Kisah Bilal bin Rabah (7): Perang Badar

in Tokoh

Last updated on February 24th, 2018 04:05 pm

“Wahai para penolong Allah, dedengkot kekufuran adalah Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika dia masih selamat!”

–O–

Perang Badar yang terjadi pada tahun 624 M, dalam sejarah Islam, merupakan kemenangan militer pertama orang-orang Islam dan Nabi Muhammad SAW. Kemenangan Islam dalam perang tersebut benar-benar meruntuhkan dominasi orang-orang Mekah sekaligus menguatkan posisi politik Muslim di Madinah dan membuat orang-orang Islam menjadi sebagai kekuatan yang diperhitungkan di Jazirah Arab. Kebangkitan Islam dalam melawan suku Quraisy di Mekah adalah perkembangan penting dalam sejarah militer, agama, dan masyarakat Muslim. Perang Badar juga merupakan tanda, bahwa selain sebagai Nabi bagi umat Islam, Nabi Muhammad SAW juga merupakan panglima perang yang ulung.[1]

Adapun takdir pertemuan Bilal bin Rabah dan Umayyah bin Khalaf, bekas tuannya, masih akan berlanjut dalam perang sengit tersebut. Bilal masih sama seperti dulu ketika disiksa oleh Umayyah bin Khalaf, dalam perang Badar Bilal meneriakkan, “Ahad…. Ahad!” Namun bedanya kali ini, atas perintah Nabi Muhammad SAW, teriakan tersebut menjadi semboyan bagi pasukan Islam. Teriakan, “Ahad…. Ahad!” menggema selama perang berlangsung.[2]

Dalam perang Badar, suku Quraisy mengerahkan para pemukanya untuk turut serta turun dalam perang. Umayyah bin Khalaf juga salah seorang pemuka, walaupun pada awalnya dia tidak hendak ikut. Hingga salah seorang kawannya yang bernama ‘Uqbah bin Abi Mu’ith mendatanginya sambil di tangan kanannya membawa sebuah mijmar (pedupaan yang dipergunakan para wanita untuk mengasapi tubuhnya dengan kayu wangi).[3]

Ketika ‘Uqbah datang, Umayyah sedang duduk di antara para pengikutnya, kemudian ‘Uqbah menaruh mijmar tersebut di hadapan Umayyah seraya berkata, “hai Abu Ali! Terimalah dan pergunakanlah pedupaan ini. Karena engkau tak lebih dari seorang wanita!” Mendengarnya Umayyah marah, “keparat! Apa yang kau bawa ini?” Maka pada akhirnya berangkat juga lah Umayyah bin Khalaf ke medan pertempuran bersama putranya yang yang bernama Ali.[4]

Perlu diketahui, ‘Uqbah bin Abi Mu’ith adalah orang yang paling gigih mendorong Umayyah untuk melakukan penyiksaan terhadap Bilal dan orang-orang tak berdaya lainnya dari umat Islam ketika di Mekah. Kali ini, dia juga yang mendorong Umayyah untuk terjun ke medan perang, namun nahas, keduanya akan tewas dalam perang Badar.[5]

Ketika perang dimulai, pasukan Muslim meneriakkan “Ahad…. Ahad!” sambil terus merangsek maju. Umayyah teringat kata-kata tersebut pernah terus menerus diucapkan Bilal ketika sedang disiksanya. Dia tidak pernah menyangka kata-kata tersebut akan menjadi semboyan sebuah kelompok masyarakat yang berdiri dalam suatu agama yang utuh. Batinnya dipenuhi oleh rasa takut.[6]

Ketika peperangan sudah berlangsung beberapa lama, ‘Abd ar-Rahman bin ‘Auf melihat Umayyah sedang berpegangan tangan bersama putranya. Sewaktu masih jahiliyah, ‘Abd ar-Rahman bin ‘Auf merupakan kawan dekat Umayyah. Saat itu ‘Abd ar-Rahman bin ‘Auf sedang membawa beberapa buah baju besi hasil rampasan, Umayyah berkata, “apakah engkau ada perlu denganku? Aku lebih baik daripada baju-baju besi yang engkau bawa itu. Aku tidak pernah mengalami kejadian seperti hari ini. Apakah kalian membutuhkan susu?” Maksud Umayyah adalah dia menawarkan dirinya untuk menjadi tawanan dan akan memberikan tebusan beberapa unta yang menghasilkan banyak susu.[7]

