Kaum Quraisy (5)

in Studi Islam

Last updated on May 6th, 2019 10:25 am


Alhasil, dengan semua kedudukan dan kemuliaan yang diraihnya, arti kata Quraisy pun berkembang tidak lagi hanya sebatas identitas genetik. Melainkan juga sifat, karakter, dan kiprah suatu kaum. Mirip seperti partai politik pada masa kini, kaum Quraisy lebih mirip seperti satu identitas ideologi dan politik.


Gambar ilustrasi. Sumber: http://garansizone.blogspot.com


Selain Akd al liwa, tradisi lain yang juga dilakukan pada era Qushay bin Kilab dan masih terus bertahan hingga masuknya era Islam, adalah tradisi Rifada atau melayani jamaah haji yang miskin. Qushay mendorong orang-orang Quraisy agar menyediakan makanan bagi peziarah miskin yang tiap tahun berziarah ke Makkah dan mengingatkan mereka akan kewajiban menerima tamu dengan ramah tamah. Dia juga menetapkan kepada mereka pajak tahunan yang akan digunakan untuk melayani orang-orang miskin pada setiap musim haji.[1]

Pajak yang sudah dikumpulkan tersebut kemudian dibagikan untuk orang miskin selama Ayyamul Mina atau hari pesta kurban dan dua hari berikutnya ketika mereka berada di Mina. Kebiasaan ini terus berlangsung sesudah kedatangan Islam dan merupakan asal muasal kebiasaan pembagian makanan yang dilakukan di Mina tiap tahun selama ibadah haji, atas nama khalifah dan para sultan di era kekhalifahan Islam.[2]

Menurut Azlam Taym bin Mura, liwa dan Rifada mengacu pada peran yang dilakukan Qushay. Hal ini merupakan perwujudan dari hak Qushay untuk memanggil dan mengetuai musyawarah seluruh bangsa, menyerahkan panji-panji – simbol kepemimpinan militer – dan memungut pajak yang dikumpulkan untuk menyediakan makanan bagi peziarah.[3]

Sebagai turunan dari haknya atas liwa dan Rifada, Qushay juga memegang kekuasaan untuk mengurus air di semua sumur di Makkah dan daerah sekitarnya. Hak atau otoritas ini kemudian dikenal dengan sebutan “sikaya”. Selain itu Qushay juga memiliki hak sebagai pemegang kunci Kabah sekaligus sebagai sosok yang memiliki otoritas spiritual paling tinggi di Kota Makkah. Kedudukan ini kemudian dikenal dengan sebutan “hijaba”.[4]

Dengan semua otoritas yang dimilikinya, Qushay bin Kilab menyatukan semua kekuasaan penting di bidang politik, sipil, ekonomi, dan agama dalam dirinya. Syed Ameer Ali mengatakan, Qushay adalah seorang raja, hakim agung, dan pendeta tertinggi di Kota Makkah. Kekuasaannya yang hampir menyamai kekuasaan raja, telah mengangkat kejayaan kaum Quraisy, dan menjadikannya seorang pemimpin yang diakui. Sejak itu, kaum Quraisy mendapat kedudukan lebih utama dibanding dengan keturunan Ismail lainnya.[5] 

Alhasil, dengan semua kedudukan dan kemuliaan yang diraihnya, arti kata Quraisy pun berkembang tidak lagi hanya sebatas identitas genetik. Melainkan juga sifat, karakter, dan kiprah suatu kaum. Mirip seperti partai politik pada masa kini, kaum Quraisy lebih mirip seperti satu identitas ideologi dan politik.

Sebagaimana dikatakan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, apapun asal katanya, yang jelas sebagaimana tulis al-Biqa‘i kata Quraisy mengandung makna keterhimpunan, kekuatan dan kesucian dari hal-hal buruk. Penamaan suku itu demikian untuk memuji mereka dalam persatuan dan kekokohan mereka serta sikap yang dinampakkan dalam perdagangan mereka. Dalam konteks pujian terhadap kaum ini serta pengaruh mereka yang demikian kuat dalam masyarakat, Rasulullah Saw bersabda: “Al-A’immal(u) min Quraisy, yakni pemimpin-pemimpin (hendaknya diangkat) dari suku Quraisy” (HR. Ahmad melalui Anas Ibn Malik).[6]

Tapi kemuliaan dan kekuatan yang mereka dapatkan pada masa Quhsay bin Kilab, barulah awal. Kelak dari kaum inilah Allah SWT mengeluarkan manusia terbaik di jagad penciptaan. Tapi sebelum itu, jalan berkelok harus mereka lalui.

Qushay bin Kilab meninggal pada usia tua, kira-kira pada tahun 480 M. Di antara putra-putranya, ada dua orang yang paling unggul, yaitu Abd Ud-Dar dan Abdul Manaf. Ketika masih hidup, Qushay menunjuk Abd Ud-Dar sebagai penggantinya. Dan setelah Qushai, Abd Ud-Dar menggantikan ayahnya dengan damai tanpa pertikaian. Akan tetapi, setelah Abd Ud-Dar meninggal dunia, mulai terjadi pertikaian sengit antara anak-anak Abd Ud-Dar dengan putra-putra Abdul Manaf.[7]

Tidak diketahui persis sebab utama terjadinya pertikaian tersebut, tapi menurut Syed Ameer Ali, pertikaian ini menarik berbagai klan sekutu dan tetangga mereka. Sehingga melahirkan kekisruhan politik yang cukup serius. Meski begitu, pertikaian ini akhirnya bisa diredakan dengan cara damai untuk sementara waktu. Yaitu melalui jalan kompromi: Sikaya dan rifada dipercayakan pada Abd Syam, putra Abdul Manaf. Sementara hijaba, khaimmah (pengurus Darun Nadwah/Rumah Majelis) dan liwa tetap dipegang anak-anak Abd Ud-Dar.[8]

Bila dilihat dari hasil komprominya, tampaknya penyebab terjadinya pertikaian tersebut adalah masalah distribusi kekuasaan di Kota Makkah. Ada tarikan ideologis yang cukup fundamental di antara kedua anak keturunan Qushay bin Kilab, sehingga membawa para tetangga dan klan sekutu untuk ikut campur dalam urusan ekslusif keluarga Qushay.

Bisa diduga, bahwa kedua tarikan inilah yang pada masa selanjutnya melahirkan paradoks dalam wajah Kota Makkah. Di satu sisi, di tempat ini berkumpul para manusia-manusia utama yang menjadi pemimpin yang diakui, tapi di sisi lain, kota ini menanggung beban sebagai pusat kebudayaan jahiliyah. Dimana penyembahan berhala, perjudian, dan kolaborator kapitalisme paling jahat di muka bumi berkumpul. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, (Calcutta: S.K. Lahiri & Co, 1902), hal. 3

[2] Ibid, hal. 4

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 15, Juz ‘Amma (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2005).  Hal. 536

[7] Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit, hal. 5

[8] Ibid


Leave a Reply

Your email address will not be published.

*