Kaum Quraisy (18): Kapitalisme di Makkah

in Studi Islam

Last updated on May 23rd, 2019 01:03 pm

Kaum Quraisy, meskipun tidak memiliki aset yang memadai – hanya sumur zamzam dan Kabah – namun bisa memiliki kekayaan yang luar biasa dengan menjadikan Kota Makkah sebagai pasar yang masif dan berskala global. Lebih dari itu, mereka tidak hanya kaya, tapi juga memiliki kekuasaan dan pengaruh. Karena di dalam sistem kapitalisme, penguasa sesungguhnya bukanlah raja, kaisar atau kisrah, tapi siapa yang mengendalikan pasar. Dan orang-orang Quraisy, adalah pengendali pasar internasional di Kota Makkah.

Gambar ilustrasi. Sumber: haikudeck.com

Bila Kota Makkah berpredikat sebagai ummul qura, maka Kaum Quraisy sebagai pemilik kota ini, tentulah bukan kaum yang terbelakang, bodoh, dan primitif. Bisa dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang berpengetahuan luas, berpikir komprehensif, strategis dan maju. Sebagaimana sudah dikisahkan sebelumnya, Makkah ketika itu adalah sebuah destinasi wisata ruhani dan juga sebuah pasar besar yang di dalamnya berkumpul para pedagang dan ekonom dari segala penjuru dunia.

Orang-orang Quraisy dengan apik mengelola kota ini sehingga menjadi ramah bagi para pedagang tersebut. Di  tempat ini sistem kapitalisme purba dirancang, dibangun, dan dikembangkan. Bahkan Kabah, yang merupakan satu-satunya aset kota ini, mereka kapitalisasi semaksimal mungkin. Mereka menerima semua aliran agama dan berhala, yang kesemuanya di susun mengelilingi Kabah. Masing-masing kaum pezirahah yang juga merupakan mitra bisnis mereka, memiliki berhala dan kuil pemujaannya sendiri. Bahkan sebagai dikata Syed Ameer Ali, tak urung orang-orang Yahudi – yang notabene penganut agama samawi – akhirnya mengikut tradisi orang-orang jahiliyah ini demi menangguk untung di sana.[1]  

Untuk menjelaskan lebih jauh mengenai model sistem ekonomi yang dikelola oleh Kaum Quraisy Makkah masa itu, mungkin kita bisa merujuk pada pandangan Ellen Meiksins Wood tentang asal mula lahirnya kapitalisme. Menurut Ellen, inti dari sistem kapitalisme adalah pasar, bukan kekayaan. Modal atau ‘Kapital’ tercipta oleh suatu hubungan sosial yang spesifik. ‘Kekayaan’ berapapun banyaknya tidak dapat disebut sebagai ‘kapital’ dan tidak dengan sendirinya membentuk kapitalisme. Sebab yang diperlukan oleh kapitalisme adalah perubahan hubungan sosial yang menghidupkan ‘daya gerak’ ekonomi yang kapitalistik, di antaranya: paksaan persaingan, maksimalisasi profit, keharusan untuk menginvestasikan kembali laba, dan tak henti-henti memaksimalkan produktivitas tenaga kerja, serta pengembangan produksi.[2]

Kesemua itu terobjektifikasi ke dalam sistem yang bernama pasar. Ini sebabnya dalam sistem kapitalisme, pasar adalah panglima. Dan perubahan hubungan sosial yang dilakukannya bersifat memaksa. Sebagaimana Ellen mengutip hasil penelitian Karl Marx, bahwa kapitalisme ditandai oleh karakter hubungan sosial yang memaksa semua pelaku mengalami ketergantungan pada pasar alias distribusi produksi yang mengabaikan relasi produksi. Semua produksi harus ditujukan untuk pasar dan semua yang terlibat di dalamnya tunduk dalam prinsip persaingan agar bisa bertahan hidup. Motif mengumpulkan laba lebih dominan daripada motif melakukan proses produksi itu sendiri. [3]

