Madrasah Mustansiriyyah (4): Runtuhnya Madrasah Diiringi dengan Runtuhnya Dinasti

in Monumental

Pada 1 April 1945, Direktorat Pengelolaan Barang Antik Iraq mulai merestorasi madrasah Mustanṣiriyyah, yang sempat terbengkalai hampir 500 tahun. Bangunan madrasah masih bertahan karena desain arsitektur madrasah Mustanṣiriyyah yang mewah membuatnya mampu bertahan dari serangan Mongol, sebagaimana bukti sejarah lintas zaman.”

Gambar ilustrasi. Sumber: kompas.com

Khalifah al-Mustanṣir mendedikasikan banyak hal untuk mengembangkan madrasah Mustanṣiriyyah yang menginspirasi sistem universitas hingga saat ini.

Kontribusi madrasah Mustanṣiriyyah juga dapat dilihat dari kitab-kitab yang ditulis oleh komunitas madrasah dan para ulama yang mengajar dan belajar di madrasah tersebut, seperti al-Tabyīn fī al-Nasab karya Ibn Qudāma al-Hanbalī dan Mukhtṣar Jumhura al-Nasab karya Ibn al-Kalbī.[1] Sayangnya, banyak buku yang ditulis dan diterjemahkan di madrasah tersebut rusak dan hilang.[2] 

Mustanṣiriyyah dianggap sebagai penghasil referensi buku terkaya. Namun demikian, menurut Ibnu Khaldun, peradaban, negara, dan bangsa adalah seperti manusia yang lahir, tumbuh, dan mati. Begitu pula dengan peradaban, dimulai, mencapai puncak kejayaan, lalu runtuh ketika peradaban yang lain mengambil alih posisinya, dan begitulah siklus seterusnya.[3] 

Akibatnya, madrasah Mustanṣiriyyah yang didirikan secara strategis oleh Khalifah Mustanṣir Billāh hingga mencapai puncak kejayaannya, juga mengalami kemunduran di akhir masa Abbasiyah.

Kejayaan Madrasah Mustanṣiriyyah hanya bertahan dalam waktu yang sangat singkat karena invasi Mongol. Madrasah yang didukung dan diprakarsai oleh khalifah tertentu biasanya akan bergantung pada khalifah itu sendiri, yang secara bertahap akan menurun setelah kematian khalifah.

Kontribusi Madrasah Mustanṣiriyyah juga dibuktikan dengan berdirinya madrasah dengan sistem pendidikan yang sama di beberapa negara setelah madrasah ini berdiri. Sebagai contoh, madrasah Ṣalahiyyah didirikan di Mesir pada tahun 1243 M. Madrasah ini juga mengajarkan empat mazhab sekaligus, dan kemudian diikuti oleh madrasah-madrasah lainnya.[4]   

Khalifah al-Mustanṣir wafat pada bulan Jumadil Akhir tahun 640 H. Dalam masa pemerintahannya yang berlangsung selama tujuh belas tahun, ia mengorbankan hartanya, memerintahkan jihad dengan cara yang terbaik, menindas para penguasa, membuka benteng-benteng pertahanan, menjaga perbatasan, dan para raja pun menghormatinya.[5] 

Setelah Khalifah Mustanṣir wafat, khalifah ‘Abdullah bin Manṣūr al-Mustanṣir, yang akrab dipanggil al-Musta’ṣim, menggantikan ayahnya sebagai khalifah Abbasiyyah dan ia adalah khalifah terakhir dalam kekhalifahan Abbasiyyah. Dia adalah seorang khalifah yang religius dan sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip ahl al-sunnah wa al-jamā.[6]  Namun, ia tidak memiliki strategi politik yang cukup baik untuk menjaga stabilitas situasi di tengah serangan Mongol.

Akibatnya, dinasti Abbasiyah berangsur-angsur melemah, dan situasi yang kacau pun meningkat. Bangsa Mongol datang dan menghancurkan Abbasiyah pada tahun 1258 M.

Serangan Mongol dipermudah oleh pengkhianatan Ibn al-ʿAlqāmī, seorang wazir Abbasiyah, dengan bekerja sama dengan Hulagu Khan untuk membubarkan kekhalifahan Abbasiyah. Strategi ini dilakukan dengan membohongi khalifah al-Mustaṣim mengenai jumlah tentara Mongol sehingga ia tidak mempersiapkan kota untuk serangan besar-besaran.[7] 

Al-Musta’im dibunuh oleh bangsa Mongol, dimana terdapat berbagai macam interpretasi tentang bagaimana terbunuhnya sang khalifah dengan tragis.[8] Situasi yang kacau di akhir masa Abbasiyah mempengaruhi Madrasah al-Mustanṣiriyyah.

Walaupun demikian, situasi yang tidak kondusif ini sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1255 yang ditandai dengan konflik antara kelompok yang menamai dirinya Ruṣafā dan kelompok Khuḍayriyyīn yang terjadi karena kurangnya kontrol pemerintah. Konflik semakin memburuk, dan di tengah-tengah konflik tersebut, muncul perampok (‘ayyārūn) yang merampok toko-toko dan rumah-rumah, sedangkan Madrasah Mustanṣiriyyah sendiri telah dirampok dua kali.[9] 

Setelah runtuhnya Dinasti Abbasiyah, Hulagu Khan tidak terlalu peduli dengan madrasah Mustanṣiriyyah, dan ibu kota kedaulatan dipindahkan ke Tabriz.

