Kaum Quraisy (19): Kondisi Bani Hasyim Setelah Era Abdul Muthalib

in Studi Islam

Last updated on May 30th, 2019 10:11 am

Disebabkan kedermawanannya, harta kekayaan Abdul Mutahlib terus menyusut dari hari ke hari. Sebagai akibatnya, ketika era Abu Thalib, kedudukan Bani Hasyim terus melemah. Jabatan sebagai pemberi makan peziarah dan pengumpul pajak dari Kaum Quraisy (Rifada) pun akhirnya diambil alih oleh pesaing mereka, Bani Umayyah.


Gambar  ilustrasi. Sumber: republika.co.id


Dengan kedudukan Kaum Quraisy sebagai pemilik atau penguasa pasar, maka secara otomatis merekapun memiliki pengaruh yang tak terbantahkan. Dan disebabkan Makkah pada masa itu adalah sebuah pasar global, bisa dikatakan spektrum pengaruh mereka  bukan hanya terbatas pada masyarakat Arab, tapi juga pada masyarakat di luar Jazirah Arab.

Dengan kata lain, setiap tokoh ataupun fenomena yang muncul di kota ini akan sangat mudah dikenal dan segera menjadi pusat perhatian dunia. Inilah salah satu faktor yang menjelaskan mengapa risalah yang dibawa sosok Nabi Muhammad Saw kelak demikian cepatnya menyebar ke segala penjuru bumi. Karena sosok Al-Amin yang terkenal dan dimuliakan di Kota Makkah itu sudah dikenal juga oleh pasar global dan para pembesar dunia bahkan sebelum turunnya risalah Islam.

Dikisahkan dalam banyak riwayat, bahwa Rasulullah Saw mengirimkan surat ke semua penguasa, mulai dari Kisrah dan Kaisar Bizantium, serta sejumlah raja, pemuka kaum, dan kepala suku bangsa lainnya. Semua surat tersebut diterima langsung oleh sang penguasa. Ada yang memperlakukan seruan tersebut secara hormat, ada pula yang meremehkannya.[1] Namun yang pasti, berdasarkan riwayat, semua surat itu sampai dan diterima oleh para raja. Ini menunjukkan bahwa sang pengirim dan juga berita yang dikirim adalah sesuatu yang memang sudah dikenal dan – bisa jadi – sudah  ditunggu kehadirannya.

Sebagaimana sudah dikisahkan dalam edisi terdahulu, setelah kakeknya wafat, hak pengasuhan Muhammad bin Abdullah diberikan kepada pamannya yang bernama Abu Thalib. Selain mendapatkan hak asuh atas Muhammad bin Abdullah, Abu Thalib juga menjadi pemimpin Bani Hasyim menggantikan mendiang ayahnya. Tapi menurut Syed Ameer Ali, disebabkan kedermawanan Bani Hasyim, khususnya pada era kepemimpinan Abdul Mutahlib, harta kekayaan mereka terus menyusut dari hari ke hari. Sebagai akibatnya, kedudukan mereka terus melemah. Jabatan sebagai pemberi makan peziarah dan pengumpul pajak dari Kaum Quraisy (Rifada) pun akhirnya diambil alih oleh pesaing mereka, Bani Umayyah.[2]

Layaknya orang-orang Quraisy pada umumnya, Abu Thalib juga seorang pebisnis ekspor-impor. Dia sudah sering mengirim barang dagangan baik ke Suriah maupun Yaman. Dan di usia yang sangat dini, Muhammad sudah ikut menemaninya berdagang ke berbagai negara. Selama proses itu, Muhammad belajar dengan cepat dan mulai membangun integritasnya di mata dunia.

