Kisah Bilal bin Rabah (5): Hari Kebebasan

in Tokoh

Last updated on February 22nd, 2018 01:53 pm

“Bawahlah dia! Demi Lata dan ‘Uzza, seandainya harga tebusannya tak lebih dari satu ugia, pastilah dia akan kulepas juga,”

–O–

Segala acara dilakukan oleh Umayyah bin Khalaf untuk membuat Bilal meninggalkan agama Islam dan kembali ke agama penyembah berhala. Meskipun itu hanya sekedar di bibir Bilal saja Umayyah tidak peduli, yang paling penting adalah menyelamatkan mukanya dari cibiran Quraisy lainnya karena mempunyai seorang budak yang beragama Islam dan tidak menurut terhadap perintah tuannya untuk menyembah Lata dan ‘Uzza.

Setelah disiksa dengan ditindih batu panas, dibujuk, diarak keliling kota, dan dipukul, Bilal tidak juga bergeming, dia masih saja berkata, “Ahad… Ahad….” Hingga akhirnya Umayyah menyusun skenario, disuruhnyalah beberapa orang dari Bani Jumah untuk menemui Bilal. Mereka berpura-pura seolah-olah menaruh kasihan terhadap Bilal. Kemudian mereka berkata, “Biarkanlah dia wahai Umayyah! Demi Lata dan ‘Uzza! Mulai saat ini dia takkan disiksa lagi! Bilal ini anak buah kami, bukankah ibunya sahaya kami? Nah, dia takkan rela bila dengan keislamannya itu nama kami menjadi ejekan dan cemoohan bangsa Quraisy.”[1]

Bilal mengetahui bahwa itu semua sekedar tipu muslihat, dia marah dan membelalakkan matanya menantang mereka semua. Namun dia segera tersadar, maka dibuanglah segala kemarahan dan ketegangannya, kemudian dia menyunggingkan sebuah senyuman. Dan dengan ketenangan yang teramat sangat, dia kembali berkata, “Ahad… Ahad….”.[2]

Keesokan harinya, di tengah hari Bilal kembali digelandang menuju padang pasir untuk menerima hukuman yang sama dengan hari kemarin, ditelanjangi kemudian ditindih dengan batu panas. Namun Bilal tetap sabar, tenang, dan tidak tergoyahkan. Sementara dia disiksa, datanglah Abu Bakar as-Shiddiq, dia berseru, “apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki karena mengatakan bahwa Tuhanku ialah Allah?” Kemudian dia berkata kepada Umayyah, “terimalah ini untuk tebusannya, lebih tinggi dari harganya, dan bebaskan dia!”[3]

Mendengar itu Umayyah malah merasa lega dan beruntung, karena dia sudah mulai putus asa dapat menundukkan Bilal. Apalagi Umayyah adalah seorang saudagar, dia melihat peluang keuntungan di sana, ketimbang membunuhnya, lebih baik dia menjualnya karena akan mendatangkan uang. Umayyah setuju dengan penawaran Abu Bakar.[4]

“Bawahlah dia! Demi Lata dan ‘Uzza, seandainya harga tebusannya tak lebih dari satu ugia, pastilah dia akan kulepas juga,” kata Umayyah. Abu Bakar kemudian menjawab, “demi Allah, seandainya kalian tidak hendak menjualnya kecuali seratus ugia, pastilah akan kubayar juga!” Demikianlah akhirnya Bilal memperoleh kebebasannya.[5]

Kemudian pergilah Abu Bakar sambil mengepit Bilal untuk menemui Nabi Muhammad SAW, dan menyampaikan berita gembira tentang kebebasan Bilal sebagai orang merdeka. Momen itu adalah momen yang tak ubah bagai hari raya besar.[6]

Riwayat dalam versi lain mengatakan bukan Abu Bakar yang membebaskan Bilal, namun Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Berikut ini adalah kisahnya, suatu hari, ketika Bilal disiksa, Rasulullah SAW kebetulan melihatnya. Kemudian Rasulullah berkata kepada Abu Bakar, “Seandainya aku memiliki harta, niscaya aku akan membebaskan Bilal.”[7]

Kemudian Rasulullah SAW datang ke rumah Abbas dan mengatakan, “bebaskanlah Bilal untukku!” Abbas, kemudian datang ke wanita pemilik Bilal. Dalam kondisi hampir meninggal dunia disebabkan siksaan pedih yang dideritanya, Abbas datang membebaskan Bilal. Setelah wanita itu mencaci dan menghina Bilal, dia pun menjualnya kepada Abbas. Bilal terbebas dari siksaah lantaran kesabarannya. Sepanjang sisa hidup Rasulullah, kemudian Bilal mengabdi kepadanya sebagai orang yang merdeka.[8]

Di kemudian hari, diriwayatkan bahwa Umayyah bin Khalaf terbunuh dalam perang Badar oleh Bilal.[9] Sementara dalam versi lain, meskipun dalam latar belakang yang sama, yakni perang Badar, Umayyah dibunuh oleh pasukan Muslim. Berikut ini adalah kisahnya, Umayyah bin Khalaf dan putranya tertangkap oleh ‘Abd ar-Rahman bin ‘Auf. Karena latar belakang persahabatan, ‘Abd ar-Rahman bermaksud membawa keduanya ke luar dari medan pertempuran hidup-hidup sebagai tawanan.[10]

Bilal melihat Umayyah dan menyadari bahwa ‘Abd ar-Rahman bin ‘Auf hendak menolongnya. Karena itu, Bilal berteriak keras-keras, “wahai para sahabat Allah! Umayyah adalah salah seorang pemimpin kafir. Ia tak boleh dibiarkan hidup.” Kemudian pasukan Muslim mengepung Umayyah lalu membunuhnya beserta putranya.[11]

Versi lainnya lagi, Umayyah dan putranya tidak dibunuh ketika perang Badar sedang berlangsung, namun dia dan putranya menjadi tawanan perang. Sebagian Muslim tak menghendaki Umayyah dibunuh, namun Bilal mengatakan, “dia pemimpin kafir yang harus dibunuh.” Berdasarkan desakan Bilal, ayah dan anak itu akhimya dibunuh.[12] (PH)

Bersambung ke:

Kisah Bilal bin Rabah (6): Adzan Pertama

Sebelumnya:

Kisah Bilal bin Rabah (4): Ahad (Yang Tunggal)

Catatan Kaki:

[1] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 107.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid., hlm 107-108.

[5] Ibid., hlm 108.

[6] Ibid.

[7] Ali Sadaqat, 50 Kisah Teladan, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Ibn Alwi Bafaqih dan Najib H.AI-Idrus (Cahaya: Jakarta, 2005), hlm 14.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Ja’far Subhani, ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 339.

[11] Ibid., hlm 339-340.

[12] Ibid., hlm 188.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*