Setelah Hulagu pergi, kota ini berada di bawah kekuasaan II-Khanids hingga tahun 740 H/1339 M. Mereka mengelola sistem perpajakan untuk penduduk Baghdad, yang membuat Baghdad berangsur-angsur berkembang di bawah kekuasaan II-Khanids, sedangkan Mustansiriyyah diperbaiki dan kembali berfungsi. 

Namun, II-Khanids akhirnya runtuh, dan dinasti ini jatuh ke tangan Qara Qoyunlu (1411 M/814 H – 1433 M/836 H). Banyak madrasah yang terbengkalai, termasuk madrasah Mustanṣiriyyah.[10] 

Akhirnya, pada tanggal 1 April 1945, ada perhatian dari Direktorat Pengelolaan Barang Antik Iraq untuk merestorasi madrasah Mustanṣiriyyah. Bangunan madrasah masih bertahan karena desain arsitektur madrasah Mustanṣiriyyah yang mewah membuatnya mampu bertahan dari serangan Mongol, sebagaimana bukti sejarah lintas zaman.

Pada tahun 1960, bekas madrasah ini dibuka sebagai museum budaya dan seni. Pada tahun 1963, universitas modern Mustanṣiriyya didirikan kembali untuk menyelenggarakan kursus malam hari dan dianugerahi sebagai universitas modern semi-negeri, kemudian dipindahkan ke kampus baru yang terletak di utara kota hingga akhirnya dinobatkan sebagai universitas negeri pada tahun 1968 Masehi.[11]  Pada bulan Maret 2021, kementerian budaya, pariwisata, dan barang antik baru-baru ini meluncurkan kembali Mustanṣiriyya yang bersejarah.

Selain itu, sejarah panjang madrasah Mustanṣiriyyah merupakan bukti peradaban Islam yang berhasil terjadi pada masa kemunduran kekhalifahan Abbasiyah. Meskipun bukan universitas tertua yang muncul di dunia, dimana Eropa telah memiliki universitas Bologna dan Paris, serta sebagian besar universitas abad pertengahan hanya memiliki tiga fakultas; hukum, kedokteran, dan teologi.[12]

Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pendidikan madrasah Mustanṣiriyyah telah menginspirasi dunia, seperti sistem beasiswa, kesejahteraan anggota universitas, dan fasilitas lengkap untuk kegiatan akademik. Kejayaan Mustansiriyyah hanya terjadi pada masa pendiriannya di era Khalifah al-Mustanṣir dan era awal Khalifah Musta’ṣim. Namun, pada masa itu, perkembangan besar-besaran dalam penulisan buku, penerjemahan, dan kegiatan akademik lainnya dapat terlaksana dengan baik dengan sistem wakaf yang sangat besar.

Kesimpulannya, setidaknya ada tiga faktor penting yang berpotensi menghasilkan kualitas pendidikan yang mampu memajukan peradaban dalam waktu yang singkat, yaitu: persyaratan yang ketat dalam menyeleksi siswa dan guru (persyaratan masuk), sistem wakaf yang mendukung siswa dan guru secara finansial melalui fasilitas yang disediakan, serta manajemen yang baik dalam hal administratif yang memudahkan segala urusan siswa dan guru sehingga mereka dapat fokus dalam kegiatan belajar-mengajar. (NSS)

Selesai…

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Maʿrūf, Tārīkh ʿUlamā’ Al-Mustanṣiriyya. 1st Ed. Baghdad, 272.

[2] Ibid., 25.

[3] Murat Önder and Fatih Ulaşan, “IBN KHALDUN’S CYCLICAL THEORY ON THE RISE AND FALL OF SOVEREIGN POWERS: THE CASE OF OTTOMAN EMPIRE,” Adam Academy Journal of Social Sciences 8, no. 2 (December 30, 2018): 234, https://doi.org/10.31679/adamakademi.453944.

[4] Maʿrūf, Tārīkh ʿUlamā’ Al-Mustanṣiriyya. 1st Ed. Baghdad, 7.

[5] Al-Dhahabī, Siyar Aʿlām Al-Nubalā’, 7:83.

[6]  Wāṣil, Mufarrij Al-Kurūb, 321.

[7] R. Bennett Furlow, Kristin Fleischer, and Steven R. Corman, “De-Romanticizing the Islamic State’s Vision of the Caliphate” (Arizona State University: Center for Strategic Communication, 2014), 5–6.

[8] Nassima Neggaz, “The Many Deaths of the Last ‘Abbāsid Caliph al-Musta‘ṣim Bi-Llāh (d. 1258),” Journal of the Royal Asiatic Society 30, no. 4 (October 2020): 586, https://doi.org/10.1017/S1356186320000267.

[9] Clifford Edmund Bosworth, Historic Cities of the Islamic World (Leiden Boston: BRILL, 2008), 40.

[10] Bosworth, 55.

[11] Nashabe, Muslim Educational Institutions, 101.

[12]  Abdallah Al-Zoubi and Sultan T. Abu-Orabi, “Impact of Internationalization on Arab Higher Education the Role of Association of Arab Universities,” Journal of Education and Human Development 8, no. 1 (2019): 70.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*