Madrasah Mustansiriyyah (2): Pembangunan Lembaga Pendidikan yang Menjunjung Tinggi Keberagaman

in Monumental

Last updated on May 2nd, 2023 05:20 am

Dibandingkan dengan madrasah-madrasah lain yang terkenal di Baghdad, Madrasah al-Mustanṣiriyyah merupakan lembaga pendidikan pertama yang diperkaya dengan keragaman di bidang pendidikan.”

Gerbang Al-Madrasah Al-Mustansiriya yang Iconic. Sumber gambar: nationalgeographic.grid.id

Mengetahui bahwa Abbasiyah mengalami kemunduran pada masanya, khalifah al-Mustanṣir ingin membuktikan bahwa ia berhasil memulihkan peradaban Islam melalui pendidikan karena ambisi dan antusiasmenya terhadap pengetahuan.

Ia membangun Madrasah al-Mustanṣiriyya, universitas Muslim pertama dan paling terkemuka di Baghdad ketika berada di bawah kekuasaan bangsa Mongol. Tujuan utama pendirian Madrasah al-Mustanṣiriyyah adalah untuk menciptakan generasi Muslim yang mampu menopang peradaban dan menciptakan kesejahteraan sosial.

Hal ini dibuktikan dengan gaji atau upah yang memadai bagi para dosen yang saat itu dibayar bergantung pada jumlah siswa, yang mana setidaknya ada sekitar 3000 siswa di setiap fakultas. Sebagai penghargaan dan penghormatan, semua dosen dan mahasiswa juga diberi hadiah dinar emas pada setiap tahunnya.[1] 

Sebuah perpustakaan dan rumah sakit juga dibangun bersamaan sebagai pelengkap fasilitas madrasah, terdapat sekitar 80.000 buku yang terkumpul di perpustakaannya yang megah.[2]  Madrasah beserta seluruh sivitas akademika di dalamnya dan perpustakaan beserta pustakawannya sangat diakui dan dihormati dalam catatan sejarah.

Wakaf terbesar disumbangkan oleh kekhalifahan untuk memenuhi perpustakaan ini, di mana buku-buku yang tersimpan di perpustakaan ini juga dilengkapi dengan koleksi buku-buku istana. Konon saat itu dibutuhkan 160 truk untuk mengangkut seluruh buku tersebut. Proses memindahan ini pun dilakukan langsung di bawah pengawasan dewan perpustakaan Abbasiyah.[3]

Madrasah al-Mustanṣiriyyah menyediakan berbagai fakultas seperti studi Al-Quran dan hadits, yurisprudensi Islam (fiqh) dengan empat mazhab yang berbeda, ilmu waris (farā’iḍ wa al-tirkāt), sastra Arab, matematika, zoologi, serta ilmu kedokteran.[4]

Dibandingkan dengan madrasah-madrasah lain yang terkenal di Baghdad, Madrasah al-Mustanṣiriyyah merupakan lembaga pendidikan pertama yang diperkaya dengan keragaman di bidang pendidikan.

Al-Niẓāmiyyah dibangun pada tahun 1066 di bawah kekaisaran Seljuk sebagai institusi pendidikan yang hanya berfokus pada pelajaran fiqh, terutama dalam mazhab Shāfi’ī.  Faktor penting dari Madrasah al-Niẓāmiyyah yang membedakannya dari sekolah-sekolah sebelumnya adalah sistem wakafnya yang berjalan secara efektif. 

Sedangkan institusi pendidikan lainnya seperti perpustakaan Bayt al-Hikmah yang dibangun pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada masa khilafah Hārūn al-Rashīd, merupakan perpustakaan paling luas pada masa itu dengan perhatian dan antusiasme yang tinggi dari para ulama dalam menerjemahkan dan menulis buku. Pada dasarnya, perpustakaan ini bukanlah sebuah pendidikan tinggi resmi yang menyediakan kursus khusus untuk para pelajar. Melainkan sebuah tempat untuk menyimpan, meminjamkan, menyalin, dan menjilid buku-buku, menyediakan peta dan manuskrip, serta menerjemahkan dan menulis buku.[5] 

Oleh karena itu, jelaslah bahwa Madrasah al-Mustanṣiriyyah merupakan universitas terbesar pertama di dunia Islam yang sangat memperhatikan kualitas pendidikan serta kesejahteraan sosial. Setidaknya hingga era Ibn al-Wāṣil, tidak ada universitas yang lebih baik darinya dengan wakaf yang sangat besar.[6]

Pembukaan madrasah Mustanṣiriyyah secara resmi diadakan pada tanggal 6 April 1234 M dengan perayaan sangat megah, dihadiri oleh para pembesar Abbasiyyah, direktur perpustakaan, guru, tokoh agama, hakim, sufi, pengkhotbah, penghapal Alquran, penyair, dan pedagang asing. Jamuan makan malam yang megah juga disajikan untuk para tamu acara di halaman madrasah, dan penghargaan diberikan kepada para pengajar, staf pegawai, dan tamu yang hadir.[7] 

Madrasah Mustanṣiriyyah merupakan bangunan dengan arsitektur yang sangat menjunjung tinggi estetika keindahan yang dirancang oleh Mu’ayyad al-Dīn bin al-‘Alqāmī, dibangun pada tahun 625 H/1228 M dan selesai pada tahun 631 H/1234 M.

