Madrasah Mustansiriyyah (3): Telaah Kurikulum dan Metodologi Pendidikan

in Monumental

Last updated on May 3rd, 2023 09:26 am

Metodologi pendidikan Madrasah Mustanṣiriyyah sangat memperhatikan tiga hal: administrasi yang baik, kualifikasi akademik, metodologi pengajaran, dan kesejahteraan sivitas akademika untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas kegiatan pendidikan.”

Gambar ilustrasi. Sumber: kompas.com

Madrasah adalah bentuk pengembangan dari Masjid dan Khan dimana masjid digunakan untuk menyelenggarakan sekolah tinggi hukum, dan khan digunakan untuk tempat tinggal para pelajar yang datang dari luar kota. Maqdisi menyatakan bahwa yang membedakan antara madrasah dan dua lembaga sebelumnya adalah sistem wakafnya karena madrasah biasanya diprakarsai oleh pendiri dan keturunannya.[1] 

Namun, Madrasah Mustanṣiriyyah masih menerapkan sistem wakaf, dan sebagian besar dana wakaf diberikan untuk perpustakaan madrasah. Madrasah Mustanṣiriyyah menciptakan catatan sejarah baru sebagai madrasah pertama yang mengajarkan ilmu kedokteran dan fiqh dengan empat mazhab secara bersamaan.

Hal ini dikarenakan madrasah-madrasah sebelumnya hanya mengajarkan satu atau dua mazhab saja, seperti al-Niẓāmiyyah untuk mazhab Shāfi’ī dan al-Ṣadriyyah untuk mazhab Maliki. Inovasi yang diprakarsai oleh Khalifah ini merupakan tanda kebebasan berpikir untuk mendorong kreativitas yang bersih dari unsur fanatisme.

Berikut ini adalah standar akademis madrasah Mustanṣiriyyah:

  1. Siswa yang diterima di madrasah ini diseleksi oleh para ahli fiqh (fuqahā’) berdasarkan kemampuan menulis dan mengajar.[2]
  2. Para profesor, guru, dan asisten yang dipilih adalah para guru senior, dan guru besar dari Iraq, Syam, Mesir, dan negara-negara Islam lainnya yang memiliki ketersambungan sanad yang valid, menguasai ilmu pengetahuan, dan dikenal dengan penelitian akademis di negara yang mereka kunjungi. Selain itu, mereka juga merupakan pengarang kitab-kitab yang sempat hancur dan lenyap pasca tragedi di Baghdad pada masa runtuhnya kekhalifahan Abbasiyah dan kehancuran Timur pada akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9.[3]  Selain itu, guru-guru yang terpilih merupakan lulusan mahasiswa favorit dan kemudian secara terus menerus diwarisi kepada keluarga mereka, dan dengan demikian, guru-guru tersebut umumnya memiliki wibawa dan kekayaan.

Berdasarkan kualifikasi akademis dari para siswa dan guru-guru di madrasah Mustanṣiriyya, dapat dipahami bahwa madrasah ini merupakan tempat bagi para cendekiawan terhebat di seluruh dunia.

Para profesor di Madrasah Mustanṣiriyya biasa mengajar para siswa di bawah kanopi kayu sambil duduk dengan tenang di kursi yang dilapisi permadani dan mengenakan jubah hitam dan turban dengan dua asisten di sampingnya untuk mengulangi apa yang mereka diktekan.  Tugas asisten tersebut adalah mengulangi semua pelajaran yang diajarkan oleh profesor setelah profesor meninggalkan kelas agar para siswa memahami dan menghafal pelajaran tersebut.  Para khalifah sering datang ke madrasah untuk mendengarkan ceramah dari tempat duduk khusus. Kuliah khusus juga sesekali diadakan untuk para kepala negara dan tamu-tamu terhormat. Metode pengajarannya adalah mendengarkan ceramah dan menghafal.[4]

Selain itu, metode pendiktean (al-imlā’ wa al-istimlā’) juga diterapkan karena terbatasnya buku ajar, hanya para guru besar yang memiliki buku tersebut, sehingga para asisten mendiktekannya. Study tour (riḥlaḥ ʿilmiyyah) juga dilakukan untuk para mahasiswa, khususnya dalam studi hadis.[5] 

Para profesor membuka diskusi, debat, dan komentar untuk memperkaya metodologi pengajaran karena metode ini bekerja lebih baik daripada menghafal.  Untuk pembelajaran fiqh empat madzhab, terdapat empat sudut yang berbeda untuk kuliah di setiap mazhabnya. Walaupun terdapat berbagai fakultas yang diajarkan oleh para ahli, jumlah mahasiswa terbanyak adalah mahasiswa studi Islam, yang khusus mempejari studi al-Quran dan hadis serta studi fiqh.

