Mozaik Peradaban Islam

Ibnu Jubair (14): Naik Haji (3): Para Pengkhotbah

in Tokoh

Seorang pengkhotbah dari Khurasan, pria dengan wajah tampan dan gerakan yang anggun, berbicara menggunakan bahasa Arab dan Persia dengan fasih, membuat pendengar gemetar dengan emosi dan meleleh dengan rintihan.

Foto ilustrasi: Lukisan karya Mir Ali (1795-1830-an) yang menggambarkan Fath-Ali Shah Qajar dari Persia.

Para peziarah meninggalkan Arafah setelah matahari terbenam, seperti yang telah aku katakan. Larut malam itu mereka ke Muzdalifah, di mana mereka menggabungkan salat maghrib dan isya, seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi.

Sepanjang malam, Mashar al-Haram diterangi oleh lampu lilin. Masjid itu juga dinyalakan, sehingga dengan memandang ke dataran itu seolah-olah itu semua adalah bintang di langit yang berkelap-kelip. Hal itu terlihat sama di Gunung Rahmat (Jabal al-Rahmah) dan masjidnya, karena orang asing dari Khurasan dan beberapa orang Irak menjadikannya titik untuk membawa sejumlah besar lilin ke tempat-tempat suci ini.

Masjid Haram di Makkah tampak sama selama mereka menetap, karena setiap kali mereka memasukinya, mereka membawa lilin. Kami melihat satu contoh yang begitu besar, yang ukurannya sebesar pohon cemara, yang mereka taruh di hadapan imam Hanafi, karena sebagian besar orang-orang Irak mengikuti praktik itu.[1]

Malam itu, para peziarah bermalam di Muzdalifah. Di sini, pada malam hari sebagian besar dari mereka mengumpulkan kerikil kecil yang akan mereka lempar ke pilar jamarat pada tiga hari ke depan. (Mengumpulkan kerikil itu di sini adalah tradisi yang lebih populer, meskipun ada juga yang mengumpulkannya di sekitar masjid Khayif di Mina.)

Setelah salat subuh mereka pergi ke Mina. Ketika mereka sampai di sana, mereka bergegas untuk melemparkan tujuh batu pertama mereka ke pilar terbesar, kemudian mereka berkurban seekor hewan.

Setelah ini, sesuai dengan fikih ziarah, mereka bebas untuk kembali ke aktivitas normal kehidupan, kecuali untuk hubungan seksual dan penggunaan parfum. Mereka harus berpantang dari dua kesenangan ini sampai mereka telah mengelilingi Kabah lagi di Makkah.

Kebanyakan orang merajam pilar terbesar pada sekitar saat matahari terbit di hari kurban, kemudian mereka pergi ke Makkah untuk melakukan tawaf. Beberapa tetap tinggal sampai hari kedua, dan beberapa tetap bertahan sampai hari ketiga, hari resmi untuk kembali ke kota.

Pada hari setelah kurban, saat matahari jatuh dari titik tertinggi, para haji melemparkan tujuh kerikil pada masing-masing dari tiga pilar, mengucapkan doa di dua tempat pertama, yang semuanya mengikuti contoh Nabi, Allah memberkati dan melindunginya. Pilar-pilar itu, terakhir dirajam pada dua hari ini, namun pada hari kurban, adalah pilar pertama dan satu-satunya yang dirajam.

Pada hari Sabtu, yaitu hari kurban, kiswah, atau penutup Kabah yang suci, digotong dengan empat unta ke Makkah dari kamp Amir Irak. Hakim kota yang baru diangkat berjalan di depannya, mengenakan jubah hitam yang disediakan oleh Khalifah, didahului oleh spanduk-spanduk dan diikuti oleh genderang yang dimainkan….

Kiswah itu ditempatkan di atap Kabah, dan pada hari Selasa tanggal 13, para penjaga sibuk menyampirkannya ke atas bangunan. Warna hijau matangnya yang indah menyilaukan mata. Pita merah yang lebar menjalar pada bagian atasnya.

