Malcolm X (1): Pejuang Muslim Kulit Hitam Amerika Serikat

in Tokoh

Last updated on March 15th, 2018 02:10 pm

“Bahkan ketika masih di dalam kandungan pun Malcolm sudah menerima tindakan rasialisme dari kelompok kulit putih di Amerika Serikat. Ketika berusia enam tahun, ayahnya dibunuh dengan cara dilindas kereta api, membuat Malcolm hidup dalam kesendirian di panti asuhan.”

–O–

Malcolm X adalah seorang aktivis yang dalam masa hidupnya dikenal sebagai orang yang berbicara lantang menyuarakan keyakinan dari warga Amerika Serikat (AS) kulit hitam. Dia menantang arus utama pergerakkan hak sipil yang diperjuangkan oleh Martin Luther King Jr yang menggagas ide “integrasi tanpa kekerasan”. Dalam bingkai pembelaan terhadap hak-hak masyarakat kulit hitam AS, Malcolm X mendorong para pengikutnya untuk membela diri dari agresi masyarakat kulit putih “dengan cara apapun yang diperlukan”,[1] termasuk dengan kekerasan sekalipun.[2]

Terlahir dengan nama Malcolm Little, setelah dewasa dia mengubah nama belakangnya menjadi “X” sebagai bentuk perlawanan terhadap perbudakkan, menurutnya, nama belakang yang sebelumnya, “Little”, adalah nama budak. Dengan karisma dan kefasihannya dalam berbicara, Malcolm menjadi salah satu pemimpin yang berpengaruh di Nation of Islam (NOI), sebuah organisasi pergerakkan yang mengkombinasikan agama Islam dengan nasionalisme ala kulit hitam. NOI berusaha untuk mendorong dan memberikan tempat bagi anak muda yang kurang beruntung di AS untuk memperoleh pengakuan.[3]

Ironisnya, di akhir perjalanan panjang perjuangannya untuk masyarakat kulit hitam, Malcolm X tewas dibunuh oleh beberapa anggota NOI itu sendiri melalui penembakkan, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1965.[4] Setelah kematiannya, buku karya Malcolm X yang berjudul The Autobiography of Malcolm X yang laris di pasaran berhasil mempopulerkan ide-idenya, terutama di kalangan pemuda kulit hitam, dan meletakkan dasar bagi gerakan Black Power pada akhir 1960-an dan 1970-an di AS.

 

Kisah Hidup

Malcolm X terlahir dengan nama Malcolm Little pada tanggal 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska, AS. Ibunya, Louise Norton Little, adalah ibu rumah tangga dengan delapan orang anak. Ayahnya, Earl Little, adalah seorang pendeta Baptis yang vokal dan pendukung setia pemimpin Black Nationalist, Marcus Garvey. Earl adalah seorang aktivis perjuangan hak sipil.[5]

Setelah Ku Klux Klan—sebuah organisasi sisa-sisa perang sipil AS yang digagas oleh warga kulit putih AS bagian selatan untuk menentang kesetaraan bagi warga kulit hitam, kongres AS menetapkan organisasi ini sebagai organisasi teroris karena melakukan serangkaian aksi kekerasan, misalnya pemboman terhadap sekolah kulit hitam dan gereja, serta penyerangan terhadap aktivis-aktivis hak sipil, baik kulit hitam maupun kulit putih—[6] menteror Earl Little, dia memutuskan untuk memindahkan keluarganya ke Lansing, Michigan,. Di sana, walaupun menghadapi ancaman serupa, dia terus mendorong masyarakat kulit hitam untuk dapat mengendalikan sendiri kehidupan mereka.[7]

Malcolm menceritakan salah satu peristiwa yang terjadi di masa-masa itu, sebuah masa yang bahkan ketika dia belum lahir pun sudah menerima tindakan rasialisme. “Ketika ibu saya mengandung saya, dia mengatakannya kepada saya di kemudian hari, ‘sekelompok riders Ku Klux Klan yang bertudung mengepung rumah kami,’” Malcolm menceritakan ulang apa yang diceritakan oleh ibunya. “Mengacungkan senapan-senapan dan rifles mereka, mereka berteriak kepada ayahku untuk keluar.”[8]

Louise Norton Little dan Earl Little, orang tua Malcolm X.

Pada tahun 1929, rumah mereka di Lansing dibakar sampai habis oleh Black Legion, organisasi lainnya yang mirip dengan Ku Klux Klan. Pada saat itu usia Malcolm belum sampai empat tahun. Namun polisi memutuskan bahwa kejadian tersebut adalah kecelakaan.[9] Dua tahun kemudian, tubuh Earl ditemukan terbaring melintang di atas jalur kereta api dalam kota. Salah satu bagian dari kepalanya telah hancur dan hampir terputus dari badannya. Dalam kejadian ini polisi menetapkan bahwa itu adalah tindakan bunuh diri, namun pihak keluarga menyangkalnya, keluarga meyakini bahwa Black Legion adalah pelakunya.[10]

Beberapa tahun setelah kematian suaminya, Louise mengalami gangguan emosional, dia terpukul berat.[11] Dia harus masuk ke lembaga gangguan kejiwaan dan sampai akhir hayatnya dia tidak pernah sembuh. Sementara itu, pekerja kesejahteraan sosial mengambil alih anak-anaknya dan menempatkan mereka ke berbagai rumah asuh dan panti asuhan yang berbeda-beda. Malcolm yang pada waktu itu masih berusia enam tahun harus terpisah dari keluarganya.[12] (PH)

Bersambung ke:

Malcolm X (2): Titik Balik di Masa Remaja

Catatan Kaki:

[1] Eric Foner dan John A. Garraty, Editors, The Reader’s Companion to American History, (Copyright © 1991 by Houghton Mifflin Harcourt Publishing Company. All rights reserved), dalam “Malcolm X”, dari laman https://www.history.com/topics/black-history/malcolm-x, diakses 14 Maret 2018.

[2] “Malcolm X Biography, Civil Rights Activist, Minister (1925–1965)”, dari laman https://www.biography.com/people/malcolm-x-9396195, diakses 14 Maret 2018.

[3] Ibid.

[4] “An abridged biography of Malcolm X”, dari laman http://malcolmx.com/biography/, diakses 14 Maret 2018.

[5] Ibid.

[6] “Ku Klux Klan”, dari laman https://www.history.com/topics/ku-klux-klan, diakses 14 Maret 2018.

[7] Eric Foner dan John A. Garraty, Ibid.

[8] “Malcolm X Biography, Civil Rights Activist, Minister (1925–1965)”, Ibid.

[9] “An abridged biography of Malcolm X”, Ibid.

[10] Eric Foner dan John A. Garraty, Ibid.

[11] “An abridged biography of Malcolm X”, Ibid.

[12] Eric Foner dan John A. Garraty, Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*