Malcolm X (2): Titik Balik di Masa Remaja

in Tokoh

Last updated on March 16th, 2018 01:35 pm

“Malcolm, salah satu kebutuhan pertama kehidupan adalah agar kita bersikap realistis. Sekarang jangan salah paham terhadap saya. Kita semua yang ada di sini menyukaimu, dan kamu tahu itu. Tapi kamu harus bersikap realistis tentang menjadi seorang negro. Seorang pengacara bukanlah tujuan yang realistis untuk seorang negro. Kamu perlu memikirkan sesuatu yang kamu bisa.

–O–

Demikianlah, setelah ayahnya meninggal dan ibunya mengalami depresi berat, Malcolm mesti hidup dalam pengasuhan lembaga kesejahteraan sosial. Malcolm tumbuh di dalam sebuah lingkungan di mana rasialisme masih benar-benar mengakar di dalam kehidupan masyarakat Amerika Serikat (AS).

Pada usianya yang ke -13 tahun, Malcolm mencoba peruntungannya dengan menjadi petinju. Tinju adalah olahraga yang paling digemari oleh orang-orang kulit hitam (Negro) di AS, pasalnya, pada masa itu juara tinju dunia kelas berat adalah seorang negro, dia bernama Joe Louis. Semua anak muda Negro, termasuk Malcolm berbondong-bondong untuk mencoba menjadi petinju. Olahraga tinju adalah sebuah kebanggaan terbesar bagi kaum negro yang sehari-harinya dilecehkan.

Malcolm, walaupun masih berusia 13 tahun dianugerahi fisik yang bongsor, dia tinggi besar. Maka segeralah Malcolm berlatih tinju, dan kemudian mendapatkan pertandingan pertamanya dengan seorang bocah kulit putih. Malcolm di sana kalah telak. Dia pulang dengan rasa malu yang amat sangat. Bahkan saudaranya sendiri enggan melihat ke arahnya. Setelah kekalahannya, Malcolm selalu sembunyi dan menundukkan kepala di lingkungannya. “Seorang Negro tidak boleh dikalahkan seorang kulit putih, dan kembali dengan kepala tegak di lingkungannya,” kata Malcolm mengisahkan.

Setelah kekalahnnya itu, Malcolm berlatih dengan lebih giat. Dia berlatih dengan sangat keras untuk menebus kekalahannya yang memalukan, kalah oleh seorang bocah kulit putih. Pada pertandingan berikutnya, dia bertanding kembali dengan bocah yang sama yang mengalahkan dia sebelumnya.

Maka dimulailah pertandingan, ketika bel berbunyi Malcolm melihat tinju menghampirinya. Momen selanjutnya dia sudah terbaring di kanvas dan mendengar wasit menghitung sampai dengan sepuluh, dia tidak dapat bangun. “Barangkali itu adalah pertandingan terpendek di dalam sejarah,” kata Malcolm. Sejak itu Malcolm memutuskan tidak akan pernah menjadi petinju.

 

Dikeluarkan dari Sekolah

Tidak lama setelah pertandingan, Malcolm kembali sekolah, dia masuk kelas dengan topi di kepalanya, untuk menutupi lebam setelah pertandingan. Gurunya yang kulit putih mengetahui Malcolm telah bertanding. Di kelas, ketika pelajaran hendak berlangsung, gurunya memerintahkan Malcolm untuk tetap menggunakan topi dan menyuruhnya untuk berjalan memutari ruangan sampai dia menyuruhnya berhenti. “Semua orang bisa melihatmu, sementara itu, kita akan melanjutkan kelas untuk mereka yang ada di sini untuk belajar sesuatu,” kata gurunya kepada Malcolm.

Sementara Malcolm terus berjalan memutari ruangan untuk dipermalukan, gurunya berdiri dari kursinya dan menuju papan tulis untuk menulis pelajaran. Ketika Malcolm melintasi kursi gurunya, dia meletakkan paku payung di sana, semua orang di kelas melihatnya, kecuali Sang Guru yang sedang menulis. Ketika Malcolm sedang mengitari sudut ruangan yang cukup jauh dari kursi, gurunya kembali ke arah kursi. “Aaaarrrgggh!” Malcolm mendengar teriakan dan dia segera melarikan diri keluar kelas. Peristiwa tersebut membuat Malcolm dikeluarkan dari sekolah.