Pada sisi yang menghadap Maqam Ibrahim, yaitu sisi bagian pintu, tertulis pada pitanya kalimat Bismillah. “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah).” (Q.S Ali Imran [3]: 96)

Nama Khalifah ditulis di sisi lainnya,[2] bersama dengan beberapa doa untuk keselamatannya. Disematkan mengelilingi pita, adalah dua sabuk kemerahan yang dihiasi motif berlian putih, yang ditulis dengan ayat-ayat Quran dan kalimat-kalimat lainnya untuk Khalifah.

Ketika Kabah tertutup sepenuhnya, keliman kiswa diselipkan untuk melindunginya dari tangan para peziarah yang datang, yang menarik-narik kain itu dengan kasar dan melemparkan diri ke atasnya dengan emosional.

Pada saat ini, Rumah Allah menyajikan pemandangan paling indah yang bisa dibayangkan, bagaikan pengantin wanita ketika melepas hijabnya dan mengenakan brokat sutra hijau terbaik. Semoga Allah mengizinkannya dilihat oleh semua orang yang ingin melihatnya….

Pada Kamis malam tanggal 15, setelah salat maghrib, sebuah mimbar dan tangga diletakkan di depan Maqam Ibrahim, dan seorang pengkhotbah dari Khurasan menaikinya, seorang pria dengan wajah tampan dan gerakan yang anggun.

Dia fasih berbahasa Arab dan Persia, menggunakan keduanya dalam keteraturan seni pidato yang terbaik, dengan kelancaran dan kejelasan. Ketika dia berbicara kepada orang-orang Persia, dia membuat mereka gemetar dengan emosi dan meleleh dengan rintihan.

Malam berikutnya mimbar didirikan di depan paviliun Hanafi, dan setelah salat Ashar seorang syekh yang terhormat, dengan kumis putih, naik ke tangga dan menyampaikan khotbah yang anggun, melalui khotbahnya dia merangkai, kata demi kata, Ayat Kursi, menggunakan setiap nasihat-nasihatnya, memanfaatkan setiap cabang pengetahuan.

Dia juga menggunakan kedua bahasa itu (Arab dan Persia), menggerakkan pendengar ke dalam keadaan riang, lalu membakar emosi mereka. Pertanyaan-pertanyaan mengalir dari para pendengar bagikan panah dan disambut oleh jawaban-jawaban panjang yang mencabik-cabik pikiran dan membuat kami terpaku dengan ketakjuban dan kekaguman. Seolah-olah kata-katanya diinspirasikan oleh Allah….

Kadang-kadang orang-orang berusaha membingungkan dan mengalihkan perhatian para pengkhotbah ini dengan pertanyaan, tetapi mereka selalu menjawab secepat kilat, dalam sekejap mata. Keunggulan ada di tangan Allah.

Para qari berdiri di depan para pengkhotbah, melantunkan Alquran dalam harmoni yang dapat meluluhkan batu yang keras, bagaikan mazmur Daud. Jamaah tampak menjadi bingung, mana yang paling harus dikagumi.

Untuk meyakinkan sebuah kisah tentang Nabi, syekh yang disebutkan di atas menyebut nama lima leluhurnya secara berurutan, satu demi satu mulai dari ayahnya. Masing-masing memiliki gelar tersendiri yang menunjukkan kenamaannya di dunia kecendekiawanan dan kedudukannya sebagai pemilik pengetahuan. Pria itu khidmat dalam panggilannya, yang mana kemuliaan adalah turun temurun….

Kami tinggal di Kota Suci — mulai 4 Agustus 1183, ketika kami tiba, sampai 5 April 1184, ketika kami berangkat — berjumlah delapan bulan dan tiga hari (kalender Hijriyah), atau 245 hari yang diberkahi. Sepanjang periode ini kami tidak melihat Kabah hanya selama tiga hari. Semoga Allah mengabulkan, bahwa ini bukan kunjungan terakhirku ke Wilayah Suci-Nya. (PH)

Seri Ibnu Jubair selesai.

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Hanafi, salah satu mazhab dalam Islam Sunni. —Michael Wolf

[2] Khalifah yang dimaksud adalah khalifah Abbasiyah yang ke-36, Al-Nasir li-Din Allah (berkuasa 1158-1225). – PH

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*