Di Arafah, seolah-olah sang Amir menghuni kota bertembok yang bergerak ketika dia pindah dan menetap di tempat dia tinggal. Pemandangan kemegahan kerajaan seperti ini tidak pernah terlihat di antara raja-raja Barat.
Arafah juga merupakan dataran yang luas (sama dengan Muzdalifah, memiliki dataran yang luas), cukup luas untuk menampung seluruh umat manusia pada Hari Kebangkitan. Dataran ini dikelilingi oleh banyak gunung. Di ujung paling timurnya adalah Gunung Rahmat (Jabal al-Rahmah). Tanah untuk perenungan Haji terbentang di sekitar situ….
Tanah itu naik di tengah dataran, terpisah dari gunung-gunung lainnya. Ini terdiri dari bagian-bagian granit yang terpisah dan sulit untuk didaki. Jamal al-Din,[1] yang karyanya telah dikutip dalam catatan perjalanan ini, membangun anak tangga datar di keempat sisinya dengan begitu lebar sehingga banyak hewan yang dapat memanjatnya. Sejumlah besar biaya dihabiskan untuk membangun konstruksinya.
Di puncaknya terdapat kubah yang dinamai Ummu Salamah.[2] Sebuah masjid berdiri di bawah kubahnya. Ke dalam tempat inilah kerumunan peziarah datang untuk salat. Di sekitarnya terbentang sebuah teras, luas dan indah dipandang mata, menghadap ke Dataran Arafah. Pada tembok selatan terdapat banyak cerukan untuk salat bagi para peziarah.
Di kaki gunung terdapat sebuah rumah kuno dengan ruang atas berkubah, sering dikaitkan dengan Adam, semoga Allah melindunginya. Di sebelah kirinya, menghadap ke Makkah, adalah batu yang secara tradisional (diyakini) tempat berdiri Nabi di sebelahnya, di atas sebuah bukit kecil.
Di sekitar gunung dan rumah ada banyak sumur dan tangki air. Di sebelah kiri rumah terdapat masjid kecil. Di dekat tiang yang menandai wilayah suci itu berdiri puing-puing masjid yang jauh lebih besar, dari arah tembok selatan, dinamai Ibrahim, yang masih tersisa.
Imam menyampaikan sebuah khotbah di sini pada hari perenungan, lalu dia memimpin salat Dzuhur dan Ashar. Di sebelah kiri penanda yang menghadap ke Makkah terdapat Lembah Pohon Berduri, yang duri hijaunya membentang di kejauhan melintasi dataran….
Keesokan paginya banyak orang memenuhi dataran, lebih besar daripada yang bisa diingat oleh siapa pun…. Beberapa peziarah yang mengetahui betul kondisi perhajian, karena telah lama menetap di Makkah, bersumpah bahwa mereka belum pernah melihat orang sebanyak ini.
Secara pribadi, aku tidak memercayainya, karena semenjak zaman Harun al-Rashid,[3] khalifah terakhir yang melakukan ziarah, tidak ada lagi pertemuan umat Islam yang seperti itu. Semoga Allah memberi mereka jaminan dan belas kasihan.
Orang-orang berdiri menangis pada saat berdoa, memohon pengampunan Allah. Seruan “Allahu Akbar! Allah Maha Besar!” menggema di udara. Itu adalah hari yang tak tertandingi dalam tangisan dan penyesalan, dari leher yang tertunduk dalam kepasrahan dan kerendahan hati di hadapan Allah. Para haji melanjutkan di jalan ini, sementara matahari membakar wajah mereka, sampai tiba waktunya untuk salat Maghrib.
Kemewahan di Arafah
Amir Haji telah muncul sekarang dengan banyak prajurit berbaju besi. Mereka mengambil posisi di dekat masjid kecil di atas batu. Orang-orang suku Saru dari Yaman mengambil posisi yang ditunjuk di Gunung Rahmat, posisi-posisi yang telah mereka tempati secara turun temurun sejak zaman Nabi. Tidak ada suku yang mengambil jatah tempat suku lainnya.
