Setelah berakhir pemerintahan Qushay bin Kilab, Kota Makkah jatuh pada anarki. Tidak ada sistem politik, otoritas dan hukum yang diakui di kota ini. Dalam kondisi seperti ini, ikatan kelompok (ashobiyah) adalah sumber eksistensi tiap individu, dan satu-satunya tempat yang aman di muka bumi. Ini sebabnya, ikatan ini sangat dipuja, dijunjung tinggi, dan dibela hingga tetes darah terakhir.
Sebagaimana sudah dijelaskan pada edisi sebelumnya, bahwa konflik di antara keturunan Qushay diselesaikan dengan jalan kompromi. Yaitu dengan cara membagi divisi kekuasaan Kota Makkah secara adil ke semua pihak: pengelola sikaya (pengurus semua sumur di Makkah) dan rifada (pelayan jamaah haji) dipercayakan pada Abd Syam, putra Abdul Manaf. Sementara hijaba (pemegang kunci Kabah), khaimmah (pengurus Darun Nadwah/Rumah Majelis) dan liwa (pemegang panji perang) tetap dipegang anak-anak Abd Ud-Dar.[1]
Dengan adanya pembagian ini, situasi Kota Makkah kembali kondusif. Tapi otoritas pemerintahan tertinggi di Kota Makkah kehilangan legitimasi. Kaum Quraisy terpecah belah. Tidak ada lagi pemimpin yang diakui seperti Qushay bin Kilab pada masa lalu. Tidak ada organisasi politik dalam bentuk apapun. Semua kembali pada tradisi sebelumnya, otoritas berada di tangan kepala suku atau pemimpin klan. Tidak ada hukum yang diakui bersama dan bersifat mengikat selain perjanjian yang dibuat secara temporal dan kompromistis. Keadilan digantungkan pada kehendak kelompok terkuat. Dan ikatan kelompok (ashobiyah) adalah satu-satunya tempat yang aman di muka bumi.[2]
Maka demikianlah, di tengah situasi politik yang bersifat anarki di atas, satu-satunya jalan meraih kekuatan adalah dengan memaksimalkan keunggulan kuantitatif, seperti banyaknya pengikut dan juga harta kekayaan. Dalam hal ini, Abd Syam – putra Abdul Manaf yang menguasai hak sebagai pemegang Sikaya dan Rifada – tergolong kesulitan dalam masalah ekonomi. Menyadari kelemahannya, Abd Syam kemudian menyerahkan kekuasaan tersebut pada saudaranya yang bernama Hasyim.[3]
Bila dibandingkan tokoh-tokoh kaum Quraisy pada masa itu, Hasyim adalah sosok yang memiliki keunggul baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Dia dikenal sebagai seorang pedagang yang sukses, cekatan, dan pastinya kaya raya. Sedang secara kualitatif, Hasyim di kenal sangat dermawan, suka menolong fakir miskin, dan melindungi mereka yang lemah.[4]
Di bawah pengelolaan Hasyim, pelayanan jamaah haji makin prima. Pajak-pajak yang dipungutnya dari kaum Quraisy didistribusikan secara optimal. Bahkan, bila anggaran tersebut kurang, dia tidak segan mengeluarkan dana dari koceknya sendiri demi menyediakan makanan, minuman, dan semua keperluan jamaah haji yang miskin. Karena kedermawanan dan kecakapannya, nama Hasyim sangat terkenal dan paling dimuliakan di kalangan kaum Quraisy.[5]
Tapi Hasyim hanyalah sebuah faktor pembeda di tengah era kapitalisme purba yang makin masif mewarnai Kota Makkah. Dengan semakin primanya layanan jamaah haji, makin naik pula nilai strategis Kota Makkah bagi para pebisnis dunia masa itu. Selain membawa barang dagangan dari berbagai penjuru dunia, para kapitalis itu juga membawa kebiasaan hidup mewah dan segala jenis kejahatan moral lain yang telah mengerogoti pula kerajaan di sekitarnya. Perbudakan dan pelacuran diimpor dari Yunani dan Persia ke kota ini. Sementara penyair dari berbagai negara dikonteskan untuk menghibur para konglomerat, yang isinya hanya mendorong ego kelompok dan menstimulus orang-orang untuk melakukan perbuatan maksiat.[6]
Orang-orang Arab, terutama di Kota Makkah, sangat kecanduan minum-minuman keras, judi dan mendengarkan musik. Tarian dan nyanyian yang beragam dari berbagai penjuru dunia dipentaskan tiap malam di kota ini. Para penyanyi dan penari tersebut dikenal dengan istilah Kiyan atau yang bentuk tunggalnya Kayna, adalah para budak wanita yang sudah terkenal kebejatannya. Namun di Kota Makkah mereka demikian dihargai dan menjadi sasaran rayuan para konglomerat dari berbagai negara.[7]
