Kesultanan Malaka (13): Mahmud Syah dan Era Kolonialisme Bangsa Eropa (5)

in Sejarah

Last updated on March 30th, 2019 09:08 am

Sejak wafatnya Tun Perak, Kesultanan Malaka mengalami kemerosotan yang parah. Konflik internal terjadi dan mis-management pemerintahan berlangsung terus menerus. Dalam kondisi seperti ini, mereka harus menghadapi Portugis yang pada masa itu adalah armada laut terkuat di muka bumi.

Gambar ilustrasi. Sumber: mbojoklopedia.com

Pada tahun 1498, Kesultanan Malaka berkabung. Tun Perak, yang selama lebih dari 50 tahun menjabat sebagai Bendahara negara, wafat. Dia sudah mengabdi sejak masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah, Mansyur Syah, Alauddin Ri’ayat Syah, hingga Mahmud Syah. Banyak sejarawan menilai, bahwa masa kejayaan Malaka tidak bisa dilepaskan dari peran Tun Perak.[1]

Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi terdahulu, bahwa sejak menjabat sebagai Bendahara negara, posisi Tun Perak nyaris tak tergantikan. Dia demikin berpengaruh, sampai-sampai dia yang menentukan siapa yang akan diangkat sebagai putra mahkota dan juga sultan selanjutnya. Akan tetapi, dia tak sekalipun merebut kekuasaan untuk dirinya. Meski dia orang yang sangat ambisius. Tapi semua itu dia lakukan tidak lain demi kepentingan Kesultanan Malaka.

Ketika Tun Perak Wafat, Sultan Mahmud Syah masih tergolong remaja, atau sekitar 21 tahun. Dia naik tahta pada tahun 1488, di usia 11 tahun. Sejak awal pemerintahannya, Mahmud Syah sangat bergantung pada nasehat-nasehat Tun Perak. Dan Tun Perak memang sengaja membiarkan para sultan yang diangkatnya tidak mengetahui lebih jauh urusan pemerintahan yang kompleks, agar dia bisa tetap leluasa mengatur jalannya pemerintahan. Dengan cara inilah dia selama puluhan tahun berhasil mempertahankan jabatannya sebagai Bendahara negara (setingkat Perdana Menteri).[2]

Maka ketika Tun Perak wafat, Mahmud Syah belum memiliki kecakapan yang cukup memadai untuk memerintah Kesultanan Malaka yang demikian canggih pada masanya. Karena Kesultanan Malaka tidak hanya mengurusi masalah pemerintahan biasa. Tapi juga harus melayani sistem perdagangan global yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Malaka. Untuk mengendalikan sistem yang kompleks ini, dibutuhkan kecakapan yang tinggi, baik di bidang politik, ekonomi, dan militer. Sayangnya, Kesultanan Makala tidak memilki orang dengan kompetensi tersebut. Maka tidak berlebihan bila dikatakan, wafatnya Tun Perak menandai dimulainya era kemunduran Kesultanan Malaka.[3]

Ironisnya lagi, sejumlah kekuatan politik di sekitar Mahmud Syah malah berebut posisi sebagai Bendahara negara. perebutan ini mengakibatkan keguncangan yang hebat dalam tubuh Kesultanan Malaka. Pada awalnya, sosok yang menggantikan Tun Perak adalah Tun Mutahir dari golongan Tamil. Tapi kedudukannya tidak disukai oleh kelompok Melayu, yang menginginkan kedudukan tersebut diisi oleh anak keturunan Tun Perak. Dalam kondisi dilematis seperti ini, akhirnya Sultan Mahmud Syah lebih memihak pada kelompok Melayu. Salah satu yang membuatnya berpihak, adalah sikap Tun Mutahir sendiri yang sejak awal menggantikan Tun Perak, memperlakukan sultan layaknya boneka. Sehingga Sultan Mahmud Syah tidak bisa bergerak leluasa.[4]

Kesempatan untuk menyingkirkan Tun Mutahir didapat ketika Diogo Lopez de Sequeira, yang merupakan utusan Afonso de Albuquerque, berhasil menyusup dan mendirikan kantor dagang di Malaka. Dan ketika belakangan diketahui bahwa Sequeira berniat buruk di Malaka, Sultan Mahmaud Syah menyalahkan Tun Mutahir karena dinilai tidak becus menilai seorang diplomat. Dia dituduh pengkhianat, dan akhirnya dijatuhi hukuman mati.[5]  