Amir Irak datang juga, dengan banyak orang di sekelilingnya, ditemani oleh orang-orang terkemuka dari Khurasan dan para putri kerajaan serta banyak wanita, anak-anak perempuan Amir ada di antara mereka…. Perkemahan ini sangat indah untuk dilihat dan dilengkapi dengan tenda-tenda besar yang menawan serta paviliun dan tirai yang begitu bagus, sebuah pemandangan yang tak tertandingi.
Kamp termegah, kepunyaan Amir, dikelilingi oleh tirai linen, membentuk semacam taman tertutup. Tenda-tenda didirikan di dalamnya, semua hitam dengan latar belakang putih, belang-belang, dan beraneka ragam seperti bunga di taman.
Tirainya dihiasi di semua sisi dengan perisai hitam menakjubkan yang dilukis di linen dengan gambar yang sedemikian nyata, sehingga orang yang lewat mungkin akan menyangka bahwa itu adalah perisai ksatria yang sengaja dipasangkan.
Tirai-tirai itu dididirikan di atas pintu-pintu yang tinggi seperti di sebuah kastil, orang yang melaluinya akan memasuki lorong-lorong yang membingungkan, di mana setelahnya terdapat tenda-tenda dan paviliun-paviliun yang berdiri di tanah terbuka.
Seolah-olah sang Amir menghuni kota bertembok yang bergerak ketika dia pindah dan menetap di tempat dia tinggal. Pemandangan kemegahan kerajaan seperti ini tidak pernah terlihat di antara raja-raja Barat (Ibnu Jubair adalah orang Spanyol, Eropa). Di balik pintu-pintu itu ada pengurus istana, pelayan, dan pengikut Amir lainnya.
Pintu-pintunya begitu tinggi, sehingga seorang penunggang kuda dengan panji-panji pun dapat melewati tanpa mesti menundukkan kepalanya. Semua konstruksi ini diatur dan didirikan di atas tanah dengan tali linen dan pasak kayu.
Amir-amir lainnya, pada tahun itu memiliki kamp-kamp yang tidak semegah itu, tetapi semuanya memiliki gaya yang serupa, dengan paviliun indah yang sangat mirip dengan mahkota raksasa. Dengan ukuran dan perlengkapan perkemahan mereka, banyaknya kekayaan mereka sudah tidak diragukan lagi.
Ketika penghuni kamp-kamp ini bepergian dengan unta, mereka naik di bawah naungan kanopi yang ditinggikan di atas tandu kayu. Ini seperti buaian, dan penumpangnya naik bagaikan bayi di tempat tidur, karena tandunya diisi dengan kasur empuk tempat penumpang dapat duduk dengan nyaman, seperti di tempat tidur.
Di hadapannya, di bagian lain tandu, duduk temannya, pria atau wanita, dan di atas kepala mereka, kanopi melindungi mereka. Mereka bergerak tanpa gangguan, tidur siang, atau membaca Quran, atau bermain catur.
Ketika mereka mencapai tujuan mereka, setelah tirai-tirai didirikan, mereka memasuki ruangan tanpa mesti turun. Tangga kemudian dipersiapkan dan mereka turun, melewati naungan kanopi ke tenda kamar mereka, tanpa disentuh oleh angin atau sinar matahari…. (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Jamal al-Din al-Jawad al-Isphahani (meninggal tahun 1164): Wazir Mosul yang membangun banyak sarana publik di Makkah dan Madinah. —Michael Wolf
[2] Ummu Salamah: salah satu istri Nabi Muhammad pada masa akhir; situs berkubah tersebut dihancurkan pada awal abad ke-19 oleh orang-orang Wahhabi. —Michael Wolf
[3] Harun al-Rashid (meninggal tahun 809): suami Ratu Zubaidah. —Michael Wolf