Mozaik Peradaban Islam

Invasi Prancis ke Aljazair (23): Skema Besar Eropa

in Monumental

Abdul Qadir memang telah memberi warna dalam sejarah Islam dan Timur Tengah. Namun di mata Prancis dia hanya salah satu bagian kecil sandungan yang mesti dilewati untuk melaksanakan agenda terbesar mereka, yakni penaklukan dunia.

Setelah Aljazair sepenuhnya dikuasai oleh para kolon (orang-orang Eropa yang menetap di Aljazair), masyarakat Muslim benar-benar terjerumus ke dalam keterbelakangan, bahkan hingga lebih dari satu abad ke depan. Sebagai gambaran, pada tahun 1950-an, pada tahun-tahun menjelang kemerdekaan Aljazair, 85-90%  penduduk asli masih buta huruf, dan bahkan bagi para wanitanya diperkirakan mencapai 98%.[1]

Bagaimana dengan peradaban Prancis yang maju, yang begitu dikagumi oleh Abdul Qadir? Sejak awal penaklukan, beberapa cendekiawan di Prancis telah menyerukan untuk menyebarkan peradaban ini melalui pendidikan. Tapi bagaimana caranya? Berbagai cara telah dilakukan, dengan sedikit atau tanpa keberhasilan sama sekali. Namun apapun itu, semuanya tidak akan pernah berhasil karena kelompok kolon selalu menolak segala sesuatu yang bermanfaat bagi Muslim.[2]

Meski demikian, kurangnya pendidikan tidak menghentikan Muslim Aljazair untuk bergerak demi perubahan. Pada tahun 1920-an, beberapa kelompok masyarakat menggagas pergerakan, mereka terdiri dari mantan prajurit yang pernah mengabdi kepada Prancis dalam Perang Dunia I, pekerja perkotaan, dan orang-orang yang pernah pergi ke Prancis untuk bekerja. Mereka menemukan cara untuk berorganisasi, sebagian besar dilakukan di bawah tanah, dan mereka menyerukan kesetaraaan hak-hak sipil, politik, dan HAM dengan orang-orang Eropa.[3]

Seiring berjalannya waktu, organisasi bahwa tanah nasionalis ini semakin berkembang dan mereka menjadi lebih terbuka untuk menyerukan hak-haknya. Pada awalnya mereka berjuang melalui jalur diplomasi, namun selalu berakhir dengan kegagalan. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, pada 1 November 1954 mereka menemukan momentumnya dengan melakukan serangkaian serangan sporadis dan secara resmi mendeklarasikan dimulainya Perang Kemerdekaan Aljazair.[4]

Organisasi utama yang mengoordinasikan perjuangan ini adalah FLN (Front Pembebasan Nasional). Pada awalnya mereka siap untuk bernegosiasi dengan pemerintah Prancis jika mereka mau mengakui hak Muslim Aljazair untuk menentukan nasib sendiri, tetapi jawaban dari Prancis adalah “Tidak.” Aljazair bagi Prancis masih dianggap sebagai bagian integral dari negara induk, dan akan dipertahankan dengan cara apapun. Dengan demikian, FLN berpikir tiada cara lain selain dengan perjuangan bersenjata.[5]

Perang Aljazair adalah perang terpanjang, paling destruktif, menyakitkan, dan berdarah-darah dibanding perjuangan kemerdekaan negara manapun setelah Perang Dunia II. Perang tersebut bukan hanya menghancurkan Aljazair, tetapi juga terus merembet dan menyebabkan krisis kekerasan di dalam negeri dan kesatuan militer Prancis itu sendiri. Pada Maret 1962, Prancis akhirnya harus mengakui bahwa cara-cara militer tidak akan dapat memenangkan perang ini, dan mereka harus rela untuk melepaskan Aljazair. Aljazair akhirnya memperoleh kemerdekaan setelah lebih dari 100 tahun dijajah Prancis.[6]

 

Catatan Akhir

Selama ratusan tahun, Kesultanan Ustamaniyah (Ottoman) telah menjadi Dinasti Islam yang jangkauan kekuasaannya merambah hingga ke tiga benua. Oleh kekuatan-kekuatan Eropa, Ottoman dianggap sebagai ancaman besar, kekuatan besar ini telah berkali-kali berseteru dengan negara Eropa. Bahkan, beberapa bagian Eropa pun telah berhasil mereka taklukan.[7] Ketika Prancis menyerang Aljazair yang merupakan wilayah terluar Ottoman pada tahun 1830, mereka sadar bahwa raksasa ini sedang mengalami kemunduran, atau paling tidak berhenti di tempat, tidak seperti negara-negara Eropa yang terus berkembang baik teknologi maupun ekonominya. Untuk pertama kalinya, Eropa menyadari bahwa Ottoman sedang sakit. Pada periode ini orang-orang Eropa mulai menyebut Ottoman sebagai “the Sick Man of Europe” (orang sakit di Eropa).[8]

Gejala-gejala sakitnya Ottoman sebenarnya sudah mulai terlihat dari sejak tahun 1800-an, ketika gerakan nasionalis di negara-negara yang dikuasai Ottoman mulai bangkit, baik di Eropa maupun di wilayah-wilayah lainnya. Pada tahun 1817, setelah melakukan pemberontakan terhadap Ottoman, dengan bantuan Rusia, Serbia memerdekakan dirinya dari penguasaan Ottoman. Di tempat lain, untuk sebagian besar tahun 1820-an, Yunani, dengan bantuan dari Inggris, memberontak untuk kemerdekaannya. Pemberontakkan itu berakhir pada saat yang hampir bersamaan ketika Prancis hendak menyerang Aljazair.[9]

Peta kekuasaan negara-negara Eropa pada tahun 1900. Sumber: Oxford University Press

Sementara kebangkitan gerakan-gerakan nasionalis itu menunjukkan bahwa Ottoman telah kehilangan kekuasaannya di Eropa Tengah dan Timur, invasi Prancis ke Aljazair menunjukkan sisi lain dari persamaan itu. Kekuatan-kekuatan besar Eropa sedang mengalami euphoria nasionalisme yang diiringi oleh hasrat menggebu-gebu untuk memperluas wilayah imperiumnya masing-masing. Inggris, Prancis, dan beberapa negara kuat Eropa lainnya akan menghabiskan sisa abad ke-19 untuk menaklukan dan menguasai wilayah Afrika, Timur Tengah, dan tempat-tempat lainnya.[10]

Invasi Perancis ke Aljazair juga menandai perubahan besar dalam hubungan Eropa dengan Timur Tengah. Untuk pertama kalinya di era modern, salah satu negara Eropa menyerang ke Timur Tengah dengan maksud untuk menguasainya secara permanen. Ini bukan tentang penaklukan semata, tetapi pengusaan total yang pada ujungnya dimaksudkan untuk penghapusan identitas, aturan, bahasa, dan bahkan agama setempat.[11] (PH)

Seri Invasi Prancis ke Aljazair selesai.

Sebelumnya:

Invasi Prancis ke Aljazair (22): Kolonialisme Total

Catatan Kaki:

[1] Elsa Marston, The Compassionate Warrior: Abd el-Kader of Algeria (Wisdom Tales, 2013), hlm 111.

[2] Ibid.

[3] Ibid., hlm 112.

[4] Ibid., hlm 113.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Roger Bigelow Merriman, Suleiman The Magnificent 1520-1566, (Harvard University Press: Massachusetts, 1944), hlm 211

[8] “History: 1800-1900”, dari laman http://www.theottomans.org/english/history/history1800.asp, diakses 26 September 2018.

[9] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 255.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*