Malcolm X ketika remaja, saat itu dia masih bernama Malcolm Little.

 

Titik Balik

Setelah dikeluarkan, Malcolm dipindahkan ke sebuah sekolah khusus untuk anak-anak bermasalah di Mason, Michigan. Di sana mayoritas adalah anak-anak kulit putih, dan hanya ada dua anak Negro, Malcolm adalah salah satunya. Berbeda dengan di kota sebelumnya, di sini rasialisme tidak terlalu kentara. “Mereka bahkan membicarakan saya, atau tentang ‘negro’, seolah-olah saya tidak berada di sana, seolah-olah saya tidak mengerti arti kata itu. Seratus kali sehari, mereka menggunakan kata ‘negro’. Saya menduga bahwa dalam pikiran mereka sendiri, mereka tidak berusaha menghina; dan sebenarnya mereka memang baik,” kata Malcolm.

Di lingkungan baru ini Malcolm mendapat perlakukan yang lebih baik, dia bahkan bisa duduk makan bersama dengan orang-orang kulit putih. Malcolm menyadari bahwa dia disukai di sana karena perilakunya, dia disukai karena ringan tangan dalam membantu. Kemudian Malcolm menunjukkan tanda-tanda kecemerlangannya, dia tidak pernah lepas menjadi salah satu siswa yang paling berprestasi di sekolahnya, dia bahkan sempat menjadi ketua kelas. Malcolm sangat menyukai mata pelajaran Bahasa Inggris dan Sejarah, dia tidak menyukai Matematika.

Di sini Malcolm berusaha sangat keras untuk “menjadi kulit putih”, dalam artian dia mencoba benar-benar beradaptasi dengan kebiasaan mereka. Hingga akhirnya suatu hari Malcolm menyadari, betapapun dia berusaha sangat keras, betapapun baiknya orang-orang kulit putih, mereka tidak akan pernah memandang seorang negro sebagaimana mereka melihat dirinya. Seorang negro tetaplah secara kelas berada di bawah mereka. Sejak itu Malcolm berpikiran bahwa ide “peleburan” adalah kesia-siaan.

Kemudian pada suatu hari, menjelang masa kelulusan SMP, salah seorang gurunya yang baik, dan Malcolm menganggapnya seseorang yang tulus, memanggilnya, dia bernama Mr. Ostrowski. Dia bertanya, “Malcolm, kamu harus memikirkan karir. Sudahkah kamu memikirkannya?” Malcolm menjawab, “baik Pak, saya pikir saya ingin menjadi pengacara.” Mr. Ostrowski tampak terkejut mendengarnya.

Mr. Ostrowski kemudian bersandar pada kursinya, dan meletakkan kedua telapak tangannya di belakang kepalanya, seraya berkata, “Malcolm, salah satu kebutuhan pertama kehidupan adalah agar kita bersikap realistis. Sekarang jangan salah paham terhadap saya. Kita semua yang ada di sini menyukaimu, dan kamu tahu itu. Tapi kamu harus bersikap realistis tentang menjadi seorang negro. Seorang pengacara bukanlah tujuan yang realistis untuk seorang negro. Kamu perlu memikirkan sesuatu yang kamu bisa.”

Malcolm mengetahui bahwa dia lebih cerdas dibanding anak kulit putih manapun di sekolah tersebut. “Tapi tampaknya saya tidak cukup cerdas, di mata mereka, untuk menjadi apapun yang saya mau,” kata Malcolm. Maka semenjak saat itulah jalan hidup Malcolm berubah untuk selamanya. Seandainya gurunya tahu, padahal suatu hari nanti dia akan menjadi orang besar dan mengubah sejarah Amerika Serikat. (PH)

Bersambung ke:

Malcolm X (3): Kriminal

Sebelumnya:

Malcolm X (1): Pejuang Muslim Kulit Hitam Amerika Serikat

Catatan: Artikel ini merupakan adaptasi dan penceritaan ulang dari buku karangan Malcolm X dan Alex Haley, The Autobiography of Malcolm X, (Ballantine Books: New York 1992), hlm 27-36.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*