Kiai Marogan, Ulama Kharismatik Palembang (1)

in Islam Nusantara

Last updated on December 16th, 2017 05:18 am

“Kemudian ditebaslah buah kelapa tersebut, dari dalam muncul seekor ikan yang menggelepar. Kisah karomah Ki Marogan begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Palembang di sekitar Sungai Musi. Namun di balik itu, sesungguhnya Ki Marogan adalah seorang ulama besar yang begitu berjasa bagi penyebaran dan syi’ar Islam di Palembang.”

–O–

Masjid Muara Ogan, masjid yang didirikan oleh Kiai Marogan, terletak di pertemuan antara Muara Ogan dengan Sungai Musi, Palembang. Photo: Panji Haryadi/Gana Islamika

Suatu hari, ketika Indonesia masih di bawah pendudukan Belanda, waktu itu hari Jum’at, pagi menjelang siang seorang Kiai pergi berperahu melalui Sungai Tengkuruk.[1] Rupanya sang Kiai berangkat dari kediamannya di sekitar Muara Ogan hendak pergi melaksanakan shalat Jum’at di Masjid Agung Palembang. Ketika sudah hampir sampai di Masjid, Tuan Besak (Tuan Besar—bahasa Palembang) memanggil kiai dari rumahnya yang megah.[2]

Apo gerangan Tuan memanggil hamba?” Ujar Kiai. Tuan Besak menjawab, “Ada kau pernah bilang ‘di mana ada air pasti ada kehidupan’, benar?” Kiai mengangguk. “Kalau begitu apakah ada kehidupan di pohon kelapa itu Tuan Kiai?” Tanya Tuan Besak sambil menunjuk buah kelapa yang ada di pohon kelapa itu. “Bahwa dengan irodat dan kehendak-Nya, segala sesuatu di muka bumi ini bisa saja terjadi,” jawab kiai.[3]

Kemudian Tuan Besak menyuruh bawahannya untuk mengambil buah kelapa tersebut. “Jika benar di dalam kelapa ini ada kehidupan semacam ikan, Tuan Kiai dan seluruh keluarga akan dimuliakan tidak saja oleh Pemerintah Belanda akan tetapi seluruh anak negeri akan turut memuji Tuan. Jika tidak terbukti Tuan Kiai harus angkat kaki dari bumi Palembang ini,” lanjutnya. “Insya Allah, berkat Rabbul Izzati, buah kelapa yang tidak berdaya ini akan ada kehidupan,” jawab Kiai.[4]

Lalu Kiai mempersilahkan kelapa itu untuk ditebas. Maka demi dilihatnya dari dalam kelapa tersebut muncul ikan Seluang yang menggelepar, Tuan Besak dan bawahannya terkaget-kaget. “Wah, hebat sekali ilmu sihir Tuan, tolong ajari saya!” Kata Tuan Besak. Kiai hanya tersenyum dan menjelaskan dia bukan tukang sihir. Dia hanya mengamalkan beberapa ayat suci di dalam Al-Quran.[5]

Demikianlah sepenggal kisah yang terjadi di antara Kiai Masagus Haji Abdul Hamid dengan Tuan Residen Belanda pada waktu itu.[6] Apabila berkunjung ke Palembang, kisah ini begitu masyur di masyarakat yang tinggal di sekitaran Sungai Musi. Masyarakat setempat memanggil sang Kiai dengan sebutan Ki Marogan, yaitu sebuah singkatan dari Kiai Muara Ogan.

