Yuval Noah Harari, dalam buku fenomenalnya yang berjudul “Sapiens”, mengatakan bahwa bahasa atau kemampuan linguistik adalah parameter paling otentik untuk menunjukkan capaian kognitif dan tingkat kemajuan peradaban Homo Sapiens. Melalui bahasa, manusia bisa bekerja sama, membangun sistem, dan merajut konstelasi realitas yang kompleks, sehingga terbentuk sebuah kebudayaan.
Pada 17 Ramadan 13 tahun sebelum Hijrah, di Gua Hira pinggir Kota Makkah, seperti biasa, Muhammad duduk menyepi dari hiruk pikuk dunia. Di tempat itu jiwanya membumbung tinggi, menembus seluruh cakrawala penciptaan, hingga satu titik dimana tak satu mahluk pun pernah ada di posisi itu, Sang Kitab pun terbuka. Cahayanya memancar menerangi seluruh alam. Langit bergelora dibuatnya, dan seluruh rahasia penciptaan tergelar nyata. Setelah hari itu, kegelapan hanya bisa sembunyi di balik jiwa manusia. Misi kerasulan pamungkas pun dimulai.
Tak pelak, Kaum Quraisy terbilang beruntung. Merekalah orang-orang pertama yang ditakdirkan bisa mengecap manisnya wahyu langsung dari sumbernya. Keistimewaan ini barangkali yang menjadikan Kaum Quraisy memiliki kedudukan demikian tinggi di muka bumi. Dan kedudukan ini bukan tanpa sebab.
Sebagaimana sudah kita ulas pada edisi-edisi sebelumnya, Kaum Quraisy memang merupakan kelompok elit dunia kala itu. Mereka memiliki tingkat kebudayaan yang tinggi. Salah satu yang mengindikasikan ketinggian budaya itu tak lain adalah kemampuan bahasa mereka. Sedemikian sehingga Alquran, wahyu terakhir Ilahi, turun dalam bahasa Arab—bahasa komunikasi mereka sehari-hari.
Yuval Noah Harari, dalam buku fenomenalnya yang berjudul “Sapiens”, mengatakan bahwa bahasa atau kemampuan linguistik adalah parameter paling otentik untuk menunjukkan capaian kognitif dan tingkat kemajuan peradaban Homo Sapiens. Karena bahasa adalah produk revolusi kognitif yang khas milik Homo Sapeins. Kemampuan ini—merangkum segenap kehebatan Sapiens—adalah komponen utama dari apa yang kita sebut sebagai “budaya”. Begitu muncul, budaya-budaya itu tak pernah berhenti berubah dan berkembang, dan perubahan-perubahan yang tak terhentikan inilah yang kita sebut “sejarah”.[1]
Terkait tentang mengapa orang-orang Quraisy tidak memiliki artefak yang merupakan produk teknologi, menurut Harari, pembuatan alat adalah konsekuensi kecil kalau tidak digabungkan dengan kemampuan untuk bekerja sama dengan banyak orang lain.[2] Dan bahasa adalah sarana yang membuat manusia bisa bekerja sama, membangun sistem, dan merajut konstelasi realitas yang kompleks. Dengan bahasa, kata Harari, manusia mampu membangun fiksi dan mitos yang esensial untuk kemajuan dan perkembangannya.
Terkait dengan itu, nyaris tidak ada satupun bahasa di dunia yang mampu menandingi kekayaan kata dan ketinggian makna bahasa Arab. Untuk satu kata “unta” saja, misalnya, ada sekian banyak nama untuk beragam tahap, tipe, dan kondisi khusus unta. Demikian pula halnya dengan binatang-binatang ternak lain. Mereka juga memiliki kata-kata khas tentang berbagai suasana dan perasaan. Umpamanya, untuk rasa “takut” bahasa Arab menyediakan sejumlah kata semisal khauf, faza’, khasy-yah, hala’,yang dalam bahasa lain mungkin hanya dapat diterjemahkan dengan takut saja. Demikian pula, contoh lain lagi, untuk kata “dusta”, bahasa Arab, sebagaimana yang dapat kita baca dalam Alquran, menggunakan kata kidz, iftira’, ifk, kharsh dan sebagainya. Mudahnya, kita lihat saja ayat-ayat yang termaktub di dalam Alquran yang demikian kaya dengan kata dan makna, konotasi dan nuansa, diksi dan kalimat. Dan persisnya karena itu pula kitab suci ini telah menjadi bahan penafsiran dan penguaraian yang telah melahirkan ratusan ribu karya besar maupun kecil dalam berbagai macam bahasa—dengan tren yang tak pernah menyusut.
Kita tentu menyepakati bahwa tidak mungkin wahyu pamungkas itu diturunkan dalam bahasa yang tidak dipahamai manusia di zamannya. Apa yang terdapat dalam Alquran, setidaknya dari sisi makna-makna lahiriahnya dan kata-katanya, adalah bahasa yang dimengerti oleh bangsa-bangsa Arab ketika itu. Di dalam Alquran, sebagai misal dua ayat pertama yang turun, di dalamnya sudah tersimpan sedemikian banyak konsep yang rumit dan mencengangkan, seperti iqra (baca), Rabb, insan, dan ‘alaq (segumpal darah), yang kemudian menjadi nama surah tersebut.
Dalam tafsir Al-Misbah, M. Quraish Shihab mengatakan bahwa kata insan menggambarkan manusia dengan berbagai keragaman sifatnya. Kata ini berbeda dengan kata basyar yang juga diterjemahkan dengan “manusia”, tetapi maknanya lebih banyak mengacu kepada manusia dari segi anatomi fisik dan kecenderungan biologisnya yang tidak berbeda antara satu manusia dengan manusia lainnya. Manusia adalah makhluk pertama yang disebutkan Allah dalam Aquran melalui wahyu pertama-Nya. Bukan saja karena ia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, atau karena segala sesuatu dalam alam raya ini diciptakan dan ditundukkan Allah demi kepentingannya, tetapi juga karena Kitab Suci Alquran ditujukan kepada manusia guna menjadi pelita kehidupannya.[3]
Adapun kata ‘alaq dalam kamus-kamus bahasa Arab digunakan dalam arti “segumpal darah”. Tapi ia juga dapat berarti cacing yang terdapat di dalam air yang bila diminum oleh binatang maka ia akan tersangkut di kerongkongannya. Masih menurut M. Quraish Shihab, selain memiliki arti di atas, kata ‘alaq bisa juga dipahami sebagai berbicara tentang sifat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tetapi selalu bergantung kepada selainnya. Ini serupa dengan firman Allah khuliqa al-insanu min ‘ajal/ manusia diciptakan (bersifat tergesa-gesa) (QS. al-Anbiya’ [21]: 37).[4] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Yuval Noah Harari, Sapiens: Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu Hingga Perkiraan Kepunahannya, (Ciputat: PT Pustaka Alvabet, 2011), hal. 43
[2] Ibid, hal. 44
[3] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 15, Juz ‘Amma (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2005), hal. 397
[4] Ibid