Dari apa yang disampaikan oleh Ellen Meiksins Wood di atas, kita bisa sedikit memahami sebab mengapa Kaum Quraisy, meskipun tidak memiliki aset yang memadai – hanya sumur zamzam dan Kabah – namun bisa memiliki kekayaan yang luar biasa. Karena mereka mampu menjadikan Kota Makkah sebagai pasar yang masif dan berskala global. Lebih dari itu, mereka tidak hanya kaya, tapi juga memiliki kekuasaan dan pengaruh. Karena di dalam sistem kapitalisme, penguasa sesungguhnya bukanlah raja, kaisar atau kisrah, tapi siapa yang mengendalikan pasar. Dan orang-orang Quraisy, adalah pengendali pasar internasional di Kota Makkah.

Dengan adanya sistem ini, mereka berhasil mengubah karakter kehidupan padang pasir yang sangat egaliter, bebas dan mandiri, menjadi strukturalis, menindas, dan bergantung. Dari sistem seperti inilah kemudian lahir perbudakan, penindasan, dan peradaban jahiliyah yang terkenal itu. Ini juga tampaknya yang menjelaskan, apa yang sesungguhnya dipertahanankan oleh kaum kafir Quraisy ketika datang dakwah Rasulullah Saw? Jawabannya tidak lain adalah sistem pasar yang merupakan ruh dari kapitalisme tersebut. Sebagaimana sejarah menunjukkan, kaum kafir Quraisy tersebut bahkan bersedia mengkompromikan agama-agama mereka dengan Rasulullah Saw, agar sistem jahiliyah ini tetap lestari. Tawaran mereka inilah yang oleh para mufasirin disebut sebagai sebab awal turunnya Surat Al-Kafirun.[4]

Ellen Meiksins Wood, dalam karyanya berjudul “The Origin of Capitalism” menemukan bahwa kapitalisme adalah suatu sistem politik-ekonomi yang secara kualitatif berbeda dan terpatah dari sistem-sistem sebelumnya. Perbedaan kualitatif tersebut menunjukkan ada satu titik mula definitif dan tertentu yang menandai esensi kapitalisme. Dengan demikian menurut Ellen, “Ini berarti bahwa kapitalisme memiliki permulaan sejarah, dalam kondisi historis yang sangat spesifik, dan oleh karena itu kapitalisme memiliki akhir yang mungkin. Kapitalisme bukanlah produk dari suatu proses alami yang tak terhindarkan, juga bukan akhir dari sejarah (The End Of History).”[5]

Layaknya segala sesuatu yang bermula, pasti akan berakhir. Demikian juga dengan sistem jahiliyah yang dibangun oleh kaum kafir Quraisy. Hanya beberapa dekade setelah kekalahan pasukan Abrahah, syiar Islam datang. Melalui RasulNya, Allah menghapus riba dan menggantinya dengan sedekah. Islam melarang perbudakan, mengutuk penindasan, dan mendorong egliterianisme. Dimana semua manusia dianggap sama, yang membedakan mereka hanya ketaqwaan di hadapan Allah SWT. Tak ayal, semua seruan ini seketika mengguncang sendiri-sendiri terdalam sistem kapitalisme tersebut. Di sini kita bisa memahami, mengapa kaum kafir Quraisy itu dengan sepenuh cara dan daya upaya ingin memadamkan dakwah Rasulullah Saw. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, (Calcutta: S.K. Lahiri & Co, 1902), hal. lvi

[2] Lihat, Ellen Meiksins Wood, The Origin of Capitalism: a longer view. (London: Verso, 2002), hal. 36-37

[3] Lihat, Ellen Meiksins Wood, Op Cit

[4] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 15, Juz ‘Amma (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2005), hal. 578-580

[5] Lihat, Ellen Meiksins Wood, Op Cit 000

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*