-8, upaya resmi diselenggarakan oleh pemerintah Abbasiyah di Basrah, Baghdad, Samarra, dan kota-kota mayoritas Arab lainnya untuk memformalkan bahasa Arab, membakukan arti-arti perbendaharaan kata, atau kosa katanya, dan memperkuat pengaturan tata bahasanya.

Dalam hiruk pikuk gairah linguistik seperti inilah kemudian al-Jahiz dilahirkan, dan hal itu terus mengelilinginya saat dia tumbuh dewasa.[4] (PH)

Bersambung ke:

Catatan kaki:


[1] Eamonn Gearon, The History and Achievements of the Islamic Golden Age (The Great Courses: Virginia, 2017), hlm 29-30.

[2] “Awal Mula Pembakuan Bahasa Arab”, dari laman https://www.republika.co.id/berita/o0ux83313/awal-mula-pembakuan-bahasa-arab, diakses 27 Mei 2021.

[3] Oliver White, “The First Islamic Coin Leads Bonhams Islamic and Indian Sale”, dari laman https://www.bonhams.com/press_release/30336/#:~:text=The%2077h%20Dinar%2C%20the%20first,highly%20symbolic%20in%20its%20simplicity, diakses 27 Mei 2021.

[4] Eamonn Gearon, Op.Cit., hlm 30.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*