Kisah Bilal bin Rabah (8): Penyaksian Peristiwa-Peristiwa Kenabian

in Tokoh

Last updated on February 25th, 2018 01:30 pm

“Menjelang Subuh, Bilal melewati rumah Fathimah az-Zahra, kemudian dia mendapatkan Fathimah sedang kesulitan karena anaknya menangis, di sisi lain Fathimah juga mesti menggiling gandum. Kemudian dia singgah dan membantu dulu Fathimah, hal itu lah yang menyebabkannya terlambat melakukan shalat Subuh. ‘Apa yang menyebabkanmu terlambat datang?’ kata Nabi. Bilal menjelaskannya. Kemudian Nabi berkata, ‘engkau kasihan kepadanya, karena itu Allah akan mengasihimu.’”

–O–

Pada artikel sebelumnya diriwayatkan bahwa Bilal bin Rabah selama 22 tahun penuh menyaksikan tindakan dan mendengar perkataan Nabi Muhammad SAW.  Bilal sangat menyukai menemani Nabi Muhammad SAW kemanapun beliau pergi, dan sebagai sahabat dia menjadi sangat dekat dengan Nabi.[1]

Berbagai riwayat menyebutkan bahwa Bilal mendapat kehormatan menjemput Nabi setiap pagi dan menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengannya. Kisah Bilal sering digunakan untuk menunjukkan pentingnya pluralisme dan persamaan ras dalam Islam. Yang lebih penting, Bilal adalah sebuah contoh dari ukuran kesalehan seseorang, bukan dilihat dari ras, etnisitas, ataupun status sosial.[2]

Artikel kali ini akan menceritakan beberapa kisah kebersamaan Bilal dengan Nabi Muhammad SAW sendiri ataupun orang-orang di lingkaran terdekat Nabi. Kisah-kisah ini tidak akan terpaku dari sudut pandang Bilal saja, bisa dari Nabi, keluarga, ataupun sahabat, yang jelas ketika peristiwa tersebut terjadi, Bilal ada di sana.

 

Lamaran Ali kepada Fathimah

Peristiwa ini terjadi pada tahun kedua Hijriyah, pada waktu itu ‘Ali bin Abu Thalib menghadap Nabi sendirian. Kesederhanaan dan rasa malu menguasainya. Dia menunduk, hendak mengatakan sesuatu tetapi malu. Setelah Nabi mendorongnya untuk berkata, dia menyampaikan maksudnya dalam beberapa kalimat. Jenis lamaran semacam ini merupakan pertanda ketulusan. Namun, lembaga-Iembaga pendidikan kita belum mampu mengajarkan kepada para calon pelamar tentang kebebasan yang berjalinkan takwa, iman, dan ketulusan seperti itu.[3]

Nabi mengabulkan lamaran ‘Ali seraya berkata, “engkau harus menanti sebentar agar aku menyampaikan hal ini kepada putriku.” Ketika beliau mengatakannya kepada Fathimah, putrinya itu diam membisu. Nabi lalu berkata, “Allah Mahabesar! Diam berarti setuju.” Pada waktu itu, ‘Ali tidak mempunyai apa-apa selain sebilah pedang dan sebuah baju zirah. Dia dinasihati Nabi supaya menjual baju zirahnya untuk memenuhi biaya perkawinan. Dengan gembira ‘Ali menjualnya lalu menyerahkan uangnya kepada Nabi.[4]

Nabi memberikan segenggam dari uang itu, tanpa menghitungnya, kepada Bilal untuk dibelikan wangi-wangian bagi Fathimah. Sisanya beliau berikan kepada Abu Bakar dan ‘Ammar untuk dibelikan kebutuhan hidup bagi pasangan itu di pasar Madinah. Masing-masing segera pergi sesuai kehendak Nabi. Setelah membeli barang-barang itu, yang sebenarnya merupakan mahar bagi Fathimah, mereka membawanya kepada Nabi.[5]

 

Membantu Fathimah

Dinukil dari Musnad Ahmad—salah satu referensi terkenal Ahlussunnah—dari Anas bin Malik, yang berkata, “suatu ketika, Bilal terlambat melakukan shalat subuh. Nabi SAW kemudian bertanya kepadanya, ‘apa yang menyebabkanmu terlambat datang?’[6]

