Islam dan Arsitektur (2)

in Studi Islam

 

Oleh: Kharul Imam

Ka’bah adalah inspirasi pertama arsitektur manusia. Dari bangunan tersebut setiap muslim yang bertandang akan melakukan ikatan sumpah penghambaan. Hidup, mati, ibadah, cinta, dan shalat semuanya untuk Allah semata.”

 —Ο—

 

Pelacakan historis dalam konsepsi arsitektur Islam akan memaksa kita untuk mengasosiasikan dengan bangunan tertua di dunia, yaitu Ka’bah. Para sejarawan sepakat bahwa Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail as. Mulai membangun Ka’bah setelah mereka mendapatkan perintah Allah swt. untuk pergi meninggalkan Palestina menuju Hijaz. Hal ini didukung dengan berbagai riwayat yang shahih. Meski demikian, tak jarang sebagian sejarawan masih menyebutkan beberapa kisah tentang sejarah Ka’bah yang telah dimulai sebelum masa Nabi Ibrahim dan Ismail as. Tetapi sebagian dari kisah yang mereka kutip saling bertentangan dengan kisah lainnya, bahkan terlalu mengkhayal.

Bentuk bangunan Ka’bah pertama-tama sangat sederhana, seperti sebuah kotak persegi panjang tanpa atap dengan sisi-sisi yang tidak terlalu tinggi yang bisa dijangkau oleh seorang yang tinggi badannya. Di dalamnya terdapat tiga berhala besar yaitu al-Latta, al-Uzza, dan al-Manat. Ketiganya merupakan berhala yang paling diagungkan dan dihormati oleh masyarakat Arab waktu itu. Sementara itu, 360 berhala-berhala kecil di sekelilingnya, semakin memperjelas status Ka’bah sebagai tempat suci, terlebih tidak boleh ada darah tertumpah di area tersebut.

Pada masa Nabi Muhammad saw., Ka’bah dalam bentuknya yang lama dibakar, kemudian dibangun kembali dengan bantuan seorang pria yang bernama Baqum. Dibangun dari lapisan batu dan kayu alternatif, kemungkinan serupa dengan rumah-rumah tradisional Mekah. Ka’bah yang baru ini memiliki tinggi dua kali lipat dari sebelumnya, dan ditutupi dengan atap. Pintu masuk ke dalamnya agak lebih tinggi dari permukaan tanah, sehingga untuk memasukinya harus dijangkau dengan sebuah tangga. Saat ini, pintu Ka’bah dilapisi dengan emas yang sangat indah. Kusen dan daun pintu bagian atas juga dilapisi emas.

Dalam bentuknya saat ini, Ka’bah merupakan sebuah bangunan berbentuk persegi panjang dengan tinggi 15 m dan sisi berukuran 10,5 m x 12 m. Bangunan tersebut berorientasi 30 derajat dari sumbu utara-selatan sehingga sudutnya menghadap ke titik kardinal. Terbuat blok granit biru-abu-abu besar. Atapnya datar dengan kemiringan halus yang mengarah ke barat laut, dilengkapi talang air yang dikenal dengan sebutan mizab al-rahman. Mizab ini dibuat pertama kali oleh al-Hajjaj bin Yusuf dengan tujuan agar tidak menampung air di atap Ka’bah. Kemudian diperbarui pada tahun 959 H oleh Sultan Sulaiman dengan mengganti ujungnya dengan bahan perak. Sultan Ahmad tak mau ketinggalan, ia mengganti ujungnya dengan perak berukir yang dilukis dengan tinta biru berselang-seling emas pada tahun 1021 H. Terakhir, pada tahun 1273 H. Sultan Abdul Majid mengirim pancuran air yang seluruhnya terbuat dari emas, dan ini kali terakhir yang bisa kita saksikan sampai sekarang.[1]

Adapun batu Hitam (Hajar Aswad) dikatakan berasal dari meteor, diletakkan di sudut timur, dan senantiasa dicium ketika mengelilingi Ka’bah. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa untuk meletakkan Hajar Aswad pada posisinya, Nabi Muhammad meminta bantuan dan persetujuan dari para kepala suku terkemuka. Hajar Aswad adalah sebuah batu hitam kemerahan-merahan, mengkilat, dan berbentuk oval tidak beraturan. Ada bekas penempelan potongan-potongan yang pecah berwarna merah dengan garis kuning. Berdiameter 30 cm, dikelilingi bingkai perak setebal 10 cm. Sedangkan dinding yang terdapat di antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah dikenal dengan Multazam. Tempat ini diyakini sebagai tempat doa yang sangat mustajab. Oleh sebab itu, orang-orang yang sedang bertawaf akan berhenti sejenak di tempat tersebut untuk berdoa dan memohon pertolongan.

