Istilah-istilah ‘Irfan (2)

in Studi Islam

Last updated on October 20th, 2017 04:00 pm

Selanjutnya mahiyah terbagi kepada substansi dan aksiden.

Substansi (jawhar) adalah apa saja yang mendasari atau melambari entitas (maujud). Dengan kata lain, “bahan” dasar setiap maujud. Pengertian ini bisa dilawankan dengan aksiden, yang bermakna sifat-sifat subtansi.

Sedang aksiden (‘aradh); sifat-sifat substansi. Misalnya substansi setiap benda material adalah material (bahan)-nya. Maka, menempati ruang – yang merupakan sifat material (bahan) – adalah aksiden.

Materi (hayula), pada gilirannya, merupakan substansi dalam bentuk material di alam fisikk, yakni alam objek yang terkait dengan indra-indra manusia, yang olehnya objek-objek itu tersusun. Sedangkan forma adalah bentuk atau susunan yang terbubuhkan atas suatu materi atau cara atau pola pengorganisasian materi itu. Tanpa forma, materi belum menjadi benda tertentu. Sebagai ilustrasi, materi awal (al-hayula al-ula) hanyalah sebuah “onggokan” tak berbentuk; inilah basis Hylomorfisme.

Hylomorfisme adalah prinsip Aristotelian yang melihat segala sesuatu di dunia ini sebagai komposit (gabungan) atau hyle (materi) dan morph (forma atau bentuk). Dengan kata lain, setiap sesuatu itu terdiri dari wujud dan mahiyah. Mahiyah sendiri adalah komposisi antara substansi dan aksiden. Dan secara umum, substansi dapat mengambil bentuk materi yang non-materi.

Epistemologi; berasal dari kata episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu), berarti pengetahuan sistematis tentang sumber-sumber, batas-batas, dan verifikasi (pemeriksaan nilai kebenaran) ilmu pengetahuan. Dari sini kemudian muncul berbagai bentuk metode; dialektika, iluminasi, dan sebagainya.

Dialektika; adalah metode memperoleh pengetahuan dengan mendasarkan diri pada premis-premis yang diyakini bersama sebagai benar, meski kebenarannya belum dipastikan secara logis.

Demostrasi; merupakan interfensi atau pembangunan silogisme (penarikan kesimpulan) berdasarkan premis-premis yang disepakati sebagai benar dan pasti – baik presmis mayor dan minor – dengan mengikuti prosedur logis (silogisme) atau diskursif.

Primary Truth (kebenaran primer); adalah kebenaran-kebenaran yang (harus) diterima begitu saja, dan darinya keberadaan kenyataan-kenyataan lain dapt disimpulkan (misal: secara logis). Bahkan, tanpa kebenaran-kebenaran primer ini prosedur berpikir menjadi mustahil (tidak dapat dimulai). Misal, sesuatu tidak dapat lebih besar dan lebih kecil sekaligus dari sesuatu yang lain. Berbeda dengan metode dialektis, metode demonstrasi bermula dari primary truth ini.

iluminasi atau iluminisme; berbeda dengan pemikiran yang bersifat dialektis (seperti dalam teologi) atau demostratif (seperti dalam filsafat) – adalah metode berpikir yang bersandar pada pencerahan intelektual/spiritual, biasanya dijabarkan sebagai lintasan pemahaman atau pengertian yang datang tiba-tiba, secara sintetik, bukan analitik seperti dalam pemikiran logis. Gagasan tentang aliran iluminasi Ilahi dalam pikiran, yang merupakan inti aliran iluminisme telah berkembang dalam sejarah, baik dalam konteks folosifis maupun keagamaan.

Dalam sejarah filsafat Islam, perkembangan ini mencapai puncaknya dan bentuk khasnya dalam Isyraqiyyah Suhrawardi. Ia mengatakan bahwa prinsip Filsafat Isyraqiyyah adalah mendapat kebenaran lewat pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis-rasional. Dengan kata lain, prisip iluminisme adalah bahwa mengetahui sama dengan memperoleh suatu pengalaman, suatu intuisi-langsung atas apa yang diketahui itu. Hanya setelah diraih secara total, intuitif, dan langsung (immediate), pengetahuan ini di analisis – yakni, secara diskursif-demostrasional.

