“Persaudaraan hakiki bukanlah yang datang secara takwini melalui darah (by nature) melainkan datang melalui upaya tasyri’i (by nurture). Ilusi persaudaraan takwini (nature) jangan sampai membuat kita lalai melakukan pengukuhan dan penyempurnaannya (nurture) melalui persauadaraan tasyri’i yang lebih hakiki, yakni ikatan keimanan pada Tuhan Pencipta sekalian alam yang tunggal dan esa.”
Oleh: Musa Kazhim
(Penulis dan Peneliti Khazanah Keislaman)
Beberapa waktu lalu saya menulis buku berjudul Identitas Arab itu Ilusi: Saya Habib, Saya Indonesia.[1] Lalu sebagian orang mengira ilusi dalam judul itu bermakna penafian identitas Arab. Padahal, ilusi terjadi karena subjek mempersepsi suatu objek secara keliru.
Orang mengalami ilusi ketika dia melihat pohon kurma sebagai kelapa, mendengar auman kucing sebagai tangisan bayi, atau ketika orang sedang terbang di dalam pesawat dan menengok ke jendela lalu berilusi bahwa pesawat tersebut tidak bergerak padahal ia sedang melaju dalam kecepatan rata-rata 700 sampai 800 kpj. Ilusi terjadi akibat distorsi pancaindra, sehingga suatu objek tertangkap secara keliru atau minimal tidak utuh.[2]
Dengan demikian, ilusi terjadi karena kesalahan dan kegagalan persepsi indrawi manusia. Jika kita tidak punya pegangan selain indra, maka ilusi itulah yang kita anggap sebagai kenyataan.
Tetapi Allah telah menganugerahi manusia dengan berbagai daya lain, terutama akal, untuk menepis ilusi-ilusi itu dan menemukan kenyataan yang sebenarnya. Maka sudah sepatutnya dia menggunakan seluruh daya akal untuk menemukan bahwa apa yang secara spontan dan instan dia tangkap dengan pancaindranya tidaklah selalu kenyataan yang sebenarnya.
Bila tidak, maka Allah menyebutnya sebagai “seburuk-buruk binatang (yang melata) di sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak menggunakan akalnya.”[3] Perhatikan bahwa pekak dan tuli di sini tidak bersifat biologis fisik karena berkaitan dengan orang yang tidak menggunakan fungsi daya akal kritisnya.
Ilusi ini umumnya muncul karena aktivitas indrawi yang tidak dibarengi dengan aktivitas daya-daya lain, terutama daya pikir manusia yang kritis. Maka kita berilusi orang dengan ciri-ciri morfologis tertentu sebagai Arab, padahal substansi Arab bukanlah ciri-ciri morfologis itu.
Lalu kita menambah ilusi pertama itu dengan ilusi baru bahwa orang yang kita anggap Arab tadi memiliki sederet keunggulan dan keistimewaan tertentu dibandingkan dengan orang-orang selainnya. Dan begitulah seterusnya satu ilusi kita tambahkan pada ilusi lain hingga terbentuk bangunan ilusi yang begitu kokoh sehingga sulit sekali untuk diubah apalagi digoyang.
Ia menjadi seolah-olah keyakinan yang benar dan tidak terbantahkan, padahal pada mulanya ia berpijak pada satu ilusi akibat kesalahan persepsi indrawi tersebut.
Ilusi lain yang belakangan sering mengemuka adalah ilusi kemuliaan keturunan. Seakan-akan menjadi keturunan orang mulia, atau bahkan seorang Nabi, meniscayakan orang itu memiliki kemuliaan herediter sejak ia dilahirkan yang tidak ada pada semua manusia lain yang tidak dilahirkan dari keturunan tersebut.
Ilusi kemuliaan darah ini terjadi akibat apa yang oleh ahli logika disebut dengan the fallacy of misplaced concreteness. Yaitu kerancuan orang memperlakukan apa yang tidak konkret, tidak fisik, seperti gagasan kemuliaan, sebagai sesuatu yang konkret (baca: darah). Salah satu kerancuan umum seperti ini terjadi bila kita meyakini contoh sebagai realitas, seperti keyakinan orang bahwa “peta adalah teritori”.
Kerancuan seperti di atas jelas akibat dari ilusi, lantaran agama dan akal manusia tidak bisa menerima kemuliaan turun-temurun melalui darah. Bila kita menerima ilusi ini, maka kemuliaan itu tidak akan bermakna, karena seluruh umat manusia pada hakikatnya merupakan keturunan seorang nabi, yakni Nabi Adam.
Tetapi dalam kenyataannya ada manusia keturunan Nabi Adam yang mulia dan ada yang tidak. Bahkan, menurut Al-Qur’an dan kitab-kitab wahyu lain, salah satu dari putra langsung Nabi Adam ini membunuh saudaranya karena iri dan dengki, sehingga pastilah yang satu menjadi mulia dan yang lain terhinakan.
Lebih daripada itu, jika kita melihat pada wahyu Al-Qur’an, maka kita menemukan bahwa ada hubungan yang jauh lebih dekat daripada kekerabatan darah (rahim), yakni hubungan keimanan. Misalnya, Alllah berfirman: “Orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang yang mengikutinya, dan (juga) Nabi ini (Muhammad), dan orang yang beriman. Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman.”[4]
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa kedekatan dan “kekerabatan” keimanan jauh lebih kuat daripada kedekatan dan “kekerabatan” darah (rahim). Dan sejarah telah menunjukkan fakta bahwa kedekatan mereka yang berada dalam satu misi, visi dan tujuan jauh lebih kuat ketimbang kedekatan mereka yang secara lahiriah terlahir dari satu ibu yang sama.
Maka itu tidaklah jarang kita melihat persaudaraan hakiki dan sehidup semati di antara orang-orang yang tidak lahir dari kandung yang sama, sebagaimana kita sering melihat permusuhan dan peperangan hakiki dan sehidup semati di antara saudara-saudara seibu seayah. Ini fakta yang tidak terbantahkan.
Karena itu, Maha Benar Allah yang berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.”
Perhatikan bahwa dalam ayat ini Allah menggunakan partikel innama yang menunjukkan penekanan dan pembatasan. Pesannya jelas untuk menunjukkan bahwa persaudaraan hakiki bukanlah yang datang secara takwini melalui darah (by nature) melainkan datang melalui upaya tasyri’i (by nurture).
Ilusi persaudaraan takwini (nature) jangan sampai membuat kita lalai melakukan pengukuhan dan penyempurnaannya (nurture) melalui persauadaraan tasyri’i yang lebih hakiki, yakni ikatan keimanan pada Tuhan Pencipta sekalian alam yang tunggal dan esa. (AL)
Bersambung…
Catanan Kaki:
[1] Lihat, Musa Kazhim Alhabsyi, Identitas Arab Itu Ilusi: Saya Habib, Saya Indonesia: Bandung, Mizan, 2022
[2] Menurut KBBI, ilusi adalah sesuatu yang hanya dalam angan-angan; khayalan; 2. pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindraan; 3. tidak dapat dipercaya; palsu. Lihat, https://kbbi.web.id/ilusi
[3] QS. Al-Anfal: 22
[4] QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 68
Cahaya ilmu yg anda berikan, Jazakumullah