Besar kemungkinan Jazirah Arab ketika itu tidak lain adalah sebuah imperium yang berbentuk konfederasi. Dan Kota Makkah sebagai Ummul Qura, bisa diasumsikan sebagai ibu kota negara federal Arab, yang memiliki kedudukan setara dengan Bizantium dan Persia.
Bila diterjemahkan secara bahasa, Ummul Qura bisa diartikan sebagai ibu kota dari desa-desa. Karena qura adalah jamak dari qaryah yang artinya desa. Terkait hal ini, sebagian pendapat mengatakan, bahwa kata qaryah memang dalam penggunaan bahasa Arab sekarang bermakna desa, tapi kemungkinan besar di zaman pertama kali turunnya Islam maknanya lebih besar dari sekedar desa tapi lebih kecil dari kota besar atau metropolitan.
Bila kita lacak beberapa istilah qaryah di dalam Alquran, kata ini memang memiliki sejumlah makna yang lebih luas dari sekedar desa sebagaimana yang kita kenal saat ini. Berikut ini beberapa contohnya:
وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَٰذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَّغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ ۚ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: ‘Masuklah kamu ke qaryah/negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah: ‘Bebaskanlah kami dari dosa,’ niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah [2]:58)
Dalam ayat di atas, kata Qaryah (الْقَرْيَةَ) dengan diterjemahkan sebagai negeri, yang di dalamnya terdapat Baitul Maqdis, yaitu Yerusalem. Sebagaimana sejarah menunjukkan bahwa Yerusalem ketika itu adalah sebuah negeri yang besar. Layaknya kota yang kita kenal saat ini. Bahkan sekarang pun, dunia masih mengenalnya dengna sebutan “kota suci”. Adapun dalam ayat yang lain, misalnya:
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَٰذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيرًا
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari
qaryah/negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!’.” (QS. An Nisa [4]:75)
Layaknya Yerusalem, dalam ayat di atas, Kota Makkah juga disebut dengan istilah qaryah. Tapi berbeda dengan Yerusalem, Kota Makkah pada ayat yang lain juga mendapat julukan sebagai Ummul Qura. Fakta ini menjelaskan kedudukan khusus Kota Makkah di antara kota-kota lain di sekitarnya.
Adapun bila menilik pada fakta sejarah, qaryah (desa) Arab pada masa turunnya Rasulullah Saw sudah terbilang cukup urban. Sebagaimana kita tahu, suku-suku Arab umumnya hidup nomaden atau berpindah-pindah. Bila ada sebuah kelompok sepakat menetap dan mendirikan sebuah desa, maka bisa dipastikan kehidupan mereka sudah advanced, atau sudah layaknya disebut sebagai kota dalam arti sebenarnya. Karena perangkat dasar yang menopang kehidupan sosial, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan tentu sudah terbangun sempurna.
Dengan demikian, ketika kita mengangap Kota Makkah sebagai ibu kota dari banyak desa yang ada di Jazirah Arab (Ummul Qura), bisa diasumsikan bahwa Makkah ketika itu adalah ibu kota konfederasi bangsa-bangsa yang ada di sekitarnya. Atau dengan kata lain, secara teknis Ummul Qura yang dimaksud oleh Alquran di sini bisa diartikan sebagai ibukota negara federal Arab masa itu. Dan besar kemungkinan, Jazirah Arab sendiri tidak lain adalah satu kesatuan identitas politik (imperium) yang mandiri di antara banyak imperium lainnya di dunia.
Berangkat dari hipotesis di atas, kita bisa berangkat lebih jauh untuk meninjau kembali skema kehidupan global pada era Rasulullah Saw. Dimana Jazirah Arab ketika itu diapit oleh dua kekuatan imperium dunia, yaitu Persia di sebelah timur, dan Bizantium di sebelah barat.
Sebagaimana dijelaskan oleh Tabari, bahwa di seputaran jazirah Arab masa itu sebenarnya sudah banyak terdapat kerajaan dan bahkan protektorat imperium tersebut, seperti di Jazirah Arab utara ada kerajaan Lakhmit; menyisir ke bawah (selatan) berturut-turut ada kerajaan Hajar (Bahrain sekarang) dan Uman (Oman sekarang); dimana umumnya kekuatan politik tersebut ketika itu masuk dalam pengaruh kekaisaran Persia. [1]
Lalu masuk ke Jazirah Arab bagian tengah (kawasan Najd) ada bercokol kerajaan Kindah, Mudar dan Maad yang masuk dalam pengaruh imperium Persia. Sedangkan di sebelah selatan Jazirah Arab tersebut ada Kindah (Hadramaut), Zufar dan Yaman (semua sekarang berada menjadi negara Yaman), secara utuh menjadi bagian dalam wilayah protektorat dari Bizantium, dengan gubernurnya ketika itu adalah Abrahah Abu Yaksum. Adapun Kota Makkah sendiri ketika itu disebut sebagai ibukota dari identitas politik bernama Hijaz, yang terletak di sebelah paling barat Jazirah Arab. Wilayahnya merentang dari utara hingga ke selatan mengikuti garis pantai Laut Merah. Wilayah ini bisa dikatakan sepenuhnya identitas politik yang merdeka.[2]
Selama ratusan tahun kekuatan-kekuatan yang ada tersebut saling berebut pengaruh menjadi yang terkuat di Jazirah Arab. Hal ini wajar, mengingat posisi geo-politik Jazirah Arab yang demikian strategis. Bila kita perhatikan posisinya, Jazirah Arab adalah sebuah daratan yang berbentuk semenanjung yang sangat luas. Daratan ini seperti pulau tersendiri di tengah dua himpitan benua yang luas. Di kanan kiri semenanjung ini terdapat selat yang secara artikulatif memisahkan mereka dari dua daratan besar di sampingnya. Di sebelah timur ada Selat Hormuz dan Teluk Persia, yang ketika itu memisahkan mereka dengan kekaisaran Persia. Sedang di sebelah barat, terdapat Teluk Aden dan Laut Merah yang memisahkan mereka dengan benua Afrika yang ketika berada di bawah pengaruh Bizantium.
Menariknya, meskipun kedua imperium raksasa dunia tersebut saling berebut pengaruh di Jazirah Arab, tapi selama ratusan tahun, tak satupun dari mereka – baik Bizantium maupun Persia – yang tercatat pernah secara frontal menyerang Kota Makkah. Barulah ketika memasuki tahun kelahiran Rasululllah Saw – ketika Yaman dan sebagian besar wilayah selatan Jazirah Arab dikuasai oleh Abrahah – Kota Makkah khususnya Kabah, diserang. Terlepas dari motif religius yang mendorong aksi Abrahah, serangan tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteks dinamika sosial dan politik global yang terjadi pada masa itu. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wal-mulk) VOLUME V, The Sasanids, The Byzantines, The Lakhmids, and Yemen, translated and annotated by C. E. Bosworth, (University of Manchester: State University of New York Press, 1999), hal. xxxiv
[2] Ibid