Madrasah Mustansiriyyah (1): Membangkitkan Kembali Peradaban Melalui Pendidikan

in Monumental

Last updated on April 30th, 2023 11:08 am

Ada tiga institusi pendidikan yang sangat dikenal dengan kontribusinya pada peradaban manusia di abad pertengahan, yaitu perpustakaan Baitul Hikmah, Madrasah Nizamiyyah, dan Madrasah Mustansiriyyah. Yang terakhir ini, merupakan warisan khalifah al-Mustansir Billah, salah satu diantara khalifah yang memimpin pada masa-masa terakhir Dinasti Abbasiyyah.”

Madrasah Mustansiriyyah, Sumber gambar: republika.id

Semangat pendidikan Islam telah dibangkitkan kembali di era Rasulullah SAW melalui da’wahnya dengan memperkenalkan agama Islam kepada umat manusia saat itu. Walaupun tidak ada institusi resmi yang didirikan pada masa tesebut, aktivitas belajar mengajar dilakukan oleh Rasulullah SAW melalui pengajaran lisan (talaqqi) dalam suatu majlis dengan para sahabatnya. Sehingga masjid kemudian menjadi pusat pembelajaran pada periode awal Islam.

Dalam catatan sejarah, pendidikan Islam terus berkembang dari masa ke masa yang telah diklasifikasikan oleh Makdisi, sejarawan barat menjadi, dua periode; Pra (terbentuknya) institusi madrasah dan pasca institusi madrasah.

Pra institusi madrasah adalah masa dimana masjid (jāmi’) menjadi pusat terlaksananya berbagai aktivitas pendidikan yang mana pendekatannya cenderun ekslusif kecuali beberapa institusi tertentu seperti perpustakaan dan rumah sakit. Sedangkan pasca institusi madrasah seluruh aktivitas pendidikan dilaksanakan dalam bangunan khusus yang didirikan secara resmi bagi para penuntut ilmu dan institusi ini cenderung lebih terbuka terutama ilmu asing (foreign sciences).[1]

Semangat pendidikan ini mendapat perhatian besar dari kekhilafahan Dinasti Abbasiyyah yang dikenal sebagai puncak kejayaan Islam (golden age). Dinasti Abbasiyyah merupakan dinasti dengan periode terpanjang dalam Islam sehingga para sejarawan dan ilmuwan membagi periode Abbasiyah menjadi dua bagian; puncak kejayaan Abbasiyyah hingga permulaan runtuhnya Abbasiyyah (750-945 M), dan Abbasiyyah pasca kehilangan otonominya karena perang regional antar dinasti dunia hingga berakhirnya Dinasti Abbasiyyah akibat serangan Mongol (945-1258 M).[2]

Kemajuan peradaban Islam terjadi pada masa Dinasti Abbasiyyah, khususnya pada puncak kejayaannya (golden age) yang dimulai sejak periode khalifah al-Saffah dan Abu Ja’far al-Manshur yang telah berhasil memajukan kota Baghdad dan bertahan puncak kejayaannya hingga tujuh periode kekhalifahan berikutnya.[3]

Baghdad saat itu menjadi ibukota dinasti Abbasiyyah sekaligus pusat pendidikan dunia. Pada masa khalifah Harun al-Rashid, beliau mendirikan banyak fasilitas demi menunjang kesejahteraan umat yang diantaranya adalah masjid, rumah sakit, madrasah, dan beberapa fasilitas public lainnya.[4]

Dinasti Abbasiyyah sangat mendukung kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan yang hasilnya dapat dirasakan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan seperti geografi, astronomi, geometri, matematika, fisika dan ilmu sains lainnya.[5]

Pendidikan adalah kunci dari kemajuan peradaban, karena pendidikan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang nantinya dapat mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pendidikan adalah usaha nyata para khalifah dinasti Abbasiyyah untuk mempertahankan peradaban.

Namun konsekuensinya adalah ketika kekhilafahan Abbasiyyah meredup maka segala institusi pendidikan yang ada di dalamnya juga akan meredup, dan tiga institusi pendidikan yang sangat dikenal dengan kontribusinya pada peradaban adalah perpustakaan Baitul Hikmah, Madrasah Nizamiyyah, dan Madrasah Mustansiriyyah.

Madrasah Mustansiriyyah merupakan warisan khalifah al-Mustansir Billah, salah satu diantara khalifah yang memimpin pada masa-masa terakhir Dinasti Abbasiyyah. Dengan demikian, madrasah Mustansiriyyah diharapkan menjadi penopang peradaban selama redupnya Dinasti Abbasiyyah.

Konteks Sosial pada Masa Khalifah Al-Mustansir Billah

Pada mulanya, Dinasti Abbasiyyah menjadi pusat Sunni Muslim secara politik dan spiritual. Namun, di periode pertengahan dinasti Abbasiyyah mulai meredup akibat dinasti Seljuk mulai mengambil alih kekuasaan Abbasiyyah dibawah pimpinan Ṭughril II.

Setelah kekuasaan Seljuk runtuh, khalifah Abbasiyah bernama al-Nasr berusaha mengembalikan kembali kejayaan Dinasti Abbasiyyah dengan menjadi pemimpin yang bijak dan cermat.

Namun demikian, sistem dinasti sangat bergantung pada kepemimpinan khalifah di setiap periodnya, yang mana jika kepemimpinan seorang khalifah tidak memiliki strategi yang baik maka dinasti juga menurun secara signifikan. Begitulah yang terjadi saat masa transisi dari kepemimpinan khalifah al-Nasr kepada anaknya, al-Ẓahir Biamrillah.

