Sebelum abad 15, Islam dihayati di Nusantara tanpa tendensi politis dan bukan sebagai identitas kelompok. Islam hanya dikenal sebagai sebuah nilai yang mengajarkan akhlak mulia. Ini sebabnya dia demikian mudah melebur ke dalam relung kebudayaan masyarakat. Tapi sejak era kolonial, warna kultural yang laten ini mencuat kepermukaan menjadi identitas politik, dan mengkonstruksi wajah baru Nusantara.
Sejak berhasil menguasai Malaka, Portugis mulai membangun pertahanan yang kokoh untuk mengantisipasi setiap serangan balasan dari orang-orang Melayu dan Nusantara secara umum. Afonso de Albuquerque tinggal di Malaka sampai akhir tahun 1511. Dia memerintahkan agar anak buahnya segera mencari pulau rempah-rempah yang terkenal itu. Dan sebagaimana sejarah mencatat, Bangsa Portugis memang berhasil mencapai Maluku dan menjadi Bangsa Eropa pertama yang memetik rempah-rempah bermutu tinggi tersebut langsung dari tempat asalnya.[1]
Tapi tidak demikian dengan mimpi mereka tentang Malaka. Pelabuhan internasional yang luar biasa ini ternyata menjadi kutukan di tangan Bangsa Portugis. Meski menguasai pelabuhan Malaka, tapi hingga berakhir kekuasaan di sana tahun 1641,[2] Portugis tak kunjung menguasai jaringan perdagangan di Asia. Alih-alih, sejak berkuasa di Malaka, serangan demi serangan seperti tanpa jedah mengganggu pertahanan mereka. Selain mendapat serangan dari Kesultanan Johor yang merupakan wangsa Malaka, serangan juga datang dari selatan, yaitu Demak di Jawa dan juga dari Kesultanan Aceh di utara Sumatera.[3]
Seperti satu tubuh, ketika yang satu sakit, maka yang lain akan ikut merasakan. Tak lama setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, pada tahun 1512 bala tentara dari seluruh wilayah Nusantara yang dipimpin oleh sosok bernama Adipati Unus menyerang Malaka secara bergelombang tanpa henti. Meskipun pada akhirnya serangan demi serangan yang mereka lancarkan berhasil dipatahkan Portugis.[4] Namun di sisi lain, fenomena ini menyadarkan bangsa dari rezim kontinental itu, bahwa ternyata gugusan pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan ini adalah satu kesatuan identitas yang tidak bisa dipisahkan. Tidak ada perjanjian ataupun pakta pertahanan di antara kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara ini. Tapi ketika satu di antara mereka di ganggu, maka yang lain akan bersikap membela.
Di tempat yang lain, kelompok-kelompok masyarakat di ujung pulau Sumatera yang dipimpin oleh para alim ulama setempat langsung menggalang kekuatan perlawanan. Pada tahun 1514, kekuatan ini berkembang menjadi identitas politik yang kemudian dikenal sebagai Kesultanan “Aceh Besar”, dengan sultannya yang pertama bernama Ali bin Sultan Syamsu Syah dengan gelar Sultan Ali Mughayat Syah. Setelah serangan Adipati Unus dari Jawa bisa dikalahkan, kesultanan inilah yang memberikan perlawanan selanjutnya kepada Portugis.[5]
R. Michael Feener dalam salah satu jurnalnya berjudul, “Islam in Southeast Asia to c.1800,” menyebutkan bahwa keberadaan Portugis di Malaka dalam periode selanjutnya membangkitkan Islam kultur yang ada di sepanjang gugusan kepulauan Nusantara menjadi identitas politik yang utuh.[6]
Sebelumnya, Islam di Nusantara dihayati sebagai sebuah nilai dan ajaran tanpa tendensi politis apapun. Agama ini lebih dikenal sebagai ajaran nilai yang mewujud sebagai akhlak yang mulia, ketimbang identitas kelompok tertentu. Sehingga ia mudah dan bebas di terima siapapun. Besar kemungkinan ini terjadi disebabkan kentalnya corak Tariqah Alawiyah[7] yang dibawa para ulama Hadramawut ke Nusantara sebelum abad ke 14 M. Seperti sebuah trend etika, nilai-nilai agama ini menyatu secara alamiah dangan kebudayaan setempat, bahkan bisa diterima oleh banyak aliran dan dihayati secara bersamaan dengan kebudayaan nenek moyang mereka.[8]
Sedemikian sehingga, menurut R. Michael Feener, para peneliti saat ini tidak menilai hubungan Islam dengan masyarakat Nusantara sebelum abad 14 masehi sebagai “Islam” dalam arti secara definitif pindah agama menjadi Islam (coversion). Tapi lebih tepat disebut melekat (adhesion) atau larut dengan identitas kultural masyarakat. Menariknya, meski masyarakat Nusantara tidak menganut Islam secara definitif seperti sekarang, tapi nilai-nilai Islam – secara masif dan dalam skala yang sangat luas – sudah berhasil mengubah secara subtansial perilaku kehidupan masyarakat di Nusantara. Beberapa indikator misalnya, umumnya masyarakat Nusantara sebelum abad ke 14 M sudah bersunat dan pola makan mereka sudah tidak lagi mengkonsumsi daging babi. [9]
Tapi setelah peristiwa penaklukan Portugis atas Malaka, identitas kultural yang laten ini kemudian mencuat kepermukaan menjadi identitas politik. M.C. Ricklefs menyebutkan di pulau Jawa, Sulawesi dan Sumatera, muncul beberapa kesultanan yang mengusung jargon keIslaman pasca penaklukan Malaka.[10] Pada abad-abad selanjutnya, mungkin dilatari akan kebutuhan untuk melawan determinasi kolonialisme Bangsa Eropa, dan juga semangat Pan-Islamisme yang meluas hingga ke Nusantara, identitas Islam pun menjadi sesuatu yang definitif diberlakukan. Islam di Nusantara pun kemudian berubah menjadi identitas kolektif, dan sampai tahap tertentu menjadi gerakan politik identitas.