Di bagian dalamnya terdapat tiga tiang kayu jati yang tinggi untuk menopang atap, yang di antaranya berjarak empat langkah. Interiornya terasa lapang. Lantainya terbuat dari marmer dan langit-langitnya ditutupi dengan hiasan kain yang dinamakan Kiswah, kain hitam terbuat dari sutra dengan tulisan berwarna putih berkilauan. Kain ini menutup seluruh bangunan Ka’bah dari atas sampai ke tanah. Di luar sisi barat laut ada dinding rendah semi-melingkar yang membungkus sebuah area yang dikenal sebagai Hijr. Tempat ini diyakini sebagai tempat pemakaman Ismail dan ibunya Hajar. Pintu masuk berada di sisi timur laut dan tingginya 2 meter di atas permukaan tanah (digapai dengan tangga kayu).[2]

Bagian-bagian Ka’bah. Sumber gambar: tes.com

 

Memang, sekilas Ka’bah sama sekali tidak menampakkan kemewahan, kepiaiwaian arsitektural, nilai artistik,  maupun kualitas estetis sebuah bangunan, namun dari bangunan tersebut setiap muslim yang bertandang akan melakukan ikatan sumpah penghambaan. Hidup, mati, ibadah, cinta, dan shalat semuanya untuk Allah semata.

Di dalam Islam, makna simbolik dalam sebuah bangunan dan tata ruang atau apa pun selainnya seakan saling terkait-kelindan. Waktu, tempat, barang-barang berharga, jejak-jejak sejarah, dan lain-lain senantiasa menyimpan misteri yang multitafsir. Selain wujud material, di dalamnya juga mengandung magnet spiritual. Kekuatan itu secara alamiah dihadirkan oleh Sang Kuasa pada setiap ciptaan-Nya. Hal itu bisa disebabkan seringnya segala sesuatu itu dihubungkan dengan kekuatan ilahiah (divine power), sehingga muncul nuansa “mistik” yang dianggap sakral bagi penyaksinya.

Sebagaimana ditulis oleh Ibnu Bathuthah tentang tanda-tanda keajaiban-keajaiban Ka’bah, di antaranya pada suatu kesempatan ketika pintu Ka’bah dibuka, dan saat itu Masjidil Haram tengah dipenuhi pengunjung, ternyata semua orang dapat masuk ke dalam Ka’bah dengan mudah tanpa merasa sempit. Begitu juga meski terdapat ribuan burung merpati di Mekah, tetapi tak satu pun yang pernah hinggap dan melintas di atas Ka’bah. Ketika burung-burung itu terbang melintas di atas Masjidil Haram dan akan melewati Ka’bah maka secara otomatis mereka akan berbelok.[3]

Pun dengan Hajar Aswad yang terletak di sudut Ka’bah yang menyimpan makna simbolik. Sekadar batu hitam yang sama-sama muncul dari alam, baik melalui fenomena maupun tanpa fenomena. Bahkan Umar ra. secara tegas mengatakan bahwa batu tersebut tidak lebih dari batu hitam yang tak membawa kemanfaatan apa-apa. Akan tetapi, karena batu tersebut dicium oleh bibir suci Nabi saw, maka siapa pun akan berharap dapat mencium dan mencari keutamaan di dalamnya. Demikian pula, dalam konteks spiritualitas Islam, Hajar Aswad selalu dihubungkan dengan ayat kursi dalam al-Quran. Bahwa tangan-Nya berada di atas tangan-tangan makhluk-Nya, dan Hajar Aswad yang berada di salah satu sudut Ka’bah dilambangkan sebagai “Tangan Kanan” Allah swt.[4] Mungkin karena itulah, berdasarkan banyak riwayat hadis Nabi, kita disunnahkan untuk mencium dan melambaikan tangan kanan ke arah Hajar Aswad sembari mengucapkan takbir.

Selesai

Sebelumnya:

Islam dan Arsitektur (1)

Catatan kaki:

[1] Ali Husni al-Kharbuthli, Sejarah Ka’bah, terj. Fuad ibn Rusyd (Jakarta: Turos, 2013), hlm. 330

[2] Andrew Petersen, Dictionary of Islamic Architecture (London and Newyork: Routledge, 2002), hlm. 142

[3] Ali Husni al-Kharbuthli, Sejarah Ka’bah., hlm. 329

[4] Ali Syariati, Hajj (The Pilgrimage) (Costa Mesa: Jubilee Press, tt), dalam al-islam.org. akses 18 Desember 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*