Walaupun khalifah al-Nasr berusaha keras mengembalikan kejaayaan Dinasti Abbasiyyah, al-Zahir tidak mampu menjaga kestabilan atmosfir dinasti karena lemahnya strategi politik di tengah gempuran musuh eksternal.[6]

Beberapa saat setelah itu, Khalifah al-Zahir wafat (623 H/1226 M), dan Khalifah al-Mustanṣir Billah menduduki tahta kekhalifahan Abbasiyyah, tepatnya pada hari Jum’at, 13 Rajab 623 H. Dalam situasi yang genting, al-Mustanṣir Billah diharapkan menjadi khalifah yang baik yang dapat membawa kejayaan kembali bagi Dinasti Abbasiyah.

Abū Ja’far Manṣūr bin Al-Ẓāhir Biamrillāh al-‘Abbāsī, yang dikenal dengan nama al-Mustanṣir Billah, lahir pada tahun 588 H – Maret 1192 M. Dia adalah putra tertua al-Ẓāhir dan ibunya adalah seorang budak Turki.[7]

Al-Mustanṣir adalah cucu yang sangat dicintai oleh al-Naṣr karena sikapnya yang sangat baik dan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Ibn al-Najjār menyebutkan bahwa al-Mustanṣir adalah seorang yang adil, menyebarkan kedamaian, merangkul dan menghormati para ulama serta orang-orang saleh, membangun masjid, sekolah, dan wisma, membagikan hadiah, membangun jalan bagi para peziarah, dan rumah bagi orang-orang sakit di tanah suci, al-haramain.

Dia memerintah dinasti dengan baik, menjaga stabilitas kedaulatan dan keadilan. Hal ini membuat pemerintahannya tak terlupakan dalam sejarah Abbasiyah. Selain itu, al-Mustanṣir memiliki strategi politik yang begitu hebat karena ia khawatir dengan situasi Dinasti Abbasiyah pada masanya yang terancam oleh bangsa Mongol. Untuk mengantisipasi serangan Mongol, ia mempersiapkan kekuatan militer juga menargetkan untuk mengambil alih Khurasan.[8] 

Jelaslah bahwa Khalifah al-Mustanṣir berusaha keras untuk mengembalikan kejayaan dinasti Abbasiyah di masa-masa terakhir kekuasaannya dengan memprioritaskan kesejahteraan sosial di tengah-tengah ancaman bangsa Tatar yang menargetkan kehancuran Abbasiyah.

Suasana genting tersebut tidak membuatnya patah arang, Khalifah al-Mustanṣir fokus untuk menyatukan umat demi memperkuat kekuatan kedaulatan Abbasiyah yang mulai terpecah belah. Hal ini dibuktikan dengan adanya kerjasama politik yang kuat dengan kerajaan Arbil yang dipimpin oleh Muẓaffar al-Dīn Gokbori dalam memerangi musuh yang mengancam, yaitu bangsa Mongol. Kerja sama ini menghasilkan persatuan kekuatan militer mereka dan kesepakatan untuk menyerahkan kerajaan Abril kepada kekhalifahan Abbasiyah setelah kematian Muẓaffar.[9]

Berdasarkan karakteristik khalifah al-Mustanṣir, ia adalah seorang khalifah yang sangat dihormati sebagai tokoh besar dalam sejarah Islam. Antusiasmenya terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan mendorongnya untuk membangun sebuah lembaga pendidikan Islam yang besar di zaman itu, Madrasah al-Mustanṣiriyyah, yang dana wakafnya mencapai lebih dari 70.000 dinar setiap tahunnya.[10]  Madrasah ini diharapkan dapat mencetak sumber daya manusia yang unggul dalam memajukan peradaban Islam. (NSS)

Bersambung…

Catatan kaki:


[1]  Jurj Al- Maqdisi, The Rise of Colleges : Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 9–10.

[2] Josef. W Meri, ed., “’Abbasids,” in Medieval Islamic Civilization (New York: Routledge, 2006), 1.

[3] Muhammad Ilham Aziz and Ahmad Musta’id, “Islamic Astronomy of Abbasid Era (750-1258 AD),” Journal of Islamic History and Manuscript 1, no. 1 (June 29, 2022): 40, https://doi.org/10.24090/jihm.v1i1.5944.

[4] Anto Apriyanto, “Civilization in the Era of Harun Al-Rashid: The Synergy of Islamic Education and Economics in Building The Golden Age of Islam,” Review of Islamic Economics and Finance 3, no. 2 (December 14, 2020): 67, https://doi.org/10.17509/rief.v3i2.30337.

[5] Eric Hilgendorf, “Islamic Education: History and Tendency,” Peabody Journal of Education 78, no. 2 (April 1, 2003): 63, https://doi.org/10.1207/S15327930PJE7802_04.

[6] Hillenbrand, “The Al-Mustanṣiriyya Madrasa in Baghdad,” in The Historian of Islam at Work : Essays in Honor of Hugh N. Kennedy, ed. Maaike van Berkel and Letizia Osti (Leiden Boston: Koninklijke Brill NV, 2022), 321.

[7] Hillenbrand, “3 Al-Mustansir,” 40.

[8]  Al-Dhahabī, Siyar Aʿlām Al-Nubalā’, vol. 7, 2001, 83.

[9]  Huseen Hdiys Jasim, “Political Relations between Caliph Al-Mustansir Billah and Muzaffar Al-Deem Kokbari 623-1226 AH / 630-1232 AD,” Adab AL Rafidayn 31, no. 34 (2001): 275, https://www.iasj.net/iasj/article/206836.

[10] Al-Dhahabī, Siyar Aʿlām Al-Nubalā’, 7:83.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*