Selain itu, Madrasah Mustanṣiriyya menyediakan segala sesuatu untuk memperkuat kemajuan pendidikan. Madrasah ini menyediakan pena dan kertas untuk penulisan buku dalam studi fiqh, menyediakan berbagai obat-obatan untuk kesehatan para siswa dan dosen, membangun dapur besar untuk menyajikan makanan gratis bagi seluruh anggota universitas, dan membangun rumah untuk para dosen serta pemandian untuk semua anggota madrasah, Seluruh fasilitas-fasilitas ini tidak pernah didirikan oleh khalifah sebelumnya.

Kesejahteraan para siswa dan dosen sangat penting untuk meningkatkan efektivitas pendidikan sehingga mereka dapat fokus mengajar dan belajar. Para siswa yang tinggal di asrama madrasah diberikan makanan sehari-hari, termasuk roti, buah-buahan, dan makanan ringan. Mereka juga diberi sabun, selimut, kasur, lampu, minyak, tinta, kertas, pena, air dingin selama musim panas, dan air panas selama musim dingin. Pada saat yang sama, para dosen dan staf diberikan daging, sayuran, dan roti. Mahasiswa dan dosen juga diberikan asuransi kesehatan gratis dan tunjangan bulanan berupa dinar emas, sesuai dengan tingkat akademis mereka, dan tunjangan tersebut dilipatgandakan setiap bulan Ramaḍhan.[6]  Fasilitas-fasilitas tersebut diperoleh dari wakaf agar mereka dapat fokus pada penelitian dan studi.

Sebagai sebuah institusi yang luar biasa, Mustanṣiriyya juga merekrut para penasihat untuk mengelola urusan-urusan departemen di madrasah. Para penasihat tersebut berasal dari kalangan ulama, hakim, dan tokoh-tokoh terkemuka dalam kepemimpinan seperti ʿAbd al-Raḥmaān al-Tikrītī (wafat 641 H/1243 M) sebagai seorang sejarawan yang hafal Al-Quran, dan Fakhr al-Dīn al-Yāzirī (wafat 641 H/1243 M) sebagai penerjemah naskah Islam, penulis yang handal, dan hafal Al-Quran. 

Oleh karena itu, tidak mustahil jika seseorang memiliki jabatan ganda pada saat yang sama, bekerja di pemerintahan sekaligus di lembaga-lembaga seperti institusi pendidikan ini.[7] Selain masalah akademis, madrasah ini juga menekankan nilai-nilai spiritual melalui pengelolaan masjid yang baik (al-jāmi’).

Khalifah merekrut seorang imam, seorang qori yang menguasai tujuh qirā’āt, seorang khatib, seorang muadzin untuk setiap kelompok di madrasah, dan untuk khatib salat Jumat harus berasal dari keturunan Hāshīmī ‘Abbāsī, yaitu keturunan Hāshim dan ‘Abbās, dan mereka semua digaji dengan baik.

Dengan demikian, metodologi pendidikan Madrasah Mustanṣiriyyah sangat memperhatikan tiga hal: administrasi yang baik, kualifikasi akademik, metodologi pengajaran, dan kesejahteraan sivitas akademika untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas kegiatan pendidikan. (NSS)

Bersambung:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Al- Maqdisi, The Rise of Colleges : Institutions of Learning in Islam and the West, 28.

[2] Maʿrūf, Tārīkh ʿUlamā’ Al-Mustanṣiriyya. 1st Ed. Baghdad, 15.

[3] Ibid., 16.

[4] Maʿrūf, Al-Madrasa Al-Mustanṣiriyya, 51.

[5] Hishām Nashabe, Muslim Educational Institutions (Beirut: Librairie Du Liban, 1989), 35.

[6] Maʿrūf, Tārīkh ʿUlamā’ Al-Mustanṣiriyya. 1st Ed. Baghdad, 28.

[7] öz, “Teacher In The History Of Islamic Education –Baghdad–,” 55.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*