Maka demikianlah, setelah mencapai keberhasilan selama lebih dari seabad, Malaka mendadak berubah mejadi sebuah nama yang masa lalunya membanggakan namun masa depannya tidak begitu berarti. Sebagaimana dikatakan oleh , M.C. Ricklefs, “Bagaimanapun juga, orang-orang Portugis telah melakukan sesuatu yang mempunyai dampak kekal; mereka pada dasarnya telah mengacaukan secara mendasar organisasi sistem perdagangan Asia. Tidak ada lagi satu pelabuhan pusat dimana kekayaan Asia dapat saling dipertukarkan; tidak ada lagi suatu negara Malaya untuk menjaga ketertiban Selat Malaka dan membuatnya aman bagi lalu lintas perdagangan.”[11]
Lebih jauh, keruntuhan Kesultanan Malaka tidak hanya mengubah sistem perdagangan dan ekonomi di Asia, tapi juga seluruh peradabannya. Bila di masa lalu, Malaka menjadi mata air peradaban, yang darinya mengalir segala jenis komiditi, ilmu dan agama yang memajukan kebudayan di seluruh wilayah Nusantara, dan Asia. Tapi segera setelah runtuhnya Kesultanan Malaka, masyarakat Nusantara dan bangsa Asia secara umum, memasuki era paling mencekam dalam ribuan tahun eksistensinya, yaitu kolonialisme bangsa Eropa. (AL)
Selesai…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1991, hal. 35
[2] Pada tahun 1641, Malaka berhasil ditaklukkan kembali setelah terjadi persekutuan antara VOC dengan Kesultanan Johor untuk menyerang Portugis. Lihat, Ibid, hal. 48
[3] Lihat, Prof. Dr. Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerjaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LkiS, 2005, hal. 214
[4] Ibid, hal. 215
[5] Lihat, Prof. Madya DR. Wan Hussein Azmi, Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI, dalam Prof. A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Medan, PT. Al Ma’arif, 1993, Hal. 214-215
[6] Lihat, R. Michael Feener, Islam in Southeast Asia to c. 1800, Oxford Research Encyclopedia of Asian History, Subject: Religion, Southeast Asia, Middle Period Southeast Asia, c. 1300-c. 1800, Online Publication Date: Mar 2019, DOI: 10.1093/acrefore/9780190277727.013.40
[7] Menurut Musa Kazhim, Thariqah Alawiyah, adalah suatu bentuk cara beragama yang berorientasi tasawuf. Namun, tak seperti thariqah pada umumnya, Thariqah Alawiyah bukanlah suatu orde sufi (tarekat). Meski tak bisa lepas dari dasar-dasar teoretis pemikiran kesufian, Thariqah Alawiyah bisa dikelompokkan ke dalam apa yang biasa disebut sebagai tasawuf akhlaki. Dengan kata lain, ketimbang mempromosikan pemikiran-pemikiran teoretis dan spekulatif—yang biasanya hanya dibatasi pada sekelompok elite ulamanya (khawwash) di kalangan mereka—thariqah ini lebih menganjurkan pada berbagai praktik mujahadah dan riyadhah untuk mengembangkan keadaan-keadaan spiritual tertentu yang melahirkan akhlak yang baik. Lihat, Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah ‘Alawiyin dan Perannya Dalam Dakwah Damai Di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan”, dalam Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hal. 6
[8] Lihat, R. Michael Feener, Op Cit
[9] Ibid
[10] Lihat, M.C. Ricklefs, Op Cit, hal. 34
[11] Ibid a