Interaksi Subjek dan Objek (2)

in Studi Islam

Dalam penyatuan objek dan subjek tidak ada lagi aku dan dia, yang ada hanya suasana persatuan, perjumpaan dan percintaan. Pada tahap ini, bahasa manusia kehilangan kata untuk melukiskannya. “

Gambar ilustrasi. Sumber: http://picts.paramartha.org/

Kesimpulan ilmiah dari pelbagai penelitian mutakhir mengenai hubungan-langsung subjek dan objek ini telah meruntuhkan paradigma positivisme yang dikotomis dan mekanis.

Dalam pandangan kaum positivis, pertama, realitas objektif adalah sebuah mesin raksasa yang ‘berada di luar diri kita’. Mesin raksasa itu kita amati dengan cara mereduksinya menjadi bagian-bagian kecil yang dapat kita ukur secara kuantitatif, lalu hukum yang ada pada bagian-bagian kecil ini dapat kita generalisasikan kepada keseluruhan.

Bila keseluruhan itu merupakan konsep abstrak, maka pisau analisis harus diterapkan. Apabila kemudian ada konsep-konsep abstrak yang tidak bisa dianalisis dan diuraikan menjadi bagian-bagian karena sifatnya yang sederhana (baca: tidak berkomposisi), seperti eksistensi, pengetahuan dan konsep-konsep metafisika lainnya, maka konsep-konsep itu harus dianggap tidak bermakna (absurd).  

Kedua, kita dapat mengukur realitas tanpa mempengaruhinya sedikitpun. Kita dapat melihat raut wajah orang tanpa mengusik orang yang bersangkutan. Kita dapat mengamati perilaku sel dan partikel tanpa mengganggu atau terganggu olehnya. Kita bisa merenungi suatu peristiwa atau konsep tanpa terusik sedikitpun. Pendeknya, kita dapat mengetahui objek secara apa adanya.

Ketiga, sebuah metodologi menjamin bahwa hasil-hasil penelitian tidak dipengaruhi (bias) oleh sistem subjektif. Metode dirancang untuk menghilangkan unsur-unsur subjektif dari suatu penelitian. Sebuah fakta akan tampak sama oleh siapapun yang mengamati, terlepas dari keadaan subjektif si pengamat.[1]

Ketiga asumsi dasar positivisme tersebut kini telah berguguran. Pengabaian peran subjek dan jiwa manusia tidak dapat menjelaskan begitu banyak fenomena, seperti fenomena efek plasebo, psikoterapi, kemampuan psikis (psychic capability), false pregnancy, efek yoga dan meditasi, spiritual healing, dan lain sebagainya.

Ilmu-ilmu mutakhir telah menunjukkan dengan jelas bahwa kita tidak hanya hidup di alam (live in the world), tetapi kita hidup bersama alam (live with the world). Apapun yang terjadi di sekitar kita akan memberikan pengaruh kepada kita, demikian pula semua objek yang berada di lingkungan kita akan memberikan efek kepada kita, sekalipun sering interaksi itu tidak kita pahami atau tidak kita rasakan.

Reduksionisme¾yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur materi dan energi pada skala kecil berlaku juga pada skala yang lebih besar¾ternyata tidak dapat dipertahankan.

Senyawa kimia menunjukkan sifat yang berbeda dengan sifat unsur-unsurnya. Keseluruhkan kimiawi ternyata berbeda secara kualitatif dengan sifat bagian-bagiannya.

Generalisasi hukum-hukum bagian pada keseluruhan seringkali terbentur pada suatu sesat-pikir reduksionistik (reductionist fallacy). Teorema Kurt Gödel bahkan menunjukkan bahwa dalam sistem matematika selalu saja ada kebenaran yang tidak bisa dibuktikan. Menyadari keterbatasan itu, kalangan ilmuwan biasanya menggunakan apa yang disebut dengan ‘intuisi’ untuk mereka-reka dan menyimpulkan hasil akhir suatu pengamatan.[2]