Akibat masuknya kebejatan moral dan kebudayaan yang ganjil ini, sistem sosial di Kota Makkah pun runtuh hingga ke titik nadir. Tidak ada lagi penghormatan ataupun pemuliaan terhadap kaum perempuan. Para istri, kecuali ibu kandung, yang ditinggal mati suaminya, menjadi hak properti anak laki-lakinya. Bahkan sebagaimana juga Alquran merekamnya, di antara mereka ada kebiasaan membunuh bayi perempuan dengan cara menguburnya hidup-hidup (Qs. At-Takwir: 8-9). Tradisi ini bahkan terus berlangsung hingga masa kerasulan Muhammad Saw.[8]
Bila kita bertanya, dimanakah peran nilai-nilai agama samawi seperti Yahudi dan Kristen di tanah Arab pada masa itu? Syed Ameer Ali mengatakan, bahwa peran mereka nyaris tak terdengar. Selama berabad-abad lamanya kedua agama itu sudah berusaha menembus kebudayaan jahiliyah yang mengakar Kota Makkah, tapi hasilnya sangat minim, kalau tidak dikatakan nihil.[9]
Orang-orang Yahudi yang membawa serta semangat perpecahan dalam agama mereka, justru pada akhirnya ikut memanfaatkan situasi kerusakan di Kota Makkah demi mengakumulasi kapital mereka sendiri. Di Madinah, di tempat yang bernama Khaibar, mereka mendirikan kawasan ekslusif yang dibentengi dinding-dinding kokoh. Sedang orang-orang Kristen, hanya bisa membangun koloni kecil dengan sedikit pengikutnya.
Demikian juga dengan agama-agama lain seperti Magisme dan Sabaeisme, mereka hanya memiliki sidikit pengikut di kalangan orang Arab. Dewa-dewa mereka tidak bisa menggantikan berhala Kaum Quraisy yang berjejer banyak di sekitar Kabah.
Kaum Quraisy lebih memilih tradisinya sendiri yang memuja tiga Dewi Bulan bernama: Al-Lat (bulan yang cemerlang), Al-Manat (kegelapan), dan Al-Uzza (persatuan keduanya). Ketiganya mereka anggap sebagai putri dewa tertinggi (Banatullah). Alih-alih terpengaruh oleh ajaran-ajaran agama samawi dan agama-agama pagan lainnya, Kota Makkah justru menjadi pusat penyembahan berhala yang luas berpengaruh ke kawasan sekitarnya.[10]
Suku-suku lain di Semananjung Arabia seperti Kaum Kinana yang letaknya satu setengah hari perjalanan dari Makkah menyembah Bintang Aldobaran dan Dewi Uzza yang dilambangkan dengan sebuah pohon di satu tempat bersama Nakhla. Kaum Hawazin, yang mengembara ke arah tenggara Makkah menyembah dewi kesayangan mereka yang bernama Dewi Lat yang berada di dekat Tayef. Demikian juga dengan Al-Manat, banyak ditemukan berjejer di sejumlah perkampung yang ada di sepanjang jalan yang dilalui Kaum Quraisy dalam perjalanan dagang ke Suriah. Dengan kata lain, aktifitas amoral dan kegelapan spiritual yang terjadi di Kota Makkah malah menginsipirasi kawasan-kawasan lain di sekitarnya untuk juga membangun kebudayan jahiliyah yang sama.[11]
Sir William Muir, salah satu orientalis asal Skotlandia, memaparkan:
“Setelah lima abad penyebaran agama Kristen, kita hanya bisa menunjukkan sedikit pengikut Kristen di sana-sini. Mereka itu adalah Banu Harit di Najran, Bani Hanifa di Yamama, beberapa orang Bani Tay di Tayma, dan hampir tidak ada lagi selain mereka. Agama Yahudi yang lebih kuat telah menunjukan upaya pemurtadan yang tak terarah di bawah Zu Nawas; tapi sebagai sarana pemurtadan yang aktif agama Yahudi tak lagi berpengaruh. Singkatnya dari sudut pandang agama, Arabia sekali-kali terpengaruh sedikit oleh upaya-upaya kecil penyebaran agama Kristen. Sementara pengaruh agama Yahudi yang lebih besar terkadang tampak dalam arus yang lebih dalam dan bergejolak. Gelombang pasang berhala pribumi dan tahayul kaum Ismailiyah – yang datang dari segala penjuru dengan gelombang yang terus menerus dan tak pernah reda ke arah Kabah – memberi cukup banyak bukti bahwa keyakinan dan ibadah di Makkah menguasai pikiran bangsa Arab dengan kuat dan tak terbantahkan.”[12] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam or The Life and Teachings of Mohammed, (Calcutta: S.K. Lahiri & Co, 1902), hal. 5
[2] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume One, Riyadh, Darussalam, 2000, hal. 66
[3] Ibid, hal. 62
[4] Ibid
[5] Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit
[6] Ibid, hal. liv
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid, hal. lv
[10] Ibid
[11] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 69
[12] Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit, hal. lvi