Kisah Bilal bin Rabah (6): Adzan Pertama

in Tokoh

Last updated on February 23rd, 2018 12:55 pm

“Aku, Bilal, budak Umayyah, akan memberitahumu tentang hari-hari yang harus dikagumi, aku ada di sana–dua puluh dua tahun mendampingi—ketika Muhammad, Rasulullah, berjalan di atas muka bumi, aku mendengar apa yang beliau katakan dan melihat apa yang beliau lakukan….”

–O–

Pada tahun 622 M, orang-orang Islam di Mekah melakukan Hijrah ke Madinah. Hijrah dilakukan secara bertahap selama dua bulan dari sejak peristiwa Baiat Aqabah Kubra. Baiat Aqabah Kubra adalah peristiwa Baiat terhadap penduduk Yastrib (Madinah) oleh Rasulullah mengenai pengesahan jalinan agama dan militer di bukit Aqabah, Mekah.[1]

Setelah semua Muslim berhijrah ke Madinah, yang tersisa di Mekah hanya tinggal tiga orang, yakni Nabi Muhammad SAW sendiri, Abu Bakar as-Shiddiq, dan Ali bin Abu Thalib.[2] Mereka bertiga menetap di Mekah karena belum mendapat perintah dari Allah SWT untuk berhijrah. Suatu hari datanglah Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, dia mengabarkan bahwa perintah berhijrah telah turun, seraya berkata, “janganlah engkau tidur di tempat tidurmu malam ini seperti biasanya.”[3]

Nabi Muhammad SAW kemudian memberi perintah kepada Ali, beliau berkata, “tidurlah di atas tempat tidurku, berselimutlah dengan mantelku warna hijau yang berasal dari Hadhramaut ini. Tidurlah dengan berselimut mantel itu. Sesungguhnya engkau tetap akan aman dari gangguan mereka yang engkau khawatirkan.” Demikianlah Ali menjadi pengganti Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy.[4]

Tengah malamnya, sebelas orang Quraisy hendak melakukan pembunuhan berencana terhadap Nabi Muhammad SAW. Di antara sebelas orang itu terdapat mantan majikan Bilal, yaitu Umayyah bin Khalaf. Atas izin Allah, mereka semua tidak dapat melihat Nabi ketika beliau keluar rumah. [5]

Kemudian mereka masuk ke dalam rumah Nabi hendak membunuh orang yang sedang tertidur yang mereka kira Nabi. Ali kemudian bangkit dari tempat tidur dan langsung dikepung. Mereka bertanya keberadaan Muhammad. Ali menjawab, “aku tidak tahu.”[6]

Singkat cerita, pada akhirnya hampir seluruh Muslim dapat berhijrah ke Madinah, dan dari kota itulah secara perlahan umat Muslim dapat bangkit dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Kembali kepada kisah Bilal bin Rabah, setelah kemerdekaannya, Bilal sangat setia terhadap Nabi Muhammad SAW, ke mana pun Nabi pergi, Bilal selalu mengikutinya.

“Aku, Bilal, budak Umayyah, akan memberitahumu tentang hari-hari yang harus dikagumi, aku ada di sana–dua puluh dua tahun mendampingi—ketika Muhammad, Rasulullah, berjalan di atas muka bumi, aku mendengar apa yang beliau katakan dan melihat apa yang beliau lakukan….” kata Bilal.[7]

Ketika Masjid Nabawi di Madinah selesai dibangun, Rasulullah telah mengambil keputusan akan menggunakan naqus (lonceng) sebagai alat untuk memanggil orang-orang untuk shalat. Namun Rasul sendiri tidak menyukainya karena menyerupai orang Nasrani. Hingga salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbih bermimpi, di dalam mimpinya itu dia didatangi seorang laki-laki.

“Laki-laki itu memakai baju hijau di tangannya membawa naqus. Aku bertanya kepadanya, ‘Ya Abdullah, apakah engkau mau menjual naqus itu?’ Orang itu menjawab, ‘akan kau gunakan untuk apa?’ Aku menjawab, ‘untuk memanggil orang buat shalat.’ Dia berkata, ‘maukah aku tunjukkan kepadamu cara yang lebih baik? Sebutlah Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar…. (diteruskan sampai dengan kalimat Adzan yang kita kenal hari ini).’ Maka aku bangun pagi, lalu pergi kepada Rasulullah. Aku kabarkan kepadanya mengenai mimpi itu. Lalu Rasulullah bersabda, ‘sesungguhnya mimpi itu betul, insya Allah.’…. ,” kata  Abdullah bin Zaid.[8]

Kemudian Rasulullah memberikan perintah kepada Abdullah bin Zaid, “dapatkan Bilal dan katakan padanya apa yang telah engkau lihat, ajari dia kata-katanya sehingga dia bisa memberikan panggilan, karena dia memiliki suara yang indah.” Abdullah bin Zaid menemui Bilal dan mengajari kata-katanya.[9]

Setelah diajari, mulailah Bilal Adzan, “Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Asyhadu an laa illaaha illallaah. Asyhadu an laa illaaha illallaah. Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah.  Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah. Hayya ‘alas-shalaah. Hayya ‘alas-shalaah. Hayya ‘alal-falaah. Hayya ‘alal-falaah. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Laa ilaaha illallaah.” Adzan tersebut adalah Adzan pertama dalam sejarah Islam, dan dilakukan oleh mantan budak yang sebelumnya dihinakan.[10]

Umar bin Khattab mendengar seruan itu saat masih berada di rumahnya, dia buru-buru keluar, menyeret jubahnya di belakangnya, berkata, “demi Dia yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasulullah, aku melihat mimpi yang sama.” Nabi Muhammad SAW senang dan berkata, “segala puji bagi Allah.”[11] (PH)

Bersambung ke:

Kisah Bilal bin Rabah (7): Perang Badar

Sebelumnya:

Kisah Bilal bin Rabah (5): Hari Kebebasan

Catatan Kaki:

[1] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 205-211.

[2] Ibid., hlm 215.

[3] Ibid., hlm 221.

[4] Ibid., hlm 223.

[5] Ibid., hlm 222.

[6] Ibid., hlm 223.

[7] H. A. L. Craig, “Bilal”, dari laman http://www.alhamra.com/Excerpts/BilalExcerpt.htm, diakses 22 Februari 2018.

[8] Musnad Ahmad Ibnu Hanbal 4:24, Sunan al-Baihaqiy al-Kubra 1:415 no. 1818, dalam KH. A. Zakaria, Risalah Shalat, (Risalah Press: Bandung, 2005), hlm 55-57.

[9] Ahmad, At-Tirmidhi, Abu Dawood, & Ibn Majah, dalam Aisha Stacey, “Bilal Ibn Rabah: Islam’s first Muaddhin”, dari laman https://www.islamreligion.com/articles/4722/viewall/bilal-ibn-rabah/#_ftn24401, diakses 22 Februari 2018.

[10] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 108.

[11] Ahmad, At-Tirmidhi, Abu Dawood, & Ibn Majah, dalam Aisha Stacey, Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*