Pada akhir Juli 1511, Pelabuhan Malaka menjadi lautan api. Sultan Mahmud hanya bisa terdiam menyaksikan semua kemasyhuran leluhurnya menjadi sasaran empuk yang tak berdaya. Kapal-kapal armada laut Malaka yang dulu sangat disegani di dunia, satu persatu tenggelam di tepi pantai, tanpa sempat melawan sekalipun.
Pada tanggal 25 Juli 1511, suasana di pelabuhan Malaka berlangsung seperti biasa. Aktifitas masyarakat berlangsung seperti biasa. Kapal-kapal nelayan dan pelancong pun tetap lalu lalang seperti biasa. Meski di ufuk terlihat sekitar 17 kapal perang Portugis masih mengapung di perairan Selat Malaka, sultan dan aparaturnya tidak melihat itu sebagai sebuah ancaman. Dalam bayangan Sultan Mansyur Syah waktu itu, orang-orang Portugis tersebut sudah putus asa. Karena berkali-kali mereka mengultimatum untuk membebaskan tawanan Portugis yang ditangkap beberapa bulan sebelumnya, ultimatum itu ditanggapi dingin oleh sultan. Kini, mereka mereka kehabisan cara, dan sedang menunggu angin timur untuk kembali ke Goa.[1]
Tapi sejenak kemudian, sesuatu yang janggal terjadi. Tiba-tiba semua kapal Portugis tersebut bergerak, lalu bersama-sama mendekat ke pelabuhan dan membentuk sebuah formasi. Moncong-moncong meriam yang ada di setiap kapal berderak, mengarah ke pelabuhan Malaka. Lalu dengan sedikit aba-aba, suara dentuman pun bersahutan dari setiap kapal. Meriam-meriam dari kapal Portugis itu dengan ganas memuntahkan biji-biji besi sebesar buah kelapa ke arah pelabuhan. Dalam waktu singkat pelabuhan yang terkenal di seantero dunia itupun terbakar. Peluru-peluru meriam itu menerjang semua yang ada, mulai dari kapal, rumah penduduk, hingga benteng kota. Tersadarlah Sultan Mahmud Syah, bahwa semua anggapannya selama ini salah.[2]
Dengan tergopoh-gopoh dia memerintahkan anak buahnya agar segera mengatur barisan. Mereka menyiapkan serangan balasan. Tapi meriam-meriam mereka ternyata bukan tandingan meriam Portugis yang sudah disempurnakan sedemikian rupa. Meriam Portugis memiliki daya jangkau yang sangat jauh. Sedang meriam Malaka minim inovasi, tidak sebanding dengan sistem persenjataan yang dimiliki Portugis.[3] Sehingga tak satupun peluru meriam Malaka bisa menjangkau kapal Portugis yang mengapung di tengah lautan.
Singkat kata, Malaka pada hari itu menjadi lautan api. Sultan Mahmud hanya bisa terdiam menyaksikan semua kemasyhuran leluhurnya menjadi sasaran empuk yang tak berdaya. Kapal-kapal armada laut Malaka yang dulu sangat ditakuti dunia, satu persatu tenggelam di tepi pantai, tanpa sempat melawan sekalipun. Dan ketika malam menyapu senja, serangan-serangan itupun tiba-tiba berhenti.[4]
Afonso de Albuquerque menarik pasukannya hingga titik tertentu. Mereka kembali diam di lautan sambil menunggu saat yang tepat untuk melancarkan serangan kedua. Dan setelah beberapa waktu berlalu, serangan kedua pun dilancarkan kembali. Kali ini, Malaka sudah jauh lebih siap. Tapi kekuatan mereka sudah compang camping. Maka dengan sisa kekuatan yang ada, mereka berusaha menahan serangan Portugis.[5]
Di sisi lain, Portugis sudah jauh lebih siap lagi. Serangan mereka yang pertama, ternyata hanya sebuah uji lapangan untuk mengukur kemampuan lawan dan mencari titik lemah mereka. Setelah menyempurnakan strategi, kali ini mereka menyerang dengan lebih meyakinkan. Dalam waktu singkat, pasukan Portugis sudah berhasil merebut pantai, lalu merangsek masuk ke dalam kota. Sultan Mahmud Syah dan pasukannya mencoba bertahan sebisanya di dalam benteng kota. Tapi dengan kekuatan yang tersisa, mereka kalah. Sehingga terpaksa harus mundur dan lari meninggalkan Kota Malaka.
Dengan takluknya pelabuhan Malaka, bersama itu pula runtuhlah Kesultanan Malaka yang sudah berdiri selama lebih dari satu abad itu. Sejak hari itu, Malaka sepenuhnya di bawah kendali Portugis. Sultan Mahmud Syah sempat beberapa kali berusaha merebut kembali pelabuhan Malaka, tapi berkali-kali itu pula serangannya dapat dipatahkan. Selama bertahun-tahun, Mahmud Syah berlari dari satu daerah ke daerah lain. Hingga pada tahun 1518, dia menemukan tempat untuk berlabuh, dan menegakkan kembali garis keturunan wangsa Malaka di Johor (Malaysia).[6]
Pada masa selanjutnya, konflik antara Portugis di Malaka dengan Kesultanan Johor terus berlangsung. Tercatat hampir setiap tahun sejak berdirinya Johor, Portugis melancarkan serangan ke Johor, di antaranya tahun: 1518, 1520, 1521, 1523, 1524, 1526, 1535, 1536, dan 1537. Adapun pertempuran paling penting artinya bagi sejarah Semanjung Malaya kemungkinan besar adalah serangan Portugis ke Johor pada tahun 1536. Ketika itu Johor yang diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah I, kehilangan begitu banyak prajuritnya. Kondisi ini akhirnya memaksa sultan untuk menandatangani perjanjian damai. Selang sekitar satu abad kemudian, atau pada tahun 1641, Malaka berhasil ditaklukkan kembali setelah terjadi persekutuan antara VOC dengan Kesultanan Johor untuk menyerang Portugis.[7] Tapi Malaka tidak pernah lagi bisa mengulang era kejayaannya. (AL)
Bersambung:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Prof. Dr. Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerjaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LkiS, 2005, hal. 211
[2] Ibid
[3] Lihat, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1991, hal. 33.
[4] Lihat, Prof. Dr. Slamet Mulyana, Op Cit
[5] Ibid, hal. 212
[6] Lihat, M.C. Ricklefs, Op Cit, hal. 47
[7] Ibid, hal. 47-48