Setelah kematian Tun Mutahir, kedudukan sebagai Bendahara negara kemudian diserahkan kepada putra Tun Perak yang bernama Paduka Raja. Besar harapan sultan dan juga masyarakat Melayu pada Paduka Raja. Dia adalah sosok yang diharapkan bisa melanjutkan masa kejayaan Malaka. Hanya saja, mereka lupa, walau bagaimana pun Paduka Raja bukanlah Tun Perak. Dia dibesarkan di bawah asuhan kemewahan dan pengaruh ayahnya yang luar biasa. Sehingga dia tidak pernah mencicipi lebih banyak asam garam kehidupan.[6] Dan sialnya, sebentar lagi dia harus berhadapan secara langsung dengan Afonso de Albuquerque, seorang panglima armada luat terkuat di Eropa.

Maka demikianlah, ketika pada tahun 1511 Albuquerque bersama armada perangnya mulai memasuki Selat Malaka, Kesultanan Malaka sudah tidak sama seperti sebelumnya. Kesultanan Malaka sedang dirundung perpecahan. Komunitas internasional yang menjadi kekuatan inti di Malaka, sekarang justru diurus dengan cara yang salah. Kesultanan menetapkan pajak yang sangat tinggi kepada mereka. Sehingga banyak pedagang yang mulai mempertimbangkan untuk mencari pelabuhan lain dan pasar baru yang lebih menguntungkan. Kesultanan Malaka seperti lupa, bahwa kepercayaan dan kesetiaan komunitas internasional kepada mereka, adalah kunci kejayaan mereka.[7]

Pada bulan Juli 1511, armada perang Portugis sudah memasukin perairan Malaka. Meski Albuquerque mendapat masukan dari anak buahnya agar segera lakukan serangan mendadak, tapi dia memiliki pemikiran lain. Dia mengirim dulu ultimatum kepada Sultan Mahmud Syah, yang isinya meminta agar para tawanan yang di sandera segera di bebaskan. Tuntutan ini kemudian ditanggapi dingin oleh Sultan Mahmud.[8]

Tak lama kemudian, Albuquerque menunjukkan keseriusannya dengan membakar sejumlah kapal orang-orang Gujarat yang sedang berlabuh di Malaka. Tapi lagi-lagi, Sultan Mahmud tak bergeming. Dia mengira bahwa aksi pembakaran itu hanyalah ekspresi kemarahan orang-orang Portugis pada orang Gujarat karena telah menginformasikan sepak terjang orang Portugis di India yang mengakibatkan diusirnya duta kerajaan Portugis, Diogo Lopez de Sequeira dari Malaka.[9]

Pada awalnya, perkiraan Sultan Mahmud ini tampak benar. Karena setelah itu, armada perang Portugis hanya  diam di perairan dan tidak ada lagi ultimatum dari Portugis kepada Malaka. Sultan mengira mereka hanya sedang menunggu angin timur, lalu setelah itu mereka akan segera kembali ke Goa.[10] Tapi Sultan Mahmud Syah lupa, bahwa Albuquerque adalah seorang ahli siasat yang terkenal di Eropa. Dan baru saja dia menaklukkan Goa yang dikuasai oleh tentara Dinasti Utsmani yang merupakan adidaya di muka bumi kala itu. Dugaannya yang menyederhanakan tabiat musuh seperti ini, akan berdampak sangat fatal di kemudian hari. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Prof. Dr. Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerjaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LkiS, 2005, hal. 150

[2] Ibid

[3] Ibid, hal. 208

[4] Ibid, hal. 209

[5] Menurut catatan M.C. Ricklefs konflik internal kerajaan terjadi antara Sultan Mahmud Syah dengan putranya yang bernama Sultan Ahmad. Dia dipercaya oleh oleh Mahmud Syah untuk mengelola negara dan kekuasaan. Tapi yang terjadi justru pertikaian sengit antara ayah dan anak. Alhasil, ketika konflik ini sudah mencapai puncaknya, Sultan Mansyur Syah memerintahkan agar putranya di hukum mati. Lihat, M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1991, hal. 33. Tapi bila ditinjau secara kritis, agaknya sulit menerima konflik internal itu terjadi antara Sultan dengan putranya, mengingat pada tahun 1511, usia sultan sendiri masih sekitar 24 tahun.

[6] Lihat, Prof. Dr. Slamet Mulyana, Op Cit

[7] Ibid, hal. 210

[8] Ibid

[9] Ibid

[10] Ibid, hal. 211 5

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*