Malcolm X (3): Kriminal

in Tokoh

Last updated on March 19th, 2018 11:53 am

“Malcolm mulai tergantung dengan kokain dan obat-obatan terlarang lainnya. Untuk menutupi biaya hidup yang tinggi dia membentuk sebuah kelompok gangster perampok.”

–O–

Setelah mendapat perkataan yang “mematahkan semangat” dari gurunya, Malcolm memutuskan untuk berhenti sekolah. Malcolm kemudian pindah ke Boston untuk tinggal dengan kakak tiri perempuannya yang bernama Ella. Tentang Ella, Malcolm berkisah, “dia adalah wanita kulit hitam pertama yang benar-benar bangga yang pernah saya lihat dalam hidup saya. Dia sangat bangga dengan kulitnya yang sangat gelap. Hal seperti ini tidak pernah terdengar di antara negro pada masa itu.”[1]

Di Boston, Malcolm mengubah penampilannya, “rambutku yang keriting dan kemerahan dipangkas gaya hick, dan saya bahkan tidak menggunakan minyak rambut. Setelan jas hijau bagian lengannya berhenti di atas pergelangan tangan saya, celana panjang pada bagian kaki menunjukkan kaus kaki tiga inci. Hanya di bagian kerah sempitnya saja warna hijau jas itu sedikit lebih berwarna hijau terang…. Penampilanku terlalu berlebihan, bahkan untuk Ella.”[2] Pada saat itu Malcolm masih berusia belasan, baru saja lulus SMP, namun dengan tubuhnya yang tinggi besar dia terlihat sepuluh tahun lebih tua. Ditambah dengan dandanan seperti itu orang-orang menyangkanya dia adalah pria dewasa.[3]

Di Boston, secara garis besar Malcolm melihat dua kelompok negro, yaitu negro yang tinggal di perbukitan dan negro yang tinggal di bagian bawah kota. Negro perbukitan adalah orang-orang elit, yang secara status dianggap lebih terdidik dan berbudaya. Walaupun demikian, terhadap negro perbukitan, Malcolm menilai bahwa mereka hanyalah mencoba mengimitasi orang-orang kulit putih. Karena banyak juga di antara mereka yang bangga dengan mengatakan bahwa dirinya bekerja di bank atau perkantoran, tapi sebenarnya di sana pun mereka hanya pekerja kelas rendah seperti pelayan atau tukang bersih-bersih. Malcolm menilai bahwa mereka adalah tipe negro yang delusive, kehilangan identitasnya sendiri.[4]

Sementara itu, di bagian bawah kota, disebutlah orang-orang negro kelas bawah, atau tempat ini biasa disebut sebagai ghetto-nya orang-orang negro, atau kadang disebut juga sebagai negro town. Di tempat ini banyak ditemui toko kelontong, rumah susun, restoran murah, ruang biliar, bar, gereja ruko, dan pegadaian. Di sini Malcolm justru merasa lebih nyaman, menurutnya dibandingkan dengan negro di perbukitan, negro di sini lebih natural. “Saya merasa lebih rileks di antara orang Negro yang menjadi diri mereka sendiri dan tidak mengawang-ngawang. Meskipun saya tinggal di Bukit, naluri saya tidak pernah dan tetap tidak merasa lebih baik daripada Negro lainnya,” kata Malcolm.

Sebelumnya Ella sudah memperingatkan Malcolm untuk berteman dengan anak-anak seusianya saja yang tinggal di sekitar rumahnya. Namun rasa penasaran Malcolm lebih besar, dan nyatanya dia lebih tertarik untuk mengeksplorasi ghetto. Maka mulai dari sanalah petualangan kriminal Malcolm dimulai.[5]

 

Kehidupan di Ghetto    

Bagaimanapun Malcolm adalah anak kampung, satu bulan pertama di ghetto dia terus ternganga melihat keanehan-keanehan di sana: negro-negro yang rambutnya dicat pirang (conk); anak-anak usia 10-11an tahun yang sudah menjadi berandal, mereka bermain kartu, berjudi, berkelahi, mengucap sumpah serapah, dan melakukan hal-hal buruk lainnya; dan di malam hari dia melihat perempuan kulit putih bergandengan tangan dengan laki-laki negro, mereka duduk dan minum bersama. Bagi Malcolm hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang baru, setiap malam dia terngiang-ngiang akan peristiwa-peristiwa yang dia lihat. Kepada saudara-saudaranya di Lansing, dia mengirim surat dan menceritakan itu semua.[6]

Di ghetto, Malcolm cepat bergaul, dia mendapatkan kawan sekampung halaman yang bernama “Shorty”, melalui dia Malcolm mendapat pekerjaan sebagai tukang semir sepatu di salah satu klub elit, dan juga diperkenalkan dengan teman-temannya yang lain. Malcolm memulai kenakalannya, “minuman keras pertama yang saya minum, rokok pertama saya, bahkan reefer (semacam ganja) pertama saya, saya tidak dapat secara khusus mengingatnya. Tapi saya tahu itu semua bercampur dengan percobaan pertama; bermain kartu, dan judi angka per hari, saat saya mulai bercengkerama di malam hari bersama Shorty dan teman-temannya,” kata Malcolm.[7]

Malcolm yang masih berusia 15 tahun pada waktu itu mulai mengubah penampilannya, dia ingin membuat rambutnya bergaya conk dan menggunakan baju zoot suit, sebuah gaya berpakaian yang sedang trend pada waktu itu. Dimulai dari ghetto, sampai bertahun-tahun ke depan, Malcolm walaupun siang hari memiliki pekerjaan normal, namun dia tidak pernah terlepas dari kehidupan malam.[8]

Malcolm X saat berusia 15 tahun, bergaya rambut conk dan menggunakan zoot suit.

Lama-lama dia mulai tergantung dengan kokain dan obat-obatan terlarang lainnya. Ketergantungan terhadap zat adiktif membutuhkan biaya yang tinggi. Malcolm bukan anak polos lagi, dia sudah mengenal kehidupan malam dan dunia gangster. Segera dia bersama teman-temannya mendirikan gangster yang mempunyai spesialisasi perampokan. Pada waktu itu usia Malcolm belum genap 21 tahun.[9] (PH)

Bersambung ke:

Malcolm X (4): Masuk Penjara

Sebelumnya:

Malcolm X (2): Titik Balik di Masa Remaja

Catatan Kaki:

[1] “Malcolm X Biography, Civil Rights Activist, Minister (1925–1965)”, dari laman https://www.biography.com/people/malcolm-x-9396195, diakses 16 Maret 2018.

[2] Malcolm X dan Alex Haley, The Autobiography of Malcolm X, (Ballantine Books: New York 1992), hlm 37.

[3] Ibid., hlm 39.

[4] Malcolm X dan Alex Haley, Ibid., hlm 38.

[5] Ibid., hlm 39.

[6] Ibid.

[7] Ibid., hlm 44.

[8] Ibid., hlm 43-101.

[9] Ibid., hlm 97-101.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*