Kaum Quraisy (20): Kiprah Muhammad Saw Sebelum Masa Kenabian

in Studi Islam

Last updated on May 31st, 2019 06:17 am

Sejak menikah dengan Khadijah, kiprah Muhammad Saw di Kota Makkah tidak terlalu menonjol. Menurut catatan sejarah, periode 15 tahun pertama pernikahannya ini merupakan waktu ketika dia lebih banyak melakukan perenungan, mengadakan persiapan, dan pendalaman spiritual. Tapi ini agaknya tidak sepenuhnya tepat.

Gambar ilustrasi. Sumber: Twitter
@MuhammadMovie

Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi sebelumnya, bahwa setelah menikah dengan Khadijah, Muhammad menjadi jarang terlihat di depan publik, itupun jika ada keadaan mendesak karena kedudukannya atau atas permintaan penduduk kota yang mengharapkannya untuk tampil. Menurut catatan sejarah, periode 15 tahun pertama pernikahannya ini merupakan waktu ketika dia lebih banyak melakukan perenungan, mengadakan persiapan, dan pendalaman spiritual.[1]

Terdapat setidaknya dua peristiwa penting yang melibatkan Muhammad sebelum masa kenabiannya, pertama, ketika terbentuknya persekutuan yang dikenal dengan nama Hilf al Fudzul. Kedua, adalah ketika terjadi kemelut di antara Kaum Quraisy pada waktu mereka sedang memperbaiki Kabah. Namun bila kita cermati signifikansi peran Muhammad di kedua peristiwa tersebut, kita tidak bisa mengartikan lain, selain bahwa Muhammad terlibat aktif, bahkan sangat deterministik, dalam kehidupan sosial politik di Kota Makkah sebelum masa kenabiannya.

Akan tetapi, bila kita cermati signifikansi kedua peristiwa tersebut terhadap kehidupan sosial politik, kita tidak bisa mengartikan lain, selain bahwa Muhammad Saw terlibat aktif, bahkan sangat deterministik, dalam kehidupan sosial politik di Kota Makkah sebelum masa kenabiannya.

Terkait dengan Hilf al Fudzul, terbentuknya persekutuan ini bisa diartikan sebagai sebuah strategi kontra-skema guna melawan rezim jahiliyah yang sudah sangat meresahkan masyarakat Makkah kala itu. Rezim jahiliyah tersebut telah meletakkan semangat ashobiyah di atas segala-galanya. Sebagai dampaknya, orang-orang yang tidak terasosiasi dengan salah satu kelompok kuat, secara otomatis terasing, dan tidak memiliki perlindungan. Mereka akan menjadi sasaran perampokan, penganiayaan, dan juga perbudakan.[2]

Untuk mencegah semakin luasnya kerusakan yang terjadi, maka Muhammad mengumpulkan Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Zuhra, dan Bani Taym. Ini terjadi sekitar tahun 595 M, atau tak lama setelah beliau menikah. Dalam pertemuan tersebut Muhammad mengusulkan agar semua kelompok tersebut bersumpah untuk membela setiap orang – baik itu orang Makkah ataupun orang asing, orang merdeka ataupun budak – dari segala bentuk kesewenang-wenangan yang terjadi di Kota Makkah. Mereka juga bertekad akan menuntut balas atau menerima ganti rugi dari orang yang telah berbuat jahat pada mereka.[3]  

Di masa lalu, pernah juga ada pesekutuan serupa di kalangan kaum Jurhum, penghuni pertama Kota Makkah. Persekutuan tersebut memiliki visi dan misi yang sama, dan melibatkan empat kelompok kuat di Kota Makkah, yaitu, Fazl, Fazal, Muffazzal, dan Fuzail, yang secara bersama disebuat Fudzul. Ini sebabnya pesekutuan yang dibuat Muhammad ini dinamakan sama, yaitu persekutuan Fudzul (Hilf al Fudzul), untuk mengingatkan warga kota tersebut, bahwa apa yang mereka lakukan memiliki akar historis dan legitimasi kultural yang kuat.[4]

Dalam perkembangannya, persekutuan yang dibuat oleh Muhammad ini ternyata memiliki dampak positif bagi kehidupan sosial dan politik di Kota Makkah. Dalam tahun pertama berdirinya, persekutuan ini telah mampu menekan jumlah kesewenang-wenangan pihak kuat terhadap yang lemah. Mereka bahkan bisa mendesak para elit yang melakukan kezaliman untuk memberikan ganti rugi pada mereka yang dizalimi. Singkatnya, persekutuan ini telah berhasil menjadi payung tempat berlindungnya orang-orang lemah dan tertindas di kota tersebut. [5]