Ki Marogan hidup pada tahun 1811 sampai dengan tahun 1901, pada saat itu Indonesia masih dijajah Belanda. Semasa hidupnya, Ki Marogan dikenal sebagai ulama yang berjasa terhadap penyebaran dan dakwah Islam di sekitar Palembang. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai sosok yang mencintai masyarakat kecil. Ki Marogan yang juga pengusaha di bidang perkayuan, aktif menderma dan memberi pengobatan bagi masyarakat miskin.[7]

Karena begitu banyaknya kisah “keajaiban” yang dimiliki Ki Marogan, atau orang biasa menyebutnya dengan “karomah”, maka banyak masyarakat yang beranggapan bahwa Ki Marogan adalah seorang Wali Allah. Abah Zen Syukri, seorang ulama kharismatik Palembang lulusan pesantren Tebu Ireng pernah memberikan testimoni mengenai Ki Marogan, “kelebihan Kiai Marogan, apabila wong datang minta doaken terkabul tulah, ucapan insya Allahnya kantep. Karena Kiai Marogan itu sudah masuk dalam majelis Allah, beliau tidak binasa, tetap hidup.”[8]

Nama lengkap Ki Marogan adalah Masagus Haji Abdul Hamid bin Masagus Mahmud. Ki Marogan lahir di Kampung Karang Berahi (kini Kulurahan Kertapati) pada tahun 1811 dari orang tuanya yang bernama Masagus Mahmud alis Cek Kanang dengan Verawati. Ibunya, yang bernama Verawati, adalah seorang wanita China. Cek Kanang adalah seorang pengusaha yang juga seorang ulama. Dia masih keturunan dari raja-raja di Palembang.[9] Apabila diurut lebih jauh lagi, nasab-nya masih tersambung dengan Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan Alawiyin, Hadhramaut, Yaman.[10]

Masagus Haji Abdul Hamid bin Masagus Mahmud lebih terkenal di masyarakat dengan sebutan Ki Marogan karena semasa hidupnya beliau lahir, tinggal, dan meninggal di sekitar wilayah Muara Ogan. Oleh karena itu beliau dipanggil dengan sebutan Kiai Muara Ogan. Namun tampaknya panggilan tersebut oleh masyarakat masih dianggap terlalu panjang, jadilah disingkat lagi menjadi Ki Marogan. Nama Kiai Merogan sekarang di Palembang diabadikan menjadi sebuah jalan yang terletak dari Simpang Empat jembatan Sungai Kertapati 1 Ulu sampai ke arah Simpang Empat Kemang Agung arah jembatan Musi II.[11] (PH)

Bersambung ke:

Kiai Marogan, Ulama Kharismatik Palembang (2): Masjid Kembar

Catatan Kaki:

[1] Di masa kini Sungai Tengkuruk sudah tidak ada, diurug dan berubah menjadi jalan, yaitu Jalan Tengkuruk Permai.

[2] Rumah tersebut sekarang telah dialihfungsikan menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Memet Ahmad, Buku Sejarah Masagus Haji Abdul Hamid (Kiai Merogan), (Palembang: Dinas Kebudayaan &Pariwisata Palembang, tanpa tahun terbit), hlm 12.

[3] Memet Ahmad Ibid., hlm 13, dan Masagus A. Fauzan dan Ulya Kencana, Manaqib Kiai Marogan, (Palembang: Rumah Tahfiz Ki Marogan, 2017), hlm 104.

[4] Memet Ahmad Ibid., hlm 13

[5] Ibid.

[6] Tidak ada informasi siapa nama Residen Belanda yang dimaksud, namun apabila melihat catatan sejarah, pada tahun 1823, Belanda mendirikan rumah tersebut untuk ditempati oleh Komisaris Kerajaan Belanda di Palembang yang bernama J.L Van Seven Hoven. Lihat Asti, “Museum Sultan Mahmud Badaruddin II-Wisata Sejarah di Kota Palembang”, dari laman http://www.pergiberwisata.com/museum-sultan-mahmud-badaruddin-ii/, diakses 12 Desember 2017.

[7] Memet Ahmad, Ibid., hlm 4-5.

[8] Masagus A. Fauzan dan Ulya Kencana, Ibid., hlm iii.

[9] Memet Ahmad, Ibid., hlm 1.

[10] Ibid., hlm 20. Lebih lengkap tentang Peradaban  keturunan Nabi Muhammad di Hadhramaut, Yaman, lihat: https://ganaislamika.com/melacak-asal-usul-habib-di-indonesia-1-siapakah-habib/, diakses 12 Desember 2017.

[11] Masagus A. Fauzan dan Ulya Kencana, Ibid., hlm 12.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*