Pintu masuk utama Madrasah. Sumber gambar: round-city.com

Madrasah Mustanṣiriyyah terletak di sebelah timur kota Baghdad, tepatnya di sebelah kiri sungai Tigris, di dekat jembatan sebelah utara yaitu jembatan al-Mamoun. Di bagian timur bangunan ini terdapat tiga masjid penting untuk salat Jumat, yaitu Masjid Khalifah yang merupakan masjid raya dengan banyak tempat wudhu, Masjid Sultan yang terletak di luar perkotaan, dan Masjid Ruṣāfa yang berjarak satu mil dari masjid Sultan.[8]

Lokasi dan Konsep Rancangan bangunan serta lantai MadrasahMustansiriyyah. Sumber gambar: round-city.com

Berbagai dekorasi Islami melekat pada dinding setiap bangunan madrasah. Bangunan ini identik dengan empat ruang kuliah khusus (ʿiwān) yang mengelilingi halaman di tengah bangunannya, di sana juga terletak sebuah kolam yang bersumber dari sungai Tigris yang mengalir di bawah tanah.

Halaman Madrasah Mustansiriyyah. Sumber gambar: round-city.com

Motif bintang dan polygon di gebang utama dan langit-langit pintu masuk. Sumber gambar: round-city.com

Yang menarik, dalam lingkungan Madrasah Mustansiriyyah terdapat rumah-rumah dan ruangan-ruangan besar untuk diskusi al-Quran (dār al-Qur’ān) dan hadis (dār al-hadīth), dapur, rumah khusus orang yang sakit, serta dilengkapi juga dengan beberapa kios dan toko.

Meskipun beberapa bagian bangunan mengalami kerusakan, desain arsitektur yang hebat dari bangunan ini masih terlihat kokoh hingga saat ini. Prasasti monumental di madrasah ini ditulis untuk memuji Khalifah al-Mustanṣir Billāh dan merupakan karya besar kaligrafer Baghdadi pada abad ke-13.[9] Selain itu, bangunan yang elegan ini bahkan dapat dilihat dari kapal yang berhenti di pelabuhan terdekat. (NSS)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Abdul Muid, “Peradaban Islam Pada Zaman Dinasti Bani Abbasiyah,” JURNAL ILMU PENGETAHUAN DAN PENDIDIKAN ISLAM 3, no. 3 (June 13, 2019): 8, https://jurnal.maziyatulilmi.com/index.php/jippi/article/view/13.

[2] Ziauddin Sardar, How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on Islam, Science and Cultural Relations (UK: Pluto Press, 2006), 37.

[3] Doris Behrens-Abouseif, The Book in Mamluk Egypt and Syria (1250-1517) (BRILL, 2018), 7.

[4] Sebastian Günther, “Al-Madrasa Bi Waṣfihā Mu’assasa Li Al-Taʿlīm Fī Al-ʿAṣr Al-Islāmī Al-Wasīṭ,” April 12, 2020, https://shababtafahom.om/p/170.

[5] Adel Abdul-Aziz Algeriani and Mawloud Mohadi, “The House of Wisdom (Bayt al-Hikmah) and Its Civilizational Impact on Islamic Libraries: A Historical Perspective,” Mediterranean Journal of Social Sciences 8, no. 5 (2017): 182–83, https://www.richtmann.org/journal/index.php/mjss/article/view/10072.

[6] Ibn Wāṣil, Mufarrij Al-Kurūb (Cairo University, n.d.), 317.

[7] Günther, “Al-Madrasa Bi Waṣfihā Mu’assasa Li Al-Taʿlīm Fī Al-ʿAṣr Al-Islāmī Al-Wasīṭ.”

[8] GIBB. H.A.R and HAKLUYT SOCIETY, eds., The Travels of Ibn Battuta, A.D. 1325-1354, vol. 2 (London: Cambridge University Press, 1959), 332.

[9] Finbarr Barry Flood and Necipoğlu Gülru, eds., A Companion to Islamic Art and Architecture (Hoboken, NJ : John Wiley & Sons, Inc, 2017), 321.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*