Pada tahap selanjutnya, persekutuan yang dibentuk oleh Muhammad ini tidak hanya menjadi pembela bagi orang-orang tertindas di Kota Makkah, tapi juga mampu menjadi garda terdepan yang menjaga kedaulatan tanah Hijaz, khususnya kota suci Makkah. Sebagaimana dikisahkan oleh Syed Ameer Ali, menjelang permulaan abad ke tujuh Masehi, seorang bernama Utsman bin Huwairyt, dengan dukungan emas dari Bizantium, berusaha menganeksasi Hijaz dan memasukannya ke dalam wilayah kekuasaan Romawi. Tapi upaya Utsman tersebut akhirnya gagal karena adanya campur tangan dari Muhammad dan persekutuan yang dibuatnya. Utsman pun kemudian melarikan diri ke Suriah, tempat dimana dia akhirnya tewas diracun oleh Amr, seorang pangeran Ghassan.

Kedua, kiprah Muhammad yang cukup monumental dan dikenang luas oleh masyarakat sebelum masa kenabiannya, adalah ketika dia menjadi penengah pada waktu terjadi perselisihan di antara suku-suku di Kota Makkah tentang siapa yang layak memindahkan hajar aswad ke tempatnya semula. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 605 M.

Ketika itu usia Muhammad sudah menginjak 35 tahun. Kemudian terjadi banjir yang merusak beberapa bagian dari dinding Kabah. Masyarakat pun bekerja bakti membangun satu-satunya aset terpenting kota tersebut. Hingga tiba fase akhir pembangunan, yaitu memasukkan Hajar Aswad, batu hitam yang sangat diagungkan oleh orang-orang Quraisy, terjadi pertengkaran di antara mereka. Karena masing-masing kelompok merasa berhak mendapat kehormatan memindahkan batu tersebut. Pertikaian ini hampir menyebabkan terjadinya perang saudara di antara mereka.[6]

Hingga pada satu titik mereka akhinya sepakat untuk meminta pemecahan atas masalah ini kepada Muhammad. Karena dia dikenal adil dan bijaksana dalam memutuskan. Muhammad pun datang. Beliau kemudian membentangkan sebuah kain, lalu meletakkan hajar aswad di atasnya. Masing-masing kabilah diminta agar memegang tiap ujang dari kain tersebut dan bersama-sama mengangkat hajar aswad kembali ke tempatnya. Semua pihak merasa puas dengan keputusan yang diambil Muhammad, dan konflik pun bisa dihindari.[7]

Peristiwa ini, dan juga banyak lagi peristiwa lainnya, telah menjadikan Muhammad sebagai sosok yang dikenal kemuliaannya. Sifatnya yang lembut, kebijakasaan, kecerdasan, ketegasan, kekerasannya dalam menjaga kesucian, kehalusan budi pekertinya, kesetiaannya yang besar, kesiap-sediaannya membantu orang-orang lemah dan tertindas, dan banyak lagi sejumlah sifat terbaik yang berkumpul di dirinya, telah membuat dia dikenal oleh anak bangsanya dengan gelar yang mulia, sekaligus menyebalkan bagi para pembencinya, yaitu Al-Amin (Yang paling terpercaya).

Predikat ini menjadikan Muhammad sebagai sosok yang paling berintegritas, paling mulia, dan tak terbantahkan. Di tengah kesembrautan moralitas masa itu, karakter Muhammad menjadi yang paling kontras. Kepribadiannya paling murni dari semua. Apapun yang dikatakannya adalah kebenaran dan menjadi solusi bagi semua. Pada dialah semua harapan para pencari keadilan dan kebenaran tertuju. Tapi bagi para pelaku kezaliman, para pengusung paham jahiliyah, dan para kolaborator ekonomi yang menindas, karakter Muhammad adalah sebuah ancaman. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, (Calcutta: S.K. Lahiri & Co, 1902), hal. 12

[2] Ibid, hal. 13

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Lihat, O.Hashem, Muhammad Sang Nabi; Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail, (Jakarta: Ufuk Press, 20017), hal. 38

[7] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*