‘Abd ar-Rahman bin ‘Auf kemudian membuang baju-baju besi dari tangannya dan menuntun Umayyah bersama putranya. Umayyah kemudian berkata, “siapakah seseorang di antara kalian yang mengenakan tanda pengenal di dadanya berupa sehelai bulu burung unta?” ‘Abd ar-Rahman bin ‘Auf menjawab, “dia adalah Hamzah bin Abdul-Muththalib.” Umayyah menimpali, “dia adalah orang yang paling banyak menimpakan bencana di pasukan kami.”[8]

Ketika mereka sedang bercakap-cakap, Bilal melihat mereka, lalu berseru, “dedengkot kekufuran adalah Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika dia masih selamat!” ‘Abd ar-Rahman bin ‘Auf berkata, “wahai Bilal, dia adalah tawananku.” [9]

“Aku tidak selamat jika dia masih selamat,” kata Bilal sekali lagi. “Apakah engkau mendengarku wahai Ibnus-Sauda’?” ‘Abd ar-Rahman bin ‘Auf mencoba mencari pembelaan kepada Ibnus-Sauda’. Namun Bilal kembali berkata, “aku tidak selamat jika dia masih selamat,” dan dia berteriak dengan keras, “wahai para penolong Allah, dedengkot kekufuran adalah Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika dia masih selamat!”[10]

Kemudian pasukan Muslim mengepung mereka bertiga, salah seorang menyabetkan pedangnya dan mengenai Ali bin Umayyah. Umayyah berteriak teramat keras. ‘Abd ar-Rahman bin ‘Auf berkata kepada Umayyah, “cari selamat sebisamu, karena tidak ada lagi keselamatan di sini. Demi Allah, aku sudah tidak membutuhkanmu sedikitpun.” Lalu mereka menyabetkan pedang kepada ayah dan anak tersebut hingga tewas.[11]

Abd ar-Rahman bin ‘Auf berkata kepada dirinya sendiri, “semoga Allah merahmati Bilal. Baju-baju besiku sudah hilang dan hatiku menjadi galau gara-gara tawananku.”[12]

Sejarawan Khalid Muhammad Khalid menganalisis peristiwa di atas, dia mengatakan bahwa Bilal bukan tipe orang pemberang, namun pada saat itu situasinya berada dalam peperangan, akan lain ceritanya apabila mereka bertemu dalam situasi yang lain. Menurutnya, niscaya Bilal akan memberikan maaf.[13]

Selain itu, ada perbedaan penafsiran antara Abd ar-Rahman bin ‘Auf dan Bilal, Abd ar-Rahman bin ‘Auf beranggapan bahwa perang telah usai sehingga berhak untuk memperlakukan Umayyah sebagai tawanan. Sementara itu Bilal menilai perang belum berakhir, sebab belum lama Umayyah telah membunuh beberapa pasukan Muslim dalam perang tersebut, pedangnya saja masih basah oleh darah.[14] Wallahu a’lam. (PH)

Feature Image Art by LiquidNerve

Bersambung ke:

Kisah Bilal bin Rabah (8): Penyaksian Peristiwa-Peristiwa Kenabian

Sebelumnya:

Kisah Bilal bin Rabah (6): Adzan Pertama

Catatan Kaki:

[1] Tony Bunting, “Battle of Badr”, dari laman https://www.britannica.com/event/Battle-of-Badr, diakses 23 Februari 2018.

[2] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 109.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid., hlm 110.

[6] Ibid., hlm 110-111.

[7] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 292-293.

[8] Ibid., hlm 293.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Khalid Muhammad Khalid, Ibid., hlm 112.

[14] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*