Mozaik Peradaban Islam

Islam di Lombok (5): Dakwah Tuan Guru (1)

in Islam Nusantara

Last updated on June 6th, 2018 01:14 pm

“Para pelajar asli Lombok yang naik haji dan menimba ilmu Mekah, sepulangnya dari sana mereka menemukan kejanggalan ajaran Islam di Lombok. Ternyata ajaran agama Islam tidak sepenuhnya dilaksanakan dan masih bercampur baur dengan ajaran animisme dan dinamisme warisan nenek moyang. Mereka bertekad untuk membuat perubahan, mereka adalah yang dikenal dengan sebutan Tuan Guru.”

–O–

Foto keturunan Alm. TGH. Makmun Karanglebah Praya. Di depan dari kiri ke kanan : Alm. TGH. Najmuddin Makmun , Alm. TGH. Muhsin Makmun, Alm. TGH.Idris Makmun, Alm. TGH. Khalil Makmun. DIbelakang dari kiri ke kanan : Almh. Hj. Faizah, Alh. Hj. Rahmah, Almh. Hj. Masrah, dan Almh. Hj. Fatmah. Photo: fotografet/Wikimedia

Pada artikel-artikel sebelumnya kita telah mambahas bahwasanya Islam di Lombok terbagi ke dalam dua jenis, yakni Waktu Lima yang melaksanakan ajaran Islam seperti pada umumnya (melaksanakan 5 rukun Islam) dan Wetu Telu yang ajaran Islamnya banyak bercampur dengan budaya nenek moyang.

Sunan Prapen, tokoh pertama yang mengislamkan Tanah Sasak Lombok, karena berbagai pertimbangan, dia melanjutkan dakwahnya ke pulau Sumbawa di sebelah timur Pulau Lombok. Hal inilah yang disebut islamisasi yang belum tuntas. Masyarakat Wetu Telu terbentuk di Lombok karena para wali menyebarkan Islam secara bertahap. Sewaktu masyarakat Lombok sedang bertransisi kepercayaan dari Animisme, Hindu, dan kemudian Islam, para wali sudah pergi meninggalkan Lombok.[1]

Di kemudian hari, para pelajar asli Lombok  pergi ke tanah suci Mekah untuk melaksanakan ibadah haji sebagai rukun Islam yang ke-5. Setelah naik haji, mereka tidak langsung pulang, mereka menimba ilmu di sana. Setelah merasa cukup belajar dan menguasai ilmu-ilmu agama, mereka pulang ke Lombok dan berkeinginan untuk mendidik masyarakat tentang persoalan-persoalan agama melalui berbagai cara. Karena sudah melaksanakan ibadah haji serta mendidik masyarakat, maka mereka digelari Tuan Guru. Kata Tuan Guru biasanya disingkat TG, karena setiap Tuan Guru pasti pernah melaksanakan ibadah haji, maka Tuan Guru juga disebut TGH (Tuan Guru Haji) atau TGKH (Tuan Guru Kyai Haji). Para Tuan Guru inilah yang nantinya akan memberikan pengaruh sangat besar dalam transformasi keagamaan masyarakat Lombok dari Wetu Telu ke Waktu Lima.[2]

Sekembalinya dari Mekah mereka menyadari bahwa ada yang belum tuntas dari pelaksanaan ajaran Islam di Lombok. Menurut Mohamad Iwan Fitriani, dalam penelitiannya mengatakan, bahwa Tuan Guru menghadapi dua persoalan:

  1. Berdasarkan pola cita ajaran Islam, setiap orang mukallaf wājib ‘ayn mendirikan shalat lima waktu sehari semalam, tetapi pola laku umat Islam Wetu Telu di Lombok masih ada yang mengerjakan sebagian saja dari kewajiban shalat itu, atau cuma dikerjakan oleh Kyainya saja.
  2. Pola cita ajaran Islam adalah menuntut ilmu agama itu fardu/wajib, tetapi tidak tersedia lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan agama yang memadai yang dapat membuat anak-anak Islam bebas dari buta agama, maka kondisi gap pemisah antara pola cita dan pola laku tersebut inipun wajib dijembatani.[3]

Dalam melakukan transformasi sosial masyarakat Sasak, Tuan Guru menempuh jalur pendidikan, khususnya pendidikan agama di masyarakat. Awalnya para Tuan Guru mendidik masyarakat melalui pendidikan non-formal semisal pengajian.[4] Seiring tuntutan zaman, di mana masyarakat tidak hanya memerlukan pendidikan non-formal, tetapi juga pendidikan formal, maka para Tuan Guru itupun mendirikan pendidikan formal seperti pondok pesantren dan madrasah.[5]

Sejatinya, Tuan Guru bukan hanya berkiprah dalam bidang pendidikan agama semata, tetapi juga persoalan-persoalan lain semisal dakwah, sosial dan politik. Dalam catatan sejarah Sasak Lombok, masyarakat Sasak pada awalnya telah menganut ajaran Islam sebelum kerajaan Bali datang ke Lombok. Namun ajaran Islam yang dianut masyarakat Sasak berbeda dengan ajaran Islam yang dibawa oleh para Tuan Guru. Jika Islam Sasak pada masa awal sarat dengan animisme dan dinamisme (Wetu Telu), maka Islam yang dibawa Tuan Guru adalah Islam Waktu Lima  yang dianggap Islam yang sempurna. Di sinilah titik awal peran sosial keagamaan Tuan Guru di Lombok dalam melakukan perubahan melaui jalur pendidikan.[6]

Secara garis besar, para Tuan Guru melaksanakan tiga strategi untuk membuat perubahan di Lombok. Pertama, Para Tuan Guru meluruskan tradisi Islam lama yang dianggap keliru atau menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Kedua, Tuan Guru melakukan perubahan sosial kondisi umat Islam Lombok yang masih terbelakang. Hal ini ditandai oleh realitas bahwa umat Islam masih terbelakang karena masih dicengkeram oleh kuku kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang. Ketiga, Tuan Guru lalu melihat realitas bahwa belum ada lembaga pendidikan Islam yang memakai sistem madrasi dan klasikal, sehingga belajar agama terasa sangat lambat. Pengajaran pengetahuan umum di lembaga pendidikan Islam yang ada secara tradisional Islam waktu itu hampir tidak ada. Sehingga Tuan Guru memandang perlu untuk didirikannya lembaga formal atau pesantren.[7] (PH)

Bersambung ke:

Islam di Lombok (6): Dakwah Tuan Guru (2)

Sebelumnya:

Islam di Lombok (4): Strategi Penyebaran Islam (2)

Catatan Kaki:

[1] Kamarudin Zaelani, Satu Agama Banyak Tuhan, Melacak Akar Sejarah Teologi Waktu Telu (Mataram: Pantheon, 2007), hlm 27, dalam Mohamad Iwan Fitriani, Kepemimpinan Kharismatis-Transformatif Tuan Guru Dalam Perubahan Sosial Masyarakat Sasak-Lombok Melalui Pendidikan (Jurnal Al-Tahrir, Vol. 16, No. 1 Mei 2016), hlm 185.

[2] Mohamad Iwan Fitriani, Ibid., hlm 179.

[3] Ibid., hlm 181.

[4] Rev. Josiah Idowu-Fearon, Religion and Social Change in Africa, Department of Christian Theology, School of Arts and Social Sciences, (National Open University of Nigeria, Lagos, t.th.) hlm 23-24, dalam Mohamad Iwan Fitriani, Ibid., hlm 183.

[5] Mohamad Iwan Fitriani, Ibid.

[6] Ibid., hlm 183-184.

[7] Ibid., hlm 184-187.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*