Mozaik Peradaban Islam

Kutukan Minyak bagi Timur Tengah (4): Masa Depan Timur Tengah

in Monumental

“Timur Tengah saat ini sangat tergantung terhadap minyak. Mereka tidak memiliki pendapatan lainnya yang berarti selain dari minyak. Hal ini sudah berlangsung selama ratusan tahun. Apa yang akan terjadi jika minyak habis?”

–O–

Featured Image: Cover Majalah the Economist

Setelah pengaruh The Seven Sisters tidak terlalu dominan lagi, perjanjian baru yang dibuat negara-negara pengahasil minyak di Timur Tengah secara bertahap berubah. Otoritas dan keuntungan yang tadinya sebagian besar dikuasai perusahaan, secara perlahan mulai berpindah ke pemerintah negara penghasil minyak. Di antara negara-negara di Timur Tengah yang pertama kalinya mengadopsi kebijakan semacam itu adalah Iran, diawali pada tahun 1951, dan sekali lagi terjadi pada tahun 1979, setelah terjadinya revolusi sipil; Irak, menyusul pada tahun 1961; dan Mesir, pada tahun 1962.

Meskipun demikian, negara-negara ini masih cukup berhati-hati untuk tidak berbicara tentang nasionalisasi, sebagai gantinya, mereka lebih menekankan kepada pentingnya peningkatan hubungan kemitraan dan pembagian keuntungan yang lebih adil. Pada kenyataannya, meskipun telah berganti istilah, pada hakikatnya, tentu saja, itu adalah sebuah nasionalisasi. Saat ini, perusahaan minyak besar internasional sering kali harus tunduk kepada aturan Perusahaan Minyak Nasional, atau biasa disebut NOCs (the National Oil Companies).

Berdasarkan proven energy resources (sumber energi yang terukur dan dapat digunakan), yaitu minyak dan gas, lima NOC teratas di dunia semuanya berada di Timur Tengah Raya. Berdasarkan data terbaru, mereka, secara berurutan mulai dari peringkat tertinggi, adalah Aramco Arab Saudi, Perusahaan Minyak Nasional Iran, Qatar Petroleum, Perusahaan Minyak Nasional Irak, dan Perusahaan Minyak Nasional Abu Dhabi.

 

Kutukan Minyak

Sebelum ditemukannya minyak di Iran pada tahun 1908, kepentingan strategis utama yang dinikmati oleh negara-negara di Timur Tengah pada dasarnya lebih bersifat geopolitik ketimbang geologis. Namun waktu dan perkembangan peradaban manusia mengubah segalanya. Kini, setiap negara penghasil minyak utama menjadi sangat diperhitungkan dalam dinamika geopolitik dunia di era modern, yang mana bahkan melampaui batas-batas kenegaraan mereka sendiri.

Mulai dari kepentingan strategis Inggris untuk melindungi Iran selama Perang Dunia I, hingga koalisi pimpinan AS yang berperang melawan rezim Saddam Hussein setelah invasinya ke Kuwait pada tahun 1990, adanya minyak dan gas di Timur Tengah dalam jumlah yang sangat besar telah mengundang para negara super power untuk turut terlibat di sana, bahkan hingga saat ini. Beberapa kalangan menilai, jika negara-negara itu tidak memiliki minyak dan gas, mereka tidak akan dapat memiliki peran sebesar itu dalam kancah politik global.

Meskipun ini masih menjadi perdebatan, konsep utama di balik teori tentang kutukan minyak adalah bahwa negara-negara dengan sumber daya alam tak terbarukan yang berlimpah — seperti minyak dan gas — cenderung tidak demokratis, dan memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat ketimbang negara-negara dengan sumber daya alam yang lebih sedikit.

Salah satu masalah dari industri perminyakan adalah ketergantungan mereka terhadap tenaga kerja ahli, yang secara tradisional kebanyakan berasal dari orang Barat. Dan ini membuat para pekerja lokal atau regional lebih sulit untuk mendapatkan pekerjaan (terkait perminyakan). Selain itu, hal ini juga menimbulkan ketimpangan upah antara tenaga kerja asing dengan lokal yang lebih kecil.

