Mozaik Peradaban Islam

Kitab Al-Luma’ fi At-Tashawwuf Karya Abu Nasr as-Sarraj (8): Bab 8, Ilmu Kaum Sufi Lebih Unggul Dibanding Ahli Fiqih

in Pustaka

Last updated on April 22nd, 2019 05:59 am


Umur manusia tidaklah mungkin dihabiskan sekadar untuk memiliki pengetahuan spesifik mengenai hukum-hukum yang terbatas. Sementara ilmu sufistik seperti isyarat, manifestasi, gerak-gerik ruh, pemberian, dan karunia dari samudera kedermawanan Ilahi tidaklah berhingga.

Foto Ilustrasi: Pandawu/Goodfon

Bab 8:

Tentang Argumen Balasan Kaum Sufi terhadap Mereka yang Memprofesikan Kepakaran Hukum, dan Penjelasan yang Berdasarkan Dalil tentang Pemahaman Agama yang Mendalam

Syaikh Abu Nashr as-Sarraj, semoga Allah merahmatinya, berkata:  Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersaba, “Barangsiapa dikehendaki Allah untuk menjadi baik, maka Dia akan memberinya pemahaman agama yang mendalam.” Saya pernah mendengar bahwa seseorang bertanya kepada Hasan Al-Basri, “Si Fulan itu adalah seorang faqîh.” Hasan menjawab, “Apakah engkau benar-benar pernah melihat seorang faqîh? Sesungguhnya faqîh sejati adalah orang yang telah mengabaikan dunia ini, lebih memilih akhirat dan mempunyai tilikan spiritual dalam soal-soal keagamaan.” Firman Allah Swt., …untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. (QS. at-Taubah [9]: 122). “Agama” merupakan suatu kata yang mencakup seluruh aspek hukum, baik lahiriah maupun batin.

Pendalaman hukum-hukum yang berkaitan dengan berbagai kondisi spiritual dan makna berbagai kedudukan spiritual yang telah disebutkan tidaklah kecil manfaatnya ketimbang memperdalam hukum yang berkaitan dengan talak, pembebasan budak, zhihâr, qishâsh, sumpah, dan hukum pidana. Pasalnya,  umur manusia tidaklah mungkin dihabiskan sekadar untuk memiliki pengetahuan spesifik mengenai hukum-hukum tersebut. Kalaupun ada masalah muncul sekaitan dengan hukum-hukum ini, maka orang tinggal merujuk (bertaklid) pada otoritas di bidang itu dan mengambil pendapat salah seorang ahli fiqih. Dengan demikian, kewajibannya untuk mempelajari hukum-hukum itu gugur hingga muncul isu baru.

Bagaimanapun juga, orang-orang beriman membutuhkan berbagai keadaan, kedudukan, dan perjuangan spiritual yang didalami dan dipahami oleh kaum Sufi, dan yang hakikat-hakikatnya yang didiskusikan oleh mereka. Mereka mesti memperoleh pengetahuan eksperiensial akan hal-hal yang tidak dibatasi oleh waktu ini. Topik-topik ini meliputi, umpamanya, kejujuran, keikhlasan, zikir, dan menghindari kelalaian dari berzikir. Tidak ada waktu-waktu yang ditetapkan untuk hal ini. Sebaliknya, semua hamba mesti menyadari tujuan, kemauan, dan yang terbersit dalam benaknya dalam setiap detik dan di sepanjang waktu.

Jika itu merupakan hak dan tanggung jawab, maka dia wajib melakukannya; dan jika berupa hal yang dilarang, maka dia wajib menjauhinya. Allah berfirman pada Nabi-Nya Saw., Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan untuk mengingat Kami, serta mengikuti hawa nafsunya, dan sementara keadaannya telah melewati batas.  (QS. al-Kahfi [18]: 28). Orang meninggalkan salah satu dari berbagai keadaan spiritual yang telah disebutkan hanya karena kelalaian yang telah menyelimuti hatinya.

Ketahuilah bahwa signifikansi dari apa yang  mereka pelajari, dan wawasan mereka terhadap seluk-beluk dan hakikat pelajaran yang mereka temukan, jelas lebih luas daripada pengertian yang diperoleh para ahli fiqih tentang tuntutan eksternal bagi seseorang, karena ilmu kaum Sufi ini tidaklah berhingga. Ia meliputi isyarat, manifestasi, gerak-gerik ruh, pemberian, dan karunia yang direguk oleh para praktisinya dari samudera kedermawanan Ilahi.

Sebaliknya, semua ilmu lain memiliki batas tertentu. Bahkan, semua ilmu bermuara pada tasawuf, sedangkan tasawuf hanya bermuara pada aspek tasawuf yang lebih mendalam. Tidak ada batas tertentu dalam ilmu (tasawuf) ini karena tidak ada batas dari objek ilmu itu sendiri, yakni penyingkapan mistis. Melalui pemahaman akan  firman-Nya dan persepsi tentang isyarat seruan-Nya, Allah Ta’ala menyingkapkan apa dan sebagaimana Dia memilih hati para wali-Nya.

Allah berfirman, Katakanlah (wahai Muhammad), “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). (QS. Al-Kahfi [18]: 109). Allah Swt. juga berfirman, Andaikan kalian bersyukur maka akan Aku tambah (nikmat-Ku). (QS. Ibrahim [14]: 7). Adapun tambahan dari Allah itu tentu tak ada batasnya. Ungkapan syukur juga adalah nikmat yang juga harus disyukuri, sehingga mengakibatkan bertambahnya nikmat yang tak terbatas. Dan pada Allahlah keberhasilan kita. (MK)

Bersambung ke:

Sebelumnya :

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*