Bilal menjawab, ‘aku melewati rumah Sayyidah Fathimah dan beliau tengah menggiling gandum, sementara anaknya menangis. Lantas aku berkata kepadanya, ‘jika engkau mengizinkan, biarlah aku yang menggiling gandum dan engkau mengasuh anakmu. Atau, aku yang mengasuh anakmu dan engkau yang menggiling gandum.’ Fathimah berkata, ‘aku lebih menyayangi anak ku daripada engkau.’ Hal itulah yang membuat aku terlambat datang.’ Kemudian, Rasulullah SAW bersabda, ‘engkau kasihan kepadanya, karena itu Allah akan mengasihimu.’”[7]

 

Pernikahan Nabi dengan Safiyah binti Hay bin Akhtab

Ketika Benteng Qamus ditaklukkan, Safiyah binti Hay bin Akhtab dan seorang wanita lagi ditawan. Bilal membawa dua wanita ini melewati mayat-mayat Yahudi yang terbunuh dalam pertempuran, lalu menghadapkannya kepada Nabi. Ketika tahu masalahnya, Nabi bangkit, menaruh jubah di kepala Safiyah, memperlihatkan rasa hormatnya, dan memberi tempat khusus di kemah untuk beristirahat. Kemudian beliau berkata keras kepada Bilal, “apakah engkau tak punya lagi perasaan kasih sayang sehingga membiarkan wanita-wanita ini melewati mayat orang-orang yang mereka cintai?”[8]

Kemudian beliau menawarkan kepada Safiyah untuk masuk Islam, dan dia pun memenuhinya. Setelah memerdekakannya, beliau pun menikahinya. Adapun mas kawinnya adalah pembebasan dirinya. Setiba di Ash-Shahba’ dalam perjalanan pulang ke Madinah, Ummu Sulaim merias Safiyah, dan malam itu menjadi miliknya bersama beliau dan merupakan malam pengantinnya. Untuk acara walimah dihidangkan korma, makanan dari tepung dan keju. Beliau berada di sana selama tiga hari.[9]

Pada saat-saat itu beliau melihat ada bilur-bilur warna biru membekas di wajah Safiyah. Beliau bertanya, “ada apa ini?”[10]

Safiyah menjawab, “wahai Rasulullah, sebelum engkau mendatangi kami, aku bermimpi melihat bulan seakan-akan terlepas dari tempatnya dan jatuh di bilikku. Tidak demi Allah, aku tidak menyebut-nyebut diri engkau sedikit pun. Aku menceritakan mimpiku ini kepada suamiku, lalu dia menempeleng wajahku.”[11]

“Rupanya engkau dianugerahi kerajaan yang ada di Madinah,” sabda beliau.[12]

Kemudian dalam masa-masa pernikahan mereka, Nabi memberi pelayanan yang baik kepada Safiyah. Ini memberikan dampak yang positif padanya; belakangan dia dipandang sebagai salah satu istri Nabi yang paling menyenangkan dan setia. Dia menangis melebihi istri lain di saat Nabi akan meninggal.[13] (PH)

Bersambung ke:

Kisah Bilal bin Rabah (9): Adzan Pertama di Mekah

Sebelumnya:

Kisah Bilal bin Rabah (7): Perang Badar

Catatan Kaki:

[1] Aisha Stacey, “Bilal Ibn Rabah: Islam’s first Muaddhin”, dari laman https://www.islamreligion.com/articles/4722/viewall/bilal-ibn-rabah/#_ftn24401, diakses 24 Februari 2018.

[2] Ibid.

[3] Ja’far Subhani, ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 315.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Nashir Makarim Syirazi, Wanita Agung Fathimah Az-Zahra, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Najib Husain al-Idrus  (Jakarta: Cahaya, 2007), hlm 101.

[7] Ibid.

[8] Ja’far Subhani, Ibid., hlm 521.

[9] Ibnu Hisyam, Sirah an-Nabawiyah, 2/336; Zadul Ma’ad, 2/137, dalam Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 493-494.

[10] Ibid., hlm 494.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Ja’far Subhani, Loc. Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*