Dalam Isyraqiyyah dan Hikmah, tindakan mengetahui bisa terjadi melalui pencapaian ilmu secara representasional (yakni, dengan persepsi forma objek), maupun langsung (melalui kehadiran wujud “objek” di dalam pikiran). Yang pertama disebut sebagai ilmu representasional (‘ilm hushuli), dan yang lainnya disebut sebagai ilmu presensial (‘ilm hudhuri). Terkait dengan itu, objek dalam pencapaian ilmu terbagi menjadi dua. Yakni, objek transitif dan objek imanen.

Objek transitif; adalah objek yang berada di luar akal manusia. Yang lewat sebuah proses representasi forma objek tersebut kepada akal, seseorang menjadi tahu tentang objek tersebut.

Objek imanen; adalah objek yang ada atau hadir (imanen) dalam diri subjek pengetahuan tanpa representasi.

Selanjutnya, kita memasuki istilah-istilah yang bisanya ditemui dalam pembahasan ‘Irfan Praktis;

Waqt (waktu); waktu disini bukanlah waktu yang umumnya kita kenal. Ini dapat disebut sebagai waktu subjektif sang ‘arif. Sehingga waktu di sini bersifat relatif. Setiap keadaan jiwa atau kondisi yang menimpa sang ‘arif menuntutnya untuk memberikan respon perilaku tertentu. Keadaan tertentu yang menuntut perilaku tertentu itu disebut “momen sang ‘arif”.

Hal dan maqam. Hal adalah apa yang menghinggapi hati seorang ‘arif tanpa diinginkannya, sementara maqam adalah apa yang dicapai oleh seorang ‘arif melalui upayanya. Hal melintas secara cepat sementara maqam bersifat permanen. Kaum ‘arif menyebutkan kilatan-kilatan cahaya itu dengan istilah lawaih, lawami dan tawali. Istilah-istilah tersebut dipakai untuk menandakan perbedaan tingkat intensitas dan lamanya berbagai kilatan cahaya.

Ghaybah dan Hudhur; ghaybah adalah keadaan tidak sadar yang kadang menimpa seorang ‘arif. Dalam keadaan ghaybah ini ia menjadi lupa diri dan sekitar. Ia menjadi tak sadarkan diri karena kehadirannya di depan Tuhan. Dalam keadaan kehadiran Tuhan dan larutnya diri serta lingkungan sekitarnya, mungkin akan terjadi hal-hal penting pada dirinya tanpa sepengetahuannya.

Mahw (penghapusan), Mahq (penghapusan dari penghapusan), dan Sahw (ketenangan); yang dimaksud dengan mahw adalah seorang ‘arif mencapai tingkat sedemikian rupa sehingga egonya menjadi larut dalam Zat Tuhan. Dia tidak bisa lagi melihat egonya seperti halnya orang biasa. Dan bila proses larutnya ego ini mencapai tingkatan sedemikian rupa sehingga pengaruh egonya pun menjadi larut, maka ini disebut dengan mahq. Mahw dan maqh, kedua-duanya lebih tinggi dari ghaybah. Mahw dan maqh berarti fana’ ke keadaan baqa’ (abadi dalam Tuhan). Baqa’ lebih berarti bahwa seorang ‘arif menemukan kehidupannya dalam Tuhan. Keadaan ini lebih halus sekalipun daripada mahw dan maqh, dan ini dinamakan sahw.

Bersambung ke:

Istilah-istilah ‘Irfan (3)

Sebelumnya:

Istilah-Istilah ‘Irfan (1)

Sumber Rujukan :

Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf; Sebuah Pengantar, Bandung, Mizan, 2017

Murthadha Muthahhari, Mengenal ‘Irfan; Meniti Maqam-Maqam Kearifan, Jakarta, IIman, 2002

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*