Ilusi Kemuliaan Keturunan (Dzuriyyah) (2)

in Studi Islam

Kemuliaan yang ada pada orang-orang tua tidak turun melalui darah melainkan melalui amal-amal dan sifat-sifat ruhani yang mengikat manusia secara lebih hakiki ketimbang bentuk morfologis, geneologis maupun biologis.”

Oleh: Musa Kazhim Alhabsyi

(Penulis dan Peneliti Khazanah Keislaman)

Gambar ilustrasi. Sumber: kompasiana.com

Salah satu gagasan revolusioner Islam adalah gagasan tentang umat. Secara etimologis, kata ummah (أمة) memiliki akar kata yang sama dengan umm (أُمّ /ibu) dan imam.

Alllah berfirman: “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian semua, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya: 20).

Lalu Allah menjelaskan dalam al-Qur’an sebab-musabab umat yang satu ini berselisih dan berbeda-beda tetapi saya tidak akan membahasnya lebih jauh dalam tulisan singkat ini.

Untuk mempertegas gagasan persaudaraan dan kesatuan hakiki di antara manusia yang bersandar pada tasyri’ (nurture) dan bukan takwin (nature).

Allah berfirman: “Nabi (Muhammad) itu lebih utama bagi orang-orang Mukmin daripada diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka…” (QS. Al-Ahzab: ayat 6)

Simaklah bagaimana ayat ini mengajak manusia untuk menjadikan Nabi lebih utama dibandingkan diri mereka sendiri yang menempel dalam tubuhnya, lalu mengajak manusia untuk menjadikan istri-istri Nabi layaknya ibu-ibu mereka sendiri.

Dengan kata lain, bagi orang-orang Mukmin, Nabi bukan sekedar ayah biologis yang harus dihormati dan dijaga melainkan lebih daripada itu beliau lebih utama dibanding diri mukmin itu sendiri.

Bila tiap orang lahir ke muka bumi ini tak bisa memilih orangtuanya secara biologis, maka tiap orang lahir ke muka bumi ini memiliki kebebasan untuk memilih orangtua yang lebih hakiki secara ruhani.

Tentu saja, semua gagasan dan ajaran revolusioner tersebut tidak bisa sepenuhnya diterima orang yang tidak mengenal hierarki wujud yang bertingkat-tingkat. Tingkat paling rendah dalam hierarki itu adalah wujud material biologis yang paling intim dengan pengindraan kita.

Penyingkapan tingkat-tingkat wujud yang lebih tinggi tidak bisa dicapai dengan perangkat pancaindra melainkan dengan daya-daya lain manusia, seperti imajinasi, akal dan kalbu. Dan yang lebih penting lagi, penyingkapan itu sendiri berlangsung secara bertahap, melalui berbagai latihan, termasuk apa yang diistilahkan oleh para pakar Islam dengan tajrid (proses berpikir abstrak).

Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia ini bukan sekedar timbunan ragawi dengan segala daya dan manifestasinya melainkan ia juga memiliki eksistensi ruhani yang jauh lebih kuat dan lebih hakiki. Apapun sifat yang melekat dalam tubuh itu, seperti sifat keturunan dan lain-lain, dapat mengalami penyusutan dan penguatan, bergantung pada sifat yang melekat di dalam ruh.

Maka itu keturunan bukanlah sekedar sifat biologis, melainkan harus berlandaskan pada sifat ruhani manusia. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang beriman, dan yang keturunan (anak cucu) mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan keturunan mereka dengan mereka (nenek-moyangnya) dan Kami tiada mengurangi dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”[1]

Sekali lagi, ayat di atas mempertegas hubungan darah tidak bermakna tanpa hubungan ruhani berupa ikatan keimanan. Keturunan yang tidak berhubungan secara ruhani hanya merupakan keturunan biologis yang punah bersama dengan kepunahan tubuh biologis.

Kemuliaan yang ada pada orang-orang tua tidak turun melalui darah melainkan melalui amal-amal dan sifat-sifat ruhani yang mengikat manusia secara lebih hakiki ketimbang bentuk morfologis, geneologis maupun biologis.

Terakhir, marilah kita perhatikan ayat berikut ini: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, ‘Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai imam bagi seluruh manusia.’ Dia (Ibrahim) berkata, ‘Dan (juga) dari anak cucuku?’ Allah berfirman, ‘Janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim’.[2]

Sekali lagi di sini Allah menegaskan kemuliaan yang diterima Nabi Ibrahim tidak turun melalui darah kepada anak cucunya yang melakukan kezaliman. Padahal kezaliman bukan sifat biologis, melainkan sifat moral yang menempel dalam dimensi ruhani manusia, bukan dalam dimensi biologisnya.

Barangkali sebagian orang akan berpikir bahwa yang sudah material dan biologis inilah yang nyata, sementara yang ruhani itu tidak nyata. Tapi cara berpikir ini justru bertolak belakang dengan asas akidah Al-Qur’an yang justru mengunggulkan yang ruhani secara ontologis dan eksistensial dibandingkan dengan yang bersifat biologis dan material. Sekiranya sebagian orang yang merasa belajar atau mengajar ilmu Islam menyatakan bahwa yang biologis inilah segala-galanya maka ketahuilah dia tidak mengenal alif ba ta Islam.

Dia gagal paham bahwa esensi penurunan wahyu adalah untuk memperkenalkan manusia pada tingkat-tingkat wujud lebih tinggi yang tak dapat ditangkap oleh pancaindra. Apalagi yang ditangkap oleh pancaindra ini sejatinya penuh ilusi dan kesemuan, lantaran ia adalah lapisan paling luar dari keseluruhan wujud yang demikian agung dan luas.

Pertanyaan terakhir, bila memang keturunan hakiki bersifat ruhani, apakah lantas keturunan biologis sama sekali tidak memiliki makna?

Jawabannya sebagaimana yang telah diisyaratkan sebelumnya bahwa keturunan biologis merupakan lapisan terendah dan terluar dari keturunan yang bersifat ruhani. Sebagai ilustrasi, jika kita mau mengukur kesehatan seseorang, maka kita tidak bisa hanya mengukur secara lahiriah dengan temperatur tubuh dan alat-alat ukur fisik lain, melainkan kita harus sadar bahwa kesehatan mental (juga penyakit mental) sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia seutuhnya. (AL)

Selesai

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] QS. Ath-Thur: 21

[2] QS. Al-Baqarah; ayat 124

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*