Ketika Muhammad sudah menginjak usia cukup dewasa, dia bekerja pada salah satu perusahaan dagang multinasional, milik seorang wanita bernama Khadijah binti Khuwailid. Kecakapan dan integritasnya yang begitu tinggi membuat nama Muhammad kian berkilau pasar dunia. Setiap perniagaan yang dilakukannya selalu sukses dan membawa hasil yang menggembirakan. Sehingga tak ayal keberadaan Muhammad di perusahaan itu, telah secara signifikan melipatgandakan aset dan keuntungan Khadijah, dan menjadikannya sebagai orang terkaya di Kota Makkah.

Meskipun seorang wanita, Khadijah adalah seorang pebisnis yang cakap dan ulet. Dia demikian larut dalam pekerjaannya, sehingga tak sempat menikah hingga usia 40 tahun. Tapi ketika dia bertemu Muhammad bin Abdullah, hatinya tak mampu menyimpan kekaguman pada pemuda ini. Muhammad terlalu sempurna untuk diabaikannya. Dan setelah membulatkan niat, Khadijah pun melamar Muhammad yang ketika itu terpaut 15 tahun lebih muda darinya. Gayung pun bersambut. Lamaran Khadijah diterima, dan mereka pun menikah. 

Segera setelah itu rumah tangga mereka menjadi keluarga inti paling masyhur di Kota Makkah. Keluarga yang kaya raya ini dikenal sebagai keluarga yang sangat dermawan, sederhana dan tidak mempraktekan riba. Hanya saja, setelah pernikahan tersebut, Muhammad menjadi jarang terlihat di depan publik, itupun jika ada keadaan mendesak karena kedudukannya atau atas permintaan penduduk kota yang mengharapkannya untuk tampil. Menurut catatan sejarah, periode 15 tahun pertama pernikahannya ini merupakan waktu ketika dia lebih banyak melakukan perenungan, mengadakan persiapan, dan pendalaman spiritual.[3]

Sedang di sisi lain, kehidupan sosial politik di Kota Makkah makin memprihatikan sejak ditinggalkan oleh Abdul Muthalib. Kekuasaan dan tanggung jawab kota yang sudah didistribusikan secara adil pada masa Abdul Muthalib mulai dipenuhi penyelewengan, menjadi terpecah belah, dan tidak terkoordinasi. Tiap anggota dewan kota (Nadwah) kehilangan marwahnya, dan lembaga kehakiman (diyat)kehilangan supremasinya. Semua mekanisme yang sudah ditetap Abdul Muthalib, direvisi dan diadaptasikan dengan kerangka umum kapitalisme – bahwa pemilik modal adalah penguasa. Dari sinilah strata sosial baru dibuat.[4]

Akibatnya, kekacauan terjadi. Kualitas-kualitas kemanusiaan dikuantifikasi secara ekonomi dan material. Keadilan, kemuliaan, baik-buruk, dan benar-salah, semua didefinisikan oleh para pemilik modal, atau mereka-mereka yang terkaya. Mereka menjadi poros-poros kekuatan yang membentuk kultur sosial dan politik di Makkah. Tak ayal, pertalian darah dan ikatan kepentingan (Ashobiyah) menjadi pusat eksistensi.[5]

Siapapun dia yang ingin tetap eksis, haruslah mengasosiasikan didirinya – atau setiaknya mendapat jaminan – dari ikatan kelompok-kelompok yang ada, atau biasa disebut “Bani”. Dalam hal ini, istilah “Bani” sudah tidak bisa lagi diartikan sebagai ikatan genetis semata. Lebih dari itu, Bani lebih mirip seperti sebuah ikatan kepentingan untuk menjaga eksistensi kelompok. Setelah Bani Hasyim meredup pamornya, Bani Umayyah menjadi kelompok oligarki terkuat di Kota Makkah kala itu, dengan pemimpinnya yang bernama Abu Sufyan bin Harb. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, Jilid I, (Beirut: Danjl Fikr, 1994).

[2] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, (Calcutta: S.K. Lahiri & Co, 1902), hal. 12

[3] Ibid

[4] Ibid, hal. 13

[5] ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*