Mozaik Peradaban Islam

Ilusi Identitas Arab: Sebuah Pengalaman dan Klarifikasi (17): A’rab (Orang-orang Arab) dalam Alquran (1)

in Studi Islam

Last updated on June 16th, 2021 12:38 pm

A’jamy itu bisa menjadi orang A’rab yang tidak mampu berbahasa dengan jelas dan terang. Maka itu, dari derivasi ‘ajama terdapat kata a’jma (jamak: ‘ajmawat) yang bermakna binatang liar.

Foto: Lukisan karya Otto Pilny (Swiss, 1866-1936)

Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab

Sebagai orang awam, saya selalu heran dengan konsistensi Alquran yang di satu sisi memuji ‘araby sebagai sesuatu yang jelas, lugas, gamblang, dan jernih, tapi di sisi lain hampir semua ayatnya—kecuali satu—mencela A’rab. Apa maksudnya? Apa hikmahnya? Apa pelajarannya?  Mengapa wahyu ilahi ini berkali-kali mencela a’rab meski memuji ‘araby? Dan siapakah mereka ini?

Sebagaimana yang telah saya sampaikan pada bagian lalu, para pengarang kamus Arab memang membedakan ‘araby dengan a’rab. Agaknya kita tak perlu mengulang-ulangnya di sini, khususnya luputnya mereka menjelaskan etimologi kosakata itu.

Yang jelas, berdasarkan pada ayat-ayat yang kita kemukakan, Alquran memakai ‘araby itu sebagai sifat bahasa atau metabahasa yang jelas dan tegas. Dalam sebagian besarnya kata ini diletakkan sebagai sifat lisan (bahasa) atau qur’an (Alquran atau bacaan).

Di sini saya perlu memberi catatan. Membaca itu pastinya bukan sekadar melihat-lihat teks, tapi merenungi dan menangkap makna, lalu menjadikannya sebagai petunjuk. Karena itu, orang tetap disebut membaca meski tanpa huruf, seperti membaca tanda, situasi, gejala, pola, watak, motif, perilaku, dan lain sebagainya.

Jadi pasti salah jika orang membatasi aktivitas membaca Alquran hanya pada melihat huruf-hurufnya, sehingga dia akan mengalami kebingungan seperti kata penyair sufi ini:

Jika engkau menatap tinta, huruf-huruf menghilang;

Jika engkau menatap huruf-huruf, tinta menghilang;

Jika engkau tutup mata, engkau menghilang dalam huruf-huruf dan tinta.

Ketika ‘araby itu diletakkan sebagai sifat qur’an, maka tidaklah mungkin itu hanya dimaksudkan untuk huruf-hurufnya saja. Huruf-huruf itu bertugas mengantar pikiran, kalbu, dan keseluruhan eksistensi pembaca kepada realitas di baliknya.

Dengan demikian, sifat ‘araby bagi qur’an di sini berarti kejelasan makna dan petunjuk. Dan itu bukan sekadar sifat kebahasaannya semata-mata melainkan sesuatu yang lebih menyeluruh.

Selanjutnya, berdasarkan penggunaan ‘araby dalam ayat-ayat di atas, kita menemukan ‘araby juga kadang dipakai menyifati hukm (hukum atau aturan yang kokoh).

Allah berfirman dalam surah ar-Ra’ad ayat 37: “Dan demikianlah Kami telah menurunkan ia (Alquran) itu sebagai hukum yang ‘araby. Dan sekiranya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu (terhadap siksa Allah).”

Artinya, lawan hukm ‘araby adalah hukum yang mengikuti hawa nafsu mereka yang tidak sesuai dengan pengetahuan yang datang kepadamu. Di sini sifat ‘araby menjadi sifat lebih umum daripada sifat bahasa tapi hukum yang tidak melenceng mengikuti hawa nafsu dan kebodohan.

Nah, kembali ke pokok soal kita: Mengapa a’rab lebih banyak dicela sementara ‘araby itu demikian dipuja?

Mengacu pada penjelasan kamus-kamus Arab, makna a’rab sederhananya adalah orang-orang yang menggunakan bahasa Arab atau setidaknya memahaminya dengan baik dan tinggal di gurun. Setidaknya di situlah letak hubungan ‘araby dan a’rab.

Lalu mengapa Alquran memuji ‘araby di satu sisi dan di sisi lain hampir semua ayatnya mencela a’raby?

Untuk mencoba menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajukan sebuah pendahuluan. Dalam logika matematika, kita mengenal ada empat hubungan antara dua konsep: sama dengan (=); ketercakupan total (>); ketercakupan sebagian (<); dan negasi (≠).

Melihat empat tingkat hubungan itu, maka kita bisa katakan bahwa hubungan ‘araby dan a’rab termasuk yang ketiga. Jadi, tidak semua ‘araby itu a’rab dan demikian pula sebaliknya.

Atas dasar itu, ‘araby dan a’rab memang dua kategori dan konsep yang berbeda. Kesimpulan kita bahwa ‘araby merujuk secara spesifik pada bahasa, dan a’rab itu merujuk pada orang gurun atau badui sudah benar adanya.

Bahkan, a’rab ini sepertinya belum tentu berbahasa Arab ‘araby, melainkan sebagian mungkin berbahasa Arab ‘ajamy. Ketika Alquran berbicara tentang bahasa ajam, boleh jadi yang dirujuk juga orang-orang a’rab itu, dan bukan jauh-jauh di luar wilayah Jazirah Arab.

Dalam surah asy-Syu’ara ayat 198, Allah berfirman: “Dan seandainya (Alquran) itu Kami turunkan kepada sebagian orang-orang a’jamy.…”

Di ayat 195 surah yang sama, Allah menyebutkan bahwa Alquran turun dengan bahasa ‘araby yang terang-benderang. Allamah Thabathabai menafsirkan ayat 198 itu berkaitan dengan ayat 195 sehingga artinya Alquran ini turun dengan bahasa yang jelas dan terang.

Dia pun menjelaskan bahwa berdasarkan kamus-kamus Arab, a’jamy itu bisa menjadi orang a’rab yang tidak mampu berbahasa dengan jelas dan terang. Maka itu, dari derivasi ‘ajama  terdapat kata a’jma (jamak: ‘ajmawat) yang bermakna binatang liar.

Lalu apa hikmah celaan terhadap a’rab ini? Barangkali di balik semua itu ada isyarat hikmah bahwa a’rab yang tinggal di Jazirah Arabia bisa saja hanya mengenal kulit-kulit bahasa ‘araby itu tapi tidak mampu menyelaminya lebih jauh.

Bahasa Arab tidak mengubah apa-apa di dalam diri dan watak penggunanya. Bahkan mungkin bahasa ini menjadi kutukan bagi mereka. Mirip seperti kutukan Alquran bagi pelaku salat yang tidak khusyu, misalnya.[]

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*