Dalam filsafat Islam kita mengenal kaidah yang disebut ittihâd al-‘âlim wa al-ma’lûm, yakni kesamaan subjek yang mengetahui (knower) dengan objek yang diketahui. Dalam kaitan ini, Toshihiko Izutsu menuliskan: “Masalah bentuk manunggal hubungan subjek-objek dibicarakan dalam [filsafat] Islam sebagai masalah ittihâd al-‘âlim wa al-ma’lûm, yakni ‘penyatuan pengetahu dan yang diketahui’. Apapun objek pengetahuannya, tingkat tertinggi pengetahuan dicapai manakala pengetahu, subjek manusia, menjadi benar-benar tersatukan dan teridentifikasi dengan objeknya sedemikian sehingga tidak terdapat lagi pembedaan di antara keduanya. Karena, pembedaan dan pemisahan berarti jarak, dan jarak dalam kaitannya dengan kesadaran berarti kebodohan”.[3]

Selanjutnya Izutsu menyatakan: “The correlation between the metaphysical and the epistemological means in this context the relation of ultimate identity between what is established as the objective structure of reality and what is usually thought to take place subjectively in human consciousness. It means, in brief, that there is no distance, there should be no distance between ‘subject’ and ‘object’. It is not exact enough even to say that the state of subject essentially determines the aspect in which the object perceived, or that one and the same object tends to appear quite differently in accordance with different points of view taken by the subject. Rather the state of consciousness is the state of the external world.

(Kaitan antara hal yang metafisikal dan epistemologis dalam konteks ini berarti hubungan kesamaan yang luarbiasa antar apa yang disebut sebagai struktur realitas objektif dan apa yang dianggap berlangsung secara subjektif dalam kesadaran manusia. Secara ringkas, hal ini berarti bahwa tidak ada jarak dan tidak semestinya ada jarak antara ‘subjek’ dan ‘objek’. Rasanya tidak cukup tepat untuk mengatakan bahwa keadaan subjek secara esensial menentukan sisi objek yang dipersepsi, dan bahwa satu objek yang sama cenderung tampak berbeda sesuai dengan sudut-sudut pandang yang diambil oleh subjek. Akan tetapi, lebih dari itu, keadaan kesadaran sesungguhnya adalah keadaan dunia luar itu sendiri.)[4]

Dari uraian dan pelbagai kutipan panjang di atas, kita dapat menarik sejumlah kesimpulan mengenai pengetahuan manusia sebagai berikut:

Pertama, manusia sebagai subjek tidak bisa tidak pasti berhubungan dengan objek yang hendak diketahui.

Kedua, hubungan antara subjek dan objek bersifat timbal-balik, sehingga perubahan pada subjek akan mempengaruhi perilaku objek dan demikian sebaliknya.

Ketiga, hubungan timbal-balik antara subjek dan objek ini bertingkat dan bergradasi; mulai dari yang sangat lemah dalam bentuk gambaran mental (mental representation of the object) sampai yang sangat kuat berupa kehadiran aktual (actual presence of the object).

Keempat, dalam proses selanjutnya, hubungan antara subjek dan objek ini akan terus meningkat sampai pada titik penyatuan dan peleburan keduanya.

Dalam penyatuan objek dan subjek tidak ada lagi aku dan dia, yang ada hanya suasana persatuan, perjumpaan dan percintaan. Pada tahap ini, bahasa manusia kehilangan kata untuk melukiskannya.

Rasulullah bersabda: “انت مع من احببت يوم القيامة” Artinya, di hari Kiamat, yakni hari ketika semua rahasia di balik kejadian alam raya tampak secara nyata, kita akan bersama dengan objek yang kita cintai.

Sebaliknya, Amirul Mukminin Ali ra. berkata: “ من كان همّه في بطنه كان قيمته ما خرج منه” (Barangsiapa yang perhatiannya tertuju pada perutnya, maka nilainya sama dengan apa yang keluar darinya).

Dua ungkapan jernih ini menyimpulkan uraian panjang-lebar yang telah dikemukakan di atas, yakni bahwa manusia mengadaptasi objek yang dipikirkannya dan bahwa objek itu mencerminkan dirinya. (MK)

Selesai

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Jalaluddin Rakhmat, Catatan Kang Jalal, Rosdakarya 1997, hal. 390-91.

[2] Untuk diskusi lebih lanjut, lihat: Tim CIMM, Melaju Menuju Kurun Baru, Mizan 1998.

[3] Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence, The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971, hal. 5.

[4] Ibid., hal. 10.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*