Kisah Bilal bin Rabah (9): Adzan Pertama di Mekah

in Tokoh

Last updated on February 26th, 2018 01:30 pm

“Bilal menyenandungkan Adzan di atas reruntuhan berhala. Kedua telapak kakinya menginjak bagian-bagian berhala yang telah hancur berserakan, sebuah panorama yang mustahil terjadi di masa sebelumnya.”

–O–

Hari demi hari berlalu, Bilal bin Rabah terus menemani Rasulullah dalam berbagai kesempatan. Dia tercatat selalu ikut dalam seluruh perjuangan bersenjata umat Islam.[1] Hingga akhirnya tibalah peristiwa Futuh Mekah. Futuh Mekah adalah peristiwa penaklukkan kota Mekah oleh umat Islam, dan membebaskannya dari berhala-berhala kaum Quraisy.[2]

Pada peristiwa Futuh Mekah, orang-orang Quraisy tidak melakukan perlawanan yang berarti, dan sebagian besar sudah menyerah duluan sebelum berperang. Ketika Nabi Muhammad SAW bersama kaum Muhajirin dan Anshar masuk ke dalam masjid, beliau menghampiri Hajar Aswad, menciumnya, berthawaf di sekeliling Ka’bah, sambil memegang busur. Pada waktu itu di sekitar Ka’bah terdapat 360 berhala. Kemudian beliau menunjuk busurnya ke arah berhala-berhala tersebut sambil mengucapkan ayat:

“Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap’. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Surat Al-Isra’ Ayat 81)

“Katakanlah: ‘Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.’” (Surat Saba’ Ayat 49)

Seketika itu pula seluruh berhala di hadapan beliau roboh. Kemudian beliau melakukan thawaf sambil menunggang unta dan tidak berpakaian ihram. Setelah sempurna, beliau memanggil Ustman bin Thalhah dan memerintahkannya untuk mengambil kunci Ka’bah.[3]

Rasulullah memasuki Ka’bah dengan ditemani Bilal. Baru saja masuk beliau melihat berbagai gambar, di antaranya ada gambar Ibrahim dan Ismail yang sedang berjudi menggunakan anak panah. Rasulullah marah, dan bersabda, “semoga mereka dihancurkan Allah. Tak pernah nenek moyang kita melakukan perjudian demikian. Dan Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi, bukan pula seorang Nasrani, tetapi seorang yang beragama suci dan seorang Muslim, dan sekali-kali bukan dari golongan orang musyrik.”[4]

Keluar dari Ka’bah, Rasulullah berpidato dan mengadakan beberapa dialog dengan orang-orang Quraisy, kemudian tibalah waktunya untuk shalat Dzuhur. Atas perintah Nabi, Bilal, bekas budak asal Ethiopia, yang pernah lama disiksa di kota ini karena memeluk Islam, naik ke atas Ka’bah, menaruh tangan ke telinganya, lalu mengumandangkan dengan irama khasnya kalimat-kalimat yang menegaskan kesaksian akan keesaan Allah dan kenabian Muhammad, yang dahulu sangat diharamkan kaum kafir Quraisy. “Allahuakabar, Allahuakbar…..”

Suara Bilal, dan ucapan yang diulang kaum Muslim sesudah mendengar setiap kalimat Adzan, terdengar oleh musuh-musuh Tauhid. Mereka sangat terganggu sehingga Shafwan bin Umayyah dan Khalid bin Usaid berkata, “syukurlah bahwa moyang kita meninggaI tanpa mendengar suara budak Ethiopia ini.” Ketika mendengar Bilal mengucapkan “Allahuakabar”, Suhail bin ‘Aruar menutup mukanya dengan sapu tangan.[5] Kemudian al-Harits bin Hisyam berkata, “demi Allah, andaikan saja aku tahu bahwa itu adalah benar, tentu aku akan mengikutinya.”[6]

Mereka tak hanya merasa risau karena mendengar suara Bilal, tetapi juga merasakan siksaan mental karena berbagai bagian dari Adzan yang sepenuhnya bertentangan dengan kepercayaan mereka yang turun-temurun.[7] Sementara itu, Abu Sufyan berkata, “aku tidak akan mengatakan sesuatu tentang masalah ini, karena petugas bagian informasi Muhammad sangat terampil sehingga aku khawatir kalau-kalau butir pasir di masjid dapat mengabarinya tentang percakapan kita.”[8]

Nabi setelahnya kemudian menemui mereka dan berkata, “aku sudah tahu apa yang kalian ucapkan.” Lalu beliau memberitahukan apa saja yang mereka ucapkan itu. Al-Harits dan Khalid kemudian berkata, “kami bersaksi bahwa engkau adalah Rasul Allah. Demi Allah, tak seorang pun yang mendengar yang kami ucapkan, dan tidak pula kami memberitahukannya kepada seseorang.”[9]

Bilal menyenandungkan Adzan di atas reruntuhan berhala. Kedua telapak kakinya menginjak bagian-bagian berhala yang telah hancur berserakan, sebuah panorama yang mustahil terjadi di masa sebelumnya.[10] Bilal adalah sebuah contoh, sebuah lambang kesetaraan di dalam Islam. Bilal, yang dulunya seorang budak terhina, kini oleh Islam diakui lebih mulia, lebih bernilai, lebih besar jasanya, dan diperlakukan lebih terhormat dari siapa pun di kalangan ningrat-priyayi, di kalangan masyarakat Arab saat itu. Bilal tegak berdiri shalat di baris terdepan pada deret para bangsawan Quraisy dan Muhajirin. Dia telah menjadi salah satu tokoh yang dicintai dan cemerlang, sementara tokoh-tokoh yang paling menonjol sebelum kehadiran Islam bahkan pada zaman itu pun, berjajar shalat di belakangnya.[11] (PH)

Bersambung ke:

Kisah Bilal bin Rabah (10): Adzan Terakhir yang Tak Pernah Usai

Sebelumnya:

Kisah Bilal bin Rabah (8): Penyaksian Peristiwa-Peristiwa Kenabian

Catatan Kaki:

[1] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 115.

[2] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 530-531.

[3] Ibid.

[4] Khalid Muhammad Khalid, Ibid., hlm 113.

[5] Ja’far Subhani, ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 538-539.

[6] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ibid., hlm 533.

[7] Ja’far Subhani, Ibid., hlm 539.

[8] Ibid., hlm

[9] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Loc. Cit.

[10] Khalid Muhammad Khalid, Ibid., hlm 114.

[11] Ali Syariati, Panji Syahadah: Tafsir Baru Islam, Sebuah Pandangan Sosiologis, diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Tofan Dwi Hardjanto dan Sayyid Umar, (Shalahuddin Press: Yogyakarta, 1986), hlm 10.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*