Masalah lainnya adalah bahwa sementara negara-negara kaya minyak telah menyediakan jaminan perawatan kesehatan dan pendidikan gratis, namun para penguasa hanya memiliki sedikit atau merasa tidak perlu untuk memperoleh pendapatan dari pajak. Hal tersebut terdengar indah bagi orang-orang yang mendambakan bahwa kehidupan mereka terjamin dan bebas dari pungutan pajak. Namun bila ditelaah lebih jauh, sesungguhnya para warga negara penghasil minyak harus membayarnya dengan ketaatan mutlak terhadap pemerintahnya.

Para pemimpin di negara-negara Arab merasa tidak perlu untuk meminta saran dari warga negaranya terkait jalannya pemerintahan karena mereka merasa telah membeli kepatuhan mereka dengan menjamin kesejahteraan warganya. Dengan cara memimpin seperti itu, sesungguhnya sulit untuk melihat bahwa demokrasi akan tercipta di negara-negara Arab.[1]

Sebagai contoh kasus, kita akan melihat bagaimana Arab Saudi memainkan politik minyak terhadap warganya sendiri.  Saat ini, dilihat dari sumber ladang minyak yang sudah ditemukan, Arab Saudi memiliki hampir seperlima dari cadangan minyak dunia. Dengan sumber daya sebesar itu, Saudi menjadi negara pengekspor dan penghasil minyak terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.[2]

Sepanjang sejarah Arab Saudi modern, pihak kerajaan telah mengembangkan narasi yang mengatakan bahwa mereka sangat peduli terhadap rakyatnya dan akan menjamin segala kebutuhan materinya. Namun ketimbang mengatakan bahwa kesejahteraan itu merupakan hak, pihak kerajaan lebih suka mengatakan bahwa itu adalah pemberian untuk rakyat, dan sebagai timbal baliknya, rakyat diwajibkan untuk mematuhi penguasa karena kedermawanan mereka.

Arab Saudi dapat dikatakan sebagai rentier state terbesar di dunia, yakni sebuah negara yang pendapatan nasionalnya sepenuhnya atau sebagian besarnya berasal dari sumber daya alam lokal. Pendapatan utama kerajaan berasal dari penjualan minyak dan investasi luar negeri (yang modalnya juga berasal dari penjualan minyak).

Hanya sebagian kecil saja pendapatan yang berasal dari pajak dan retribusi. Kerajaan menggunakan sebagian hasil minyak itu untuk menjamin kenyamanan materi warga negara dan sebagai imbalannya, warga diharuskan untuk menerima hak penguasa untuk memerintah. Metode memerintah dengan sistem seperti ini disebut dengan authoritarian bargain (tawar menawar penguasa otoriter).[3]

 

Masa Depan Timur Tengah

Baik pemerintah maupun masyarakat di Timur Tengah dalam lebih dari 100 tahun terakhir telah terlena dengan adanya jumlah minyak yang sangat besar di sana. Pola kepemimpinan mereka pun secara umum cenderung otoriter. Sebagai imbalan atas sikap otoriter mereka, kesejahteraan masyarakat harus mereka jamin. Pola seperti ini sudah berlangsung cukup lama dan melekat di Timur Tengah.

Kita sendiri tahu bahwa minyak adalah sumber energi yang tidak terbarukan, dalam artian, walaupun saat ini jumlahnya masih banyak, namun suatu saat akan habis juga. Apabila sampai waktunya nanti minyak telah habis, kira-kira apa yang akan terjadi terhadap masyarakat Timur Tengah yang hidupnya sangat bergantung terhadap minyak? Bisa dibayangkan, turbulensi besar akan mendera Timur Tengah. (PH)

Seri Kutukan Minyak bagi Timur Tengah selesai.

Sebelumnya:

Kutukan Minyak bagi Timur Tengah (3): The Seven Sisters

Catatan Kaki:

[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 277-279.

[2] The U.S. Energy Information Administration (EIA), “Total Petroleum and Other Liquids Production – 2017”, dari laman https://www.eia.gov/beta/international/index.php?topL=exp, diakses 19 Juli 2018.

[3] Stig Stenslie, The End of Elite Unity and the Stability of Saudi Arabia (The Washington Quarterly: